Bab 1
"Jadi, hasil dari pemungutan suara warga RT 01 yang akan menjabat sebagai ketua RT periode ini adalah saudara Rafan."
“Hah, apa? Serius? Anying?” Rafan tak percaya, dia kembali menghitung jumlah warga yang mengacungkan tangan untuk menjadikan dia sebagai RT baru menggantikan RT lama yang ketahuan selingkuh dan juga memakan uang rakyat.
"Gak, benar, coba voting ulang!" seru Rafan tapi masih tetap sama, semuanya warga memilih Rafan sebagai ketua RT baru—tampan, banyak akal dan dari kota.
Tak pernah ada dalam list diary Rafan sebelumnya. Semua ini berawal dari …
Kabar duka telah menyelimuti hari-hari keluarga Zayyan. Dua tahun yang lalu Ummi Hanifah, ibu dari Zayyan telah meninggal dunia. Mereka sering melayat tiap tahun, dan kali ini Rafan ingin tinggal selama sebulan di kampung. Menghirup udara yang bersih, jauh dari kata polusi. Sabila juga ikut tinggal dengan bayinya, tentunya ada Mbok Nana yang membantu mengurus, kalau tidak Rafan pastinya yang akan menjadi sasaran babysitter.
Rafan bukanlah tipe pria yang suka menetap di rumah. Hobi celingak-celinguk, mengitari kampung. Tak ada yang tak kenal dengan cucunya Ummi Hanifah, mata mereka selalu disuguhkan oleh pesona si tampan dari kota yang hobi keluar masuk lorong dengan sepeda onthel. Gaya songong tapi merakyat menjadi kecintaan emak-emak, terutama janda.
“Mau keluar ke mana lagi? Apa pantatmu bisulan sampai gak bisa duduk di rumah?” omel Sabila pada anaknya yang sedang mengikat tali sepatu.
“Cuci mata, Mom. Kali aja dapat yang bening, bisa ganti status WhatsApp.” Rafan menegakkan tubuhnya, meraih tangan sang ibu lalu menuntun ibunya untuk cium tangannya.
“Oh gini rasanya dicium tangan sama istri.” Rafan menyeringai langsung dipukul lengannya oleh Sabila.
“Mimpi saja terus. Dikawinin gak mau.”
“Aku berangkat dulu ya, Mom. Assalamu’alaikum,” pungkas Rafan beranjak pergi. Penampilannya selalu memukau, kaos putih dengan celana jeans, lengkap dengan sepatu dan kacamata, tapi kendaraannya malah jatuh pada sepeda onthel. Konon katanya unik.
“Anjir, telor gua mau pecah,” umpat Rafan saat duduk malah sadel tegak ke atas mengenai sesuatu yang terbungkus dengan celana jeans. Dia turun lagi, menepuk sadel berkali-kali sampai berada pada posisinya baru setelah itu dia duduk dan berdayung ke bengkel.
“Eh, Kang Rapan, kapan tiba?” Kang Udin, si pemilik bengkel menyambut kedatangan Rafan dengan ramah. Mereka bertemu setahun sekali hanya untuk urusan sepeda onthel tua milik mendiang kakeknya. Rafan tak pernah ketemu dengan kakeknya tapi sepeda itu menjadi warisan baginya.
“Tadi siang, Kang.”
“Ini ada masalah apalagi?”
“Biasa, sadel. Tolong diperbaiki, biar masa depanku aman.” Rafan menurun cagak, kemudian ikut duduk bersama dengan kedua pemuda yang tengah asik ngobrol.
“Kalian sudah dengar gosip atuh?” Kang Dodi membuka topik, wajah serius menatap semua orang yang ada di sana. Hanya berempat, Kang Dodi, Rafan, Kang Udin dan Kang Mamat.
“Gosip apa euy?”
“Itu, pak RT belakangan ini meresahkan. Ada rumor yang mengatakan dia sering ke rumah janda kampung sebelah.”
Mustahil Rafan tak ikut dengar apalagi gosip terpanas. Tapi dia tak menjawab masih memasang mode menyimak.
“Ah yang benar atuh, Kang? Ini berita panas. Kalau sampai orang-orang tau pasti pak RT diturunkan dari jabatannya. Lagian sudah terlalu lama, kita pun resah.”
“Jadi gimana caranya kita tangkap mereka?”
“Aku tak mau kampung kita kena azab.”
“Sama.”
Mereka terus berbincang tentang berita panas yang hanya segelintir orang saja yang tahu.
“Aku punya ide.”
Ketiga laki-laki itu langsung menoleh pada Rafan.
“Nanti aku balik lagi ke sini. Jam 8 malam, kalian harus kumpul di sini!”
Mereka mengangguk saja meskipun tak tahu langkah apa yang akan diambil Rafan. Tapi mereka percaya, orang kota memiliki ide jenius.
Rafan menunggangi sepedanya, berdayung mengitar kampung, melewati sawah dan sungai hingga matahari tenggelam barulah dia tiba di rumah.
“Baru pulang, sekarang mau ke mana lagi?” tanya Sabila ketika melihat anaknya sudah rapi dengan setelan hitam, bau parfum pun membuat rontok iman.
“Mau tangkap orang mesum.”
“Hah, Astagfirullah, Rafan. Mommy aduin daddy-mu loh.” Sabila terkejut dengan misi anaknya itu, sampai mengancam akan mengadu pada Zayyan. Karena hanya kepada Zayyan lah anak-anaknya tunduk, sedangkan padanya bisa negosiasi.
“Aduin aja. Bilang Rafan mau nonton film esek-esek secara live,” kelakar Rafan langsung di toyor kepalanya.
“Kalau ngomong suka ngasal deh. Padahal Mommy gak gitu dulu. Masa muda Mommy juga B aja.”
“Dih, Mommy sok gaul. Udah keriput pun,” cibir Rafan langsung mengambil langkah seribu sebelum panci melayang ke kepalanya.
Rafan kembali lagi karena lupa akan sepeda onthel-nya dan bruk! Panci pun mendarat dengan sempurna di kepala.
“Ssstt …” Rafan meringis memegang kepala. “Nasib anak pungut.” Membuang napas kasar, Rafan mendayung sepeda menuju bengkel Kang Udin.
Di sana, sudah ada tiga pemuda yang menunggunya untuk misi menangkap pak RT yang sedang m***m.
“Kang, ini untuk apa?” Kang Udin menunjukkan kantong plastik berisi jeruk perut, kembang kantil dan kembang melati. Rafan sengaja mengirim pesan pada Kang Udin untuk dicarikan. Entah untuk apa, Kang Udin pun bingung.
“Untuk menyukseskan misi.” Rafan tersenyum manis. Dia mulai menjelaskan idenya untuk menangkap pak RT, serta membagi tugas. Setelah itu mereka semua bergerak menuju rumah si janda montok yang ada di kampung sebelah.
Kang Udin mendapat kesempatan untuk bersembunyi di atas pohon yang bisa melihat isi kamar si Janda dari ventilasi. Kang Mamat bersembunyi di balik pohon, Kang Dodi di balik tong sampah dan Rafan di balik jemuran. Sialnya, malah jemuran pakaian dalam. Itupun sudah bolong.
“Ini apa gak diganti?” gerutu Rafan menyingkirkan jemuran secara asal.
“Target,” bisik Kang Udin pada Kang Mama yang memberi sinyal jari tengah. Mereka pun mematung, menahan semua angin, termasuk kentut.
Laki-laki kepala plontos, berkumis tebal warna tembaga dengan perut buncitnya berjalan mengendap-endap mendekati pintu rumah si Janda. Langsung masuk tanpa diketuk pintu, sepertinya sudah menjadi langganan tetap.
Rafan dan Kang Mamat lekas mendekat ke jendela, membuka perlahan. Untung tertutup gorden sehingga tak ada yang tau di luar sedang mengintip.
Lama berada di sana, akhirnya Pak RT dan si Janda masuk ke dalam kamar. Rafan langsung dengan aksinya, mengarahkan kamera hp pada kegiatan panas mereka.
“Oh, gitu caranya,” gumam Rafa mengangguk-angguk kepala.
Saat sedang asik-asiknya memadu kasih, Rafan minta Kang Dodi untuk mematikan listrik.
“Duh, kenapa listrik mati? Tanggung sekali tak bisa lihat kamu, Neng,” keluh Pak RT.
Kang Udin sudah turun dari pohon, mengambil pisau kemudian memotong jeruk perut dan tak lupa meremasnya hingga mengeluarkan bau. Permaduan yang sempurna, melati, kantil dan jeruk perut di malam jum’at.
“Pak RT, itu bau apa atuh?” tanya si Janda mulai resah.
“Saya mandi atuh, Neng.”
“Bukan itu. Tapi seperti …” Si Janda menjeda ucapannya, menoleh ke arah jendela yang terbuka lalu berteriak.
“Po—po—pocong …” Pak RT sampai terkencing-kencing. Tak peduli lagi dengan pakaian, mereka gegas berlari ketika melihat ada pocong di depan jendela.
Kang Mamat yang menjadi pocong cekikan, kemudian menoleh ke belakang. “A—an—antu …” Kang Mamat pun sama, terkejut dan pingsan ketika melihat hantu.
“Apa sih?” Rafan bangun melihat Kang Dodi dengan kertas sampah di atas kepalanya. Mirip dengan hantu, ingin tertawa pun tak jadi karena mereka harus segera mendekat. Pak RT dan si Janda sudah dikepung oleh warga.
“Astagfirullah, Pak RT.” Semua orang menjerit, lalu menoleh pada Kang Mamat yang melompat-lompat.
“Po—pocong,” teriak warga. Sebagian dari mereka langsung pingsan dan ada yang berlari ke rumah masing-masing.
“Elu sih, Mamat. Begitu sadar langsung ke sini. Kasihan warga.” Rafan membuka kain putih kemudian menyerahkan pada Pak RT da si Janda.
“Ambil ini!”
Segera diambil dan ditutupi tubuh mereka. Beberapa warga yang sudah sadar kini celingukan dan bernapas lega karena tak ada lagi pocong.
“Ini kita apakan mereka?” tanya salah satu dari mereka.
“Usir dari kampung!” seru warga.
“Eits, tenang dulu warga-warga!” Rafan mengangkat kedua tangan minta mereka diam. “Sebelum mengusir mereka, lebih baik, biar ada manfaatnya gunakan jasa mereka untuk kerja bakti.”
“Kang Udin, mana yang saya minta?”
Kang Udin dengan cepat menyeratkan sikat WC untuk Pak RT dan si Janda.
“Malam ini kalian gak usah tidur. Bersihkan semua toilet umum! Kang Udin, Kang Mamat, Kang Dodi, awasi mereka!” titah Rafan yang diangguki oleh mereka.
Semua warga pun sepakat dengan usulan Rafan. Ketiga pemuda yang disebut tadi langsung membawa Pak RT dan si Janda untuk diberi hukuman, sementara yang lain pulang ke rumah masing-masing.
“Tadi ada apa ribut-ribut, Nak?” tanya Sabila pada anaknya yang baru saja pulang.
“Pak RT main gula sama janda kampung sebelah.”
“Hah, serius kamu?” Sabila buru-buru menutup pintu rumah, menarik anaknya duduk di sofa. “Gimana ceritanya?”
Rafan mengeluarkan hpnya, memutar hasil rekaman 1 menit dan diserahkan pada ibunya.
“Astagfirullah, kecil banget.”
“Mom!”
“Maa, khilaf.” Sabila menyengir kuda. Matanya terus memperhatikan video tersebut. “Ini p****t janda ada bopeng, bekas bisul deh. Kok mau ya?”
“Udah ah, Mom. Matanya malah ke mana-mana.” Rafan menarik kembali hp-nya dari tangan sang ibu.
“Rafan, kamu jangan lihat-lihat video syur itu! Dosa. Apalagi gak mulus, kasihan matamu,” oceh Sabila yang diangguki Rafan, kemudian menghilang di balik kamarnya.
*
Pagi-pagi sekali, rumah mendiang Ummi Hanifah sudah dikerumuni oleh warga kampung. Rafan yang masih mencukur kumisnya, buru-buru keluar tanpa membilas terlebih dulu.
“Ada apa?” tanya warga menatap warga.
“Kami ingin Akang teh jadi RT,” seru salah satu warga yang disetujui oleh semua.
“Eh, eh, apa ni?” Rafan terkejut tiba-tiba warga mengusulnya jadi RT. Tak ada angin tak ada hujan, entah kenapa Rafan yang jadi target.
“Di sini gak ada yang cocok jadi RT. Sebaiknya Akang saja yang jadi RT. Memenuhi kriteria, pertama ganteng, kedua pintar, ketiga murah senyum.”
Sabila menoleh pada anaknya, dikasih tisu untuk mengelap bubble di wajahnya.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, anak saya hanya numpang nginap di sini, sebulan. KTP saja domisili di Jakarta, jadi gak mungkin jadi RT,” ujar Sabila memberi pengertian.
“Gak apa-apa. Kita bantu urus, yang penting kami dipimpin oleh orang yang bijak dan cekatan.”
Sabila tersenyum menoleh pada anaknya.
“Apa ni?” Rafan menatap curiga kalau ibunya sudah memain mata.
“Terima ya. Jadi RT.”
“Ogah,” tegas Rafan.
“Gak boleh nolak, dosa!”
“Apa hubungannya?”
“Ayolah, hari ini kamu jadi RT, tahun depan jadi DPRD, terus DPR, MPR, presiden. Kan hebat anak Mommy jadi pejabat.” Sabila membujuk mengusap gemas kedua pipi sang anak yang sudah dewasa itu.
Rafan pasrah dan mengangguk saja. Sulit untuk ditolak kalau ibunya sudah bertindak.
“Jadi Bu RT-nya siapa ni?”
“Eh?”