Kedatangan Luna adalah kesialan baginya. Ingin sekali mengusir gadis itu dari kampung Cibobrok tapi sudah terlanjur menerima SKP. Alhasil Rafan harus mengatur strategi agar Luna tak nyaman tinggal di kampung Cibobrok. Ingin minta pindah RT, terlalu dekat dan kapanpun si buaya jomblo yang tergila-gila para pria itu kapan pun bisa mendatangi Rafan lagi.
“Kamu kenapa sampai segitu hebohnya sih? Padahal cuma kucing loh?” Yasmin membuka suara. Kasus kedatangan buaya dari jendela yang tak ditutup rapat menimbulkan kepanikan seluruh rumah. Bagaimana tidak, Haekal menjerit-jerit, naik ke atas meja, melempar semua benda. Untung buayanya baik dan pergi sendiri lewat jendela.
“Adikmu itu trauma. Dulu waktu kecil pernah digigit kucing, makanya sampai sekarang jadi takut sama kucing. Selain itu Rafan juga alergi bulu,” ujar Sabila menjelaskan kelemahan sang anak, tapi hanya pada keluarganya. Sedangkan di depan umum, cukup keep silent, takut anaknya malu dan dikerjai orang.
“Itu kan dulu. Kamu ini mah, badannya aja gede. Sama kucing takut. Apa gak malu diketawain sama Luna?” Yasmin kembali menatap adiknya itu.
“Ya gimana lagi, udah dari sononya.” Rafan berdengkus. Sebenarnya sudah dari dulu dia ingin melawan rasa takutnya pada kucing tapi tetap tak bisa. Apalagi kalau melihat wajah sangar kucing, langsung mundur.
“Padahal kucing hewan kesayangan rasul tapi kamu malah takut. Opa rasa bagian bawahmu itu harusnya perempuan,” sahut Opa ikut meremehkan cucu laki-lakinya itu, sontak membuat semua yang ada di meja makan tertawa.
“Padahal aku siap membuahi loh, Opa,” sahut Rafan tak mau kalah.
“Kalau begitu, cepat nikah! Sudah 25 kan? Harusnya sudah cukup umur untuk nikah,” ujar Oma.
“Sebaiknya ditahan dulu. Saya takut Rafan malah belum bisa memimpin keluarganya.” Zayyan membuka suara. Di antara ketiga putranya memang Rafan lah yang paling heboh dan kekanak-kanakan. Sedangkan dua putranya yang lain lebih dewasa dan mudah diarahkan, termasuk sekarang sedang menempuh pendidikan di luar negeri tentunya di kampus islam, mengikuti jejak sang ayah.
“Iya juga. Opa curiga kamu tak bisa memberi nafkah untuk istrimu. Apalagi yang batin, susah sekali.”
“Tapi aku sih lebih setuju kalau Rafan dapat istri modelan tetangga kita yang di depan itu. Heboh, makin berwarna,” kekeh Sabila masih belum bisa melupakan bagian perdebatan Rafan dengan Luna.
“Amit-amit, Mom. Andai di dunia ini gak ada perempuan lain, aku mikir-mikir lagi buat jadiin dia bini. Bisa rusak garis keturunanku dapat perempuan rada eror begitu.” Jika sudah menyangkut Luna, Rafan mengeluarkan semua unek-uneknya.
“Jangan terlalu membenci, Nak! Andai tak suka cukup simpan dalam dadamu,” tegur sang ayah.
“Gak bisa tahan, Abi. Sesak gitu. Ah, aku ingin nangis hari ini. Tapi kasihan air mata, malu juga, aku kan cowok,” cerocos Rafan memelas.
“Tapi feeling aku sih, kalian bakalan berjodoh,” celetuk Haekal menyeringai.
“Big no.”
*
Luna menggerutu sepanjang jalan, sudah badannya sakit karena tertimpa Rafan, ditambah lagi rambutnya bau pesing. Mau tidak mau dia harus keramas. Padahal biasanya keramas sebulan sekali, itu pun karena haid.
“Tumben si kambing rajin mandi?” Fira datang-datang menggoda temannya itu yang sedang nonton drama korea. Masih mengenakan bathrobe dan rambutnya di lilit handuk.
“Terpaksa.” Terdengar ketus, Fira buru-buru menempatkan posisi di samping Luna.
“Gue ramal ini pasti ada hubungannya sama pak RT?”
Luna membuang napas dengan kasar. “Nyesel gue pindah ke sini.”
“Terus gimana? Pindah ke RT lain aja mau gak?”
Luna bergeming, detik kemudian menggeleng. “Gak ah. Gak mau boros. Cukup di sini aja, tinggal gratis.”
Suara notifikasi pesan masuk membuat Luna dan Fira kompak mengambil hpnya.
Grup RT.01
RT Ganteng
Pengumuman!!!
Diberitahukan kepada seluruh warga RT.01 bahwa saja siapa saja yang memelihara kucing harap dikandangi! Apabila mengganggu warga akan dihukum. Sekian.
Ttd. RT.01 Rafan Azfer Fahrezi, S.E., M.Sc
“Dih, songong banget, pakai pamerin titel lagi,” omel Luna. “Gue aja yang sekolah S3 gak sesongong dia.”
“What? Gue gak salah dengar?” Fira menatap Luna yang menyengir kuda.
“SD, SMP, SMA. S3. Gue gak salah kan?”
“Iyain aja deh. Ribet.” Fira kembali memperhatikan balasan dari warga.
Kang Udin : Kalau ada kucing liar naon?
Kang Mamat : Itu teh pengumuman untuk orang yang piara kucing @Kang Udin
Neng Sri : Hukumannya apa atuh?
RT Ganteng : Dipikirkan setelah kejadian. Saya mau tidur siang dulu. Jika butuh apa-apa datang sore.
“Ini sebenarnya ada apa ya? Kenapa kasih pengumuman dadakan gini?” Fira mengurut alis bingung.
“Entah. Malas mikir.” Luna meletakkan hp-nya di atas meja dan kembali menonton drama korea.
Hanya sebentar Luna bisa tenang, tiba-tiba saja suara menggelegar terdengar sedang memanggil namanya.
“LUNA!”
Luna terkejut begitu juga dengan Fira. Tanpa pikir panjang langsung keluar rumah. Terlihat Rafan berdiri berkacak pinggang menatap tajam.
“Apa sih teriak-teriak? Mau adu tarik suara sama tarzan?” omel Luna.
“Sekarang lu ke rumah gua, lu angkut buaya lu itu!”
“Oh, bentar. Gue pakai baju dulu.” Dengan santai Luna masuk ke dalam untuk memakai baju kemudian keluar lagi untuk mengambil kucing kesayangannya yang berada di kamar Rafan. Tidur dengan nyenyak di atas kasur.
“Ini udah kedua kalinya kucing lu masuk ke kamar gua. Sekarang gua hukum.”
“Hukum apa?” Luna menatap kebingungan.
Rafan lekas ke halaman belakang, menarik satu lidi dari sapu kemudian kembali lagi menemui Luna.
“Hukumannya, lu harus sapu jalan depan rumah kita dengan ini.”
“Hah?” Luna memekik saat melihat Rafan menyerahkan satu lidi padanya.
“Gila lo. Mana bisa gue nyapu dengan ini.”
“Bukan urusan gua. Itu hukuman dari gua.” Luna berdesis. “Gak boleh nolak, karena lu tinggal di sini dan gua RT-nya,” tegas Rafan membuat Luna kesal lalu menyodorkan kucing ke wajah Rafan yang lekas melompat ke kursi.
“Cupu. Sama kucing aja takut,” cibir Luna beranjak pergi.
Sebelum melaksanakan tugas, Luna membawa kucingnya pulang dan memasukkan ke dalam kandang.
“Buaya, kalau kamu suka cowok, lihat dulu wujudnya. Jangan si Fanfan pun kamu embat. Ntar deh aku carikan cowok yang tampan untuk kamu. British shorthair mau gak? Walaupun bulunya pendek, tapi macho.”
“LUNA!” teriak Rafan dari luar.
“Ya sabar.” Luna menutup pintu rumahnya si buaya kemudian keluar menemui Rafan.
“Kerongkongan lo kayak toa masjid ya? Menggema ke seluruh pelosok.” Luna menghujat karena telinganya sudah pekak mendengar suara teriakan Rafan.
“Cepat sapu!” Rafan mengambil kursi, duduk di samping jalan, mengamati Luna yang kini menyapu menggunakan satu lidi.
“Ini bersih kagak, buang tenaga iya,” protes Luna.
“Mikirlah, gimana caranya bisa bersih semua daun-daun itu!”
Luna menoleh ke segala arah, entah kapan ada daun kering yang berceceran, padahal tadi pagi tak ada.
“Fanfan,” panggil Luna dengan suara terbaiknya. Wajah melas.
“Hmm.” Yang dipanggil bahkan tak menoleh, sibuk menatap benda pipih di tangannya.
“Capek,” keluh Luna mendekat, duduk di samping Rafan, tepatnya di jalan.
“Siapa suruh lu duduk?”
“Tapi gue capek. Haus, lapar.”
“Lu boleh duduk.” Luna tersenyum lebar. “Tapi, hukuman lu ditambah.”
“FANFAN!” teriak Luna gegas bangun. Berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam, lantas Rafan tersenyum penuh kemenangan. Hanya sebentar, detik kemudian Luna menendang kursi sampai Rafan terjungkal ke belakang.
“Aawww …”
“LUNA!”