Sudah seminggu lamanya keluarga besar Rafan tinggal di kampung. Kini mereka dengan kompak pamit pergi, hanya Sabila yang menolak karena ingin menemani putra sulungnya.
“Kalau kamu di sini terus, nanti suamimu ada pengurus baru di Jakarta. Memangnya kamu mau?” ucap Opa menakut-nakuti anaknya, Sabila.
“Emang Ayang berani?” Sabila menatap serius sang suami. Lantas Zayyan mengedik bahu semakin membuat Sabila menajamkan tatapannya. “Oh, kalau kamu gak sayang sama masa depanmu, pergi sana cari yang lain!”
Zayyan tertawa merangkul pinggang istrinya. “Mana berani aku menjadikanmu sebagai pembunuh. Ketika kamu sudah bosan, kembalilah ke Jakarta … atau nanti aku akan datang ke sini seminggu sekali.”
“Serius?” Sabila berbinar.
“Insya Allah.”
“Seharusnya Rafan dicarikan istri biar ada yang urus di sini.” Oma membuka suara, memberi sebuah solusi padanya.
“Aku akan nikah saat usia aku 30, Oma. Yang sabar ya,” sahut Rafan begitu manis, memeluk oma-nya itu.
“Keburu kami jadi akik-akik.” Opa menghela napas.
“Opa memang sudah akik-akik. Apa butuh pembaharuan KTP?” celetuk Rafan menyeringai, langsung ditempeleng kepalanya.
“Kamu ini—” Opa menjeda ucapannya saat melihat gadis cantik sedang menyeberang jalan, tersenyum menghampirinya.
“Kalian mau pulang?” tanya Luna begitu ramah.
“Siapa? Pacarmu?” bisik Opa menyenggol lengan Rafan yang buru-buru menggeleng kepala.
“Gak kenal.”
“Opa tak percaya. Kalian pasti ada something.”
“Sejak kapan Opa jadi cenayang?”
Kali ini Opa gemas dengan cucunya dan menjewer telinganya. “Diajak ngomong serius malah bercanda.”
“Dia musuhku, Opa.” Rafan terpaksa mengaku dan Opa malah menatap tajam.
“Pria seperti apa kamu yang memusuhi wanita cantik?”
“Nanti aku ceritakan lewat surat. Sekarang lebih baik Opa masuk ke dalam mobil, daripada wajah tampanku kena amukan lagi.”
Opa menolak dan kini malah fokus menatap Luna. “Kamu pacarnya cucuku?” tanyanya membuat semua orang terperanjat.
“Eh, bukan, Kakek. Aku ini musuhnya Fanfan.” Luna berterus terang dan mereka tak kaget lagi karena sudah mengetahui karakter Luna sejak bertamu untuk pertama kali ke rumah mereka karena SKP, sementara Opa yang baru mengenal merasa tertaik.
“Zayyan.”
“Iya, Pa.”
“Musuh bisa nikah tidak?” tanya Opa menatap mantunya.
Pertanyaan yang ambigu, dan Zayyan tersenyum menganggukkan kepala. “Bisa. Sudah ada dari jaman Rasulullah. Shafiah salah satu wanita yang membenci Rasulullah usai perang karena seluruh keluarganya termasuk sang suami mati. Namun dinikahi oleh Rasulullah, timbullah cinta yang sangat besar dalam hatinya.”
Luna masing menganga, lalu tersenyum mendekat Zayyan. “Om, aku kan penulis online. Rencananya mau nulis cerita religi gitu. Minta nomor hp Om dong, mau tanya-tanya kisah-kisah jaman dulu.”
“Di google ada. Gak usah lu dekati bokap gua,” seru Rafan menatap tajam. Lantas Luna berdengkus, gagal sudah otak cuan-nya bekerja.
“Daripada cari di google, bungkus saja Rafan. Dia bagus untukmu jadikan guru,” sahut Opa.
“Enggak ah, Opa. Makasih. Kalau sama dia mah, kurang minat.”
“Siapa juga yang mau sama elu,” seru Rafan ketus dan langsung dicubit Opa.
“Sopan dikit sama perempuan! Kalau kamu terus ketus seperti ini, kapan sold out-nya?”
Rafan tak lagi menjawab, dia membuka pintu mobil menuntun satu persatu masuk ke dalam mobil. Jika terlalu lama berada di luar maka akan semakin lama Luna berada di sana.
Kini, semuanya sudah masuk ke dalam mobil, lambaian tangan dan senyuman mengiringi perjalanan mereka.
“Yuk, Mom, kita masuk!” Rafan memegang kedua bahu ibunya, mendorongnya untuk masuk.
“Luna, yuk masuk!”
“Gak. Manusia itu gak boleh masuk ke dalam rumah kita.” Gegas Rafan menarik ibunya, menutup pintu pagar.
Sementara itu Luna berdesis membalikkan tubuhnya dan pergi. “Sok kecakepan.”
*
Minggu terlalu membosankan tanpa ada teman ataupun pasangan yang pas untuk diajak jalan. Sama halnya seperti Rafan. Kalau di Jakarta dia sudah hangout bersama dengan teman-temannya. Lantas sekarang hanya hp-nya saja yang bermunculan notifikasi di grup w******p, dan tak jarang dari penggemarnya. Iya, pesona Rafan yang murah senyum dan humoris mampu membius banyak perempuan, baik ketika dia masih sekolah dulu maupun rekan kerjanya. Hanya saja Rafan tak tertarik untuk melanjut hubungan spesial dengan salah satu dari mereka. Pertama karena dia sudah terlalu lelah mendengar ocehan dan omelan kaum hawa. Iya, Sabila dan Yasmin menjadi perempuan dengan tingkat keberisikan di atas rata-rata, apalagi sekarang bertambah satu lagi, Luna.
Pucuk dicita ulam pun tiba, begitulah kata pepatah. Niat dari rumah membawa kail untuk memancing di sungai, tapi malah ketemu mangsa. Siapa lagi kalau bukan Luna yang terkulai di atas terpal yang digelar di tepi sungai. Laptop menyala, ditemani dengan buku yang terbuka dan hp di sampingnya.
Rafan penasaran, mengendap-endap untuk mencuri informasi dari layar laptop berwarna pink itu. Kadang Rafan merasa aneh dengan perempuan seperti Liana, menyukai warna pink, tapi tak feminim, malah cenderung ke tomboy.
“Oh, kerjaannya ngehalu. Pantas saja rada gila. Otaknya ternyata dipakai buat hal gak penting,” gumam Rafan ketika melihat setumpuk kata yang sudah dirangkai menjadi kalimat. Isinya tentang percintaan anak ABG.
Tiba-tiba saja sebuah ide jahil melintas begitu saja di kepalanya. Tak ingin melewati kesempatan untuk membalas dendam, Rafan mengangkat tubuh kecil itu kemudian melempar ke sungai.
“Aaa … tolong!” Luna beriak karena terkejut. Berasa seperti sedang mimpi jatuh ke sungai, dan ternyata benar kejadian. Mulutnya dipenuhi air hingga terbatuk-batuk. Lekas dia menoleh pada pria yang tertawa terpingkal-pingkal.
“Kurang ajar lo, Fanfan!” Luna memekik memukul air. Gegas dia menepi namun kesialan kembali datang, dia terpeleset dan kembali jatuh ke sungai.
“Hahaha … makanya tidur di rumah jangan di tepi sungai.” Puas Rafan meledek Luna. Detik kemudian dia tersedak ketika sebuah kain menyumpal mulutnya. Segera ditarik dan tercengang menatap CD apple, diikuti gelak tawa Luna.
“Mama tu kolor nenek-nenek.”
Rafan geram hendak melembar. “Pak RT, itu punya ibu saya.” Dia menoleh, melihat seorang perempuan berumur berlari menghampirinya.
“Nuh, Pak RT.” Perempuan itu ngos-ngosan mengambil CD-nya kembali. Lantas Rafan masih mematung, sekelebat meludah-ludah air liurnya—merasakan keanehan di dalam mulut.
“Obat awet muda. Makan kolor nenek-nenek.” Luna tak berhenti menertawai Rafan. Tapi hanya sebentar, tulah begitu cepat menghampirinya. Emas batang alami lewat di depan mata.
“TAI.” Luna menjerit, buru-buru naik ke darat. Dan kali ini giliran Rafan yang menertawainya. Mereka saling mengejek satu sama lain.
Hanya sebentar, wibawa Rafan sebagai RT langsung pulih. Berdeham beberapa kali kemudian menoleh ke kiri mencari sumber tai yang tiba-tiba mengapung di sungai. Ternyata seorang laki-laki sedang berjongkok dengan pantatnya tanpa penutup condong ke sungai.
“Lihat apa?”
Rafan menoleh, menghalangi pandangan Luna dengan tubuhnya yang berotot.
“Apa sih?” Luna semakin penasaran, dia bergeser ke kiri malah Rafan ikut bergeser, dia ke kanan Rafan juga ikut. Dia menjinjit-jinjit malah kalah tinggi dari Rafan. Alhasil dia kesal sendiri.
“Pak RT, boleh minggir gak sih?”
“Gak,” tegas Rafan.
“Apa sih?” Luna semakin geram. Kalau sudah dihantui dengan rasa penasaran, apapun itu dia harus tau. “Fanfan, itu apa?” Luna menunjuk ke sungai, begitu Rafan menoleh, dia segera maju untuk melihat apa yang disembunyikan Rafan.
“Anj**.” Rafan menutup mata Luna, menariknya ke balik pohon.
“Fanfan!” Luna memukul lengan Rafan, barulah dilepaskan.
“Udah gua bilang jangan ya jangan!”
“Tapi lo bikin gue penasaran.”
“Lain kali kalau dibilang jangan ya jangan! Karena gak selamanya rasa penasaran itu baik,” omel Rafan membuat Luna mengerjap lalu mengangguk patuh.
“Pulang! Mandi! Tubuh lu penuh bakteri E.coli,” pungkas Rafan berlalu pergi, sementara Luna masih membeku, mengerjap lalu menepuk kedua pipinya.
“Kok gue jadi nurut apa kata dia sih?”