Reno sangat kesal melihat anaknya membangkang. Dia pun mendekati Sinta agar dia mau membantu meyakinkan Puri untuk menuruti keinginannya.
Bagaimanapun caranya, Puri harus mengikuti perintahnya. Kalau tidak, dia akan melakukan segala cara agar rencananya berhasil.
“Walaupun kita miskin, Puri masih bisa menegakkan kepala karena dia masih perawan. Sekarang dia sudah kotor dan itu semua karena ulah kamu. Dia pasti akan benci banget sama kamu karena kamu yang udah buat dia kayak gini. Kamu ibu yang sangat jahat, Sinta.” Reno pintar sekali memainkan perasaan Sinta. “Jangan biarkan semua pengorbanan dia sia-sia. Kamu harus bujuk dia agar dia mau lakuin apa yang udah kita rencanain,” bisik Reno penuh penekanan.
Sinta sangat tertekan mendengar Reno mengatakan hal itu. Dia merasa takut dan sangat bersalah. Dia takut Puri akan membencinya karena dia yang menyebabkan Puri kehilangan kehormatannya dengan cara yang menyedihkan.
Tanpa sadar, Sinta menitikkan air mata sambil menatap marah pada Reno, karena dengan tega Reno justru menumpahkan semua kesalahan padanya. Namun, dia tidak berani membantah. Semua yang dikatakan Reno memang benar. Dia ibu yang jahat, sebab sudah menumbalkan anaknya sendiri demi harta.
Sinta pun menghapus air matanya, lalu mendekati Puri. menyembunyikan perasaannya yang campur aduk, dia mencoba tersenyum.
“Sayang. Kita itu orang miskin dan nggak punya apa-apa. Kita nggak akan bisa melawan orang kaya seperti Ical. Lebih baik kita dengar apa kata Papa kamu, ya?” bujuk Sinta agar Puri mau mengikuti ucapan Reno.
“Ma, tapi itu perbuatan buruk. Aku nggak mau morotin orang, takut kena karma,” ucap Puri polos.
Sinta langsung tertampar mendengar ucapan Puri. Dia pun sadar dan tahu sekali kalau suatu saat pasti akan ada karma yang dia terima atas apa yang dia lakukan.
Sinta menoleh pada Reno untuk meminta bantuan, tapi Reno tidak peduli. Sinta tak bisa apa-apa selain kembali membujuk Puri. “Karma itu untuk orang yang benar-benar jahat. Kalau kita nggak. Kita cuma pakai uang itu buat penuhin kebutuhan hidup kita aja, jadi bukan morotin namanya. Kalau morotin itu ... sampai bikin bangkrut. Itu yang namanya morotin,” kelit Sinta agar Puri goyah.
“Tapi Ma—“ Puri tetap tidak setuju dengan pandangan Sinta.
“Kamu pernah lihat orang baik disiksa dan direndahkan nggak?” tanya Sinta lagi.
“Pernah. Sering malah. Aku juga pernah dihina dan direndahkan,” kenang Puri sedih dan terluka.
“Emang kamu nggak mau nolong orang yang seperti itu?” Sinta mencoba memanfaatkan sisi baik Puri.
“Ya, mau, Ma. Aku tahu banget gimana rasanya dihina dan direndahkan. Nggak enak banget.” Puri mendadak sedih dan kesal setiap kali mengingat teman yang suka merendahkannya.
“Zaman sekarang, baik aja itu nggak cukup. Yang berkuasa adalah uang. Dengan kita punya uang, kita bisa melakukan apapun. Termasuk nolongin orang yang direndahkan itu.”
“Maksud Mama, kita bisa membeli kesombongan dan keangkuhan mereka dengan uang yang kita punya?” Puri mulai mengerti arah pembicaraan Sinta.
“Iya. Mereka itu pasti akan gentar kalau lihat kita jauh lebih kaya dari mereka. Untuk mereka yang suka merendahkan orang lain, harga diri adalah nomor satu. Jika kita bisa mengalahkan harga diri mereka, mereka pasti akan kalah dan kitalah yang jadi pemenangnya. Saat itulah kamu bisa membalaskan dendam pada orang –orang yang sudah mereka hina.” Sinta sangat pandai memanfaatkan perasaan Puri yang suka menolong.
“Mama benar. Aku ingat kemarin ada pengemis yang disuruh bersihin sepatu orang kaya pakai tangannya sendiri cuma karena dia nggak sengaja ngotorin sepatu orang itu. Aku kesal banget sama orang itu, tapi aku nggak bisa nolongin dia. Aku nggak punya kekuatan apa-apa,” ujar Puri lemas.
“Dengan uang yang diberikan sama Ical, kamu bisa pergunain uang itu buat membungkam mulut orang itu. Kita kasih dia pelajaran biar dia nggak semena-mena lagi sama orang kecil seperti kita.” Sinta mulai melihat usahanya membuahkan hasil.
Puri mulai bersemangat dan dia pun melupakan niatnya untuk memenjarakan Ical.”Ok. Kalau gitu kita akan pakai uang itu buat nolongin orang yang direndahkan,” sorak Puri penuh semangat.
Reno kaget dan marah mendengar Puri malah punya niat yang lebih baik. Dia melotot pada Sinta, menunjukkan protes dan marah.
“Iya, Mama setuju. Tapi sebelum kita melakukan hal itu, kita harus merubah penampilan kita agar meyakinkan. Kalau penampilan kita kumuh, yang ada mereka nggak akan percaya kalau kita punya uang banyak.”
Reno tenang mendengar ucapan Sinta selanjutnya. Kalau sampai Sinta mengatakan hal yang tidak-tidak lagi, akan habis Sinta di tangan Reno.
‘Nggak sia-sia aku korbanin semuanya demi dekat dengan Sinta dulu. Setelah dua puluh tiga tahun menunggu, aku akan memanen hasilnya sekarang,’ batin Reno merasa menang. Tidak akan pernah Reno melepaskan Sinta sampai semua keinginannya tercapai.
Reno pun mendekati Puri dan merangkulnya dengan hangat. “Benar apa kata Mama kamu. Kita bisa melakukan apapun dengan uang ini. Bisa bantuin orang-orang yang sering mendapatkan ketidakadilan dari orang kaya. Tapi kita juga perlu merubah penampilan kita seperti mereka, agar mereka segan sama kita,” sambung Reno.
“Nggak itu aja. Kita harus bergaya seperti mereka juga agar mereka takut lihat kita.” Sinta ingat gaya hidupnya di masa lalu dan dia tahu persis bagaimana pandangan orang-orang kaya seperti mereka.
Reno tahu sekali maksud dari perkataan Sinta, karena Sinta pun dulu hidup serba kecukupan dan tidak pernah kekurangan. Hanya karena satu kesalahan, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dari yang hidup enak, menjadi kesusahan dan serba kekurangan.
‘Terserah kalian mau ngomong apa, yang penting aku bisa hidup enak. Mau nolongin orang, kek, atau mau bantu orang ... aku nggak peduli. Bagiku, morotin Ical itu lebih mudah diucapkan daripada bahasa kalian yang ribet,’ kata Reno dalam hati sambil tersenyum miring.
Puri pun meminta kartu ATM dari Reno. “ATM-nya mana Pa? Aku sama Mama mau belanja,” pinta Puri pada Reno.
“Kartu ini biar Papa aja yang simpan. Kamu kan pelupa, nanti kamu lupa naruh kartunya gimana? Bahaya nanti.” Tentu saja Reno tidak mau memberikannya pada Puri. Bisa-bisa uang itu benar-benar digunakan untuk menolong orang, bukan untuk senang-senang.
“Benar apa kata Papa kamu, Sinta. Kamu kan pelupa, lebih baik kartunya disimpan Papa aja. Kalau kamu butuh uang, tinggal minta aja sama Papa,” dukung Sinta.
“Ya udah, deh. Kartunya disimpan Papa aja.” Puri tidak keberatan.
Reno pun tersenyum bahagia. Mereka pun berjalan ke resepsionis untuk check out. Dengan sangat yakin, Reno menyodorkan kartu ATM milik Ical untuk membayar hotel.
Setelah kartu itu diterima oleh resepsionis, ternyata ada masalah. “Maaf, ini kartunya bermasalah. Apa ada kartu lain?” ucap resepsionis pada Reno.
Tentu saja mereka bertiga sangat kaget. “Kenapa ini? Apa kartu yang diberikan Ical nggak ada saldonya?”
Ical sepintar itukah memberikan ATM kosong pada mereka?