“Mom, apa kebanyakan orang kampung sini pup-nya di sungai ya?” Begitu pulang, Rafan langsung wawancara ibunya.
“Tumben kamu tanya seperti itu. Memangnya ada apa?” Sabila mengerut alis. Tak biasanya Rafan bertanya hal yang aneh.
“Tadi aku lihat orang-orang ada yang cuci baju di sungai, mandi, terus lebih parah lagi ada yang pup.”
“Jujur Mommy kurang tau kebiasaan orang kampung sini. Tau sendiri Mommy lahir di Jakarta, tumbuh besar di sana.” Sebelumnya Sabila memang tak pernah ke kampung, hanya beberapa tahun ini. Itu pun ketika mertuanya mengatakan akan pindah ke kampung karena rindu dengan mendiang suami, biasanya menetap di kota Bandung dan rumahnya tak jauh dengan rumah bundanya Nabila yang sering didatangi Sabila.
“Di sini ada berapa ya toilet umum?” gumam Rafan menatap kosong. Pikirannya terus berkelana mengingat setiap lorong yang pernah dimasuki.
“Harusnya ini jadi tugasmu, Rafan. List berapa rumah yang ada kamar mandi, terus cek toilet umum ada berapa. Setelah dana desa turun, kamu bikin tuh apa yang belum ada.” Sabila memberi usul.
“Iya, Mom. Aku sudah memikirkan untuk membangun PATH di sungai, yang nanti bisa disalurkan ke rumah warga.”
“Itu bagus, Nak. Tapi alangkah baiknya kalau para RT kompak, jadinya dana yang dikeluarkan lebih stabil. Toh bisa dipakai semua warga. Untuk satu RT sih terlalu kecil.”
Rafan bergeming. “Nanti aku usulkan ketika rapat. Kalaupun mereka menolak, aku tetap akan melakukannya, siapa yang mau disalurkan airnya ya harus bayar. Jadi bisa menutup kas yang sudah dikeluarkan.”
“Apapun keputusanmu, Mommy tetap akan dukung … by the way, anak Mommy sudah mulai terlihat jiwa-jiwa pemimpinnya ni. Mau ambil langkah sampai jadi presiden?” Sabila menggoda sang anak yang mesem-mesem.
“Takutnya kalau aku jadi presiden, para koruptor jadi ulat.”
“Maksudnya?”
“Ubah undang-undang. Siapa yang korupsi potong tangan. Bayangkan kalau koruptor gak ada tangan. Sekali korupsi potong tangan kanan. Korupsi lagi potong tangan kiri, lanjut korupsi potong kaki kiri, terus kanan, dah kayak ulat.”
Sabila tertawa mendengar penjelasan Rafan. Dia bisa membayangkan bagaimana lucunya para koruptor mendadak tak memiliki anggota tubuh yang lengkap. Turus merangkak—pucuk, pucuk, pucuk. Eh salah, duit, duit, duit.
“Tapi lebih seru dapat hukuman mati,” sambung Sabila.
“Jangan, Mom! Terlalu cepat ketemu malaikat maut. Aku lebih suka hukuman yang membuat mereka cacat dan malu.”
Sabila tersenyum salut pada Rafan. Anaknya yang satu ini memang berbeda dari anak-anaknya yang lain. Pola pikiran yang simpel tapi suka membalas dan tak tinggal diam. Terbukti Luna selalu menjadi rivalnya, jika Luna sudah mulai berulah, pasti Rafan akan membalas, cepat atau lambat. Sehingga keduanya saling balas membalas.
“Kamu pasti lapar, makan dulu yuk! Mommy sudah masak makanan kesukaanmu.”
Rafan sudah tak sabaran, gegas dia pergi ke ruang makan untuk menyantap makanan kesukaannya, terutama aneka olahan sayur, seperti yang tersaji di atas meja, ada capcay ditemani ayam rica-rica.
Lain Rafan lain lagi Luna. Dia menyeret kakinya dalam keadaan basah kuyup pulang ke rumah. Untung tadi membawa ransel sehingga laptop, buku dan hp bisa dimasukkan ke dalam tas dan aman dari air. Kalau tidak dia pasti sudah menyumpahi Rafan keselek dengan upil.
“Tumben lo mandi di sungai?” Fira menenteng sebungkus makanan ringan di tangannya mengamati Luna dari atas sampai bawah.
“Kecelakaan.”
“What?” Fira memekik buru-buru mengekori Luna yang sudah masuk rumah. “Kecelakaan gimana?”
“Tu gara-gara tetangga idaman lo.” Luna menunjuk rumah yang ada di seberang jalan dengan dagunya.
Fira tersenyum sumringah. “Fix, kalau jodoh memang selalu ketemu.”
Luna tak menjawab dia berlalu pergi, kemudian menoleh berlari memeluk Fira, mencium dan menggesek-gesekan pipinya di seluruh bagian wajah Fira.
“Lo ngapain sih? Geli tau gak?” Fira mendorong.
“Selamat anda terkontaminasi bakteri E.coli.”
“Maksud lo?” Fira mengerut alis.
“Tadi di sungai ada emas batang. Nempel di badan gue, terus—”
“LUNA!” teriak Fira melempar bungkusan cemilan lalu berlari mengejar Luna yang lari terbirit-b***t. Berputar-putar di dalam rumah hingga keluar sampai ke halaman rumah. Tawa dan teriakan menggema sampai ke telinga Rafan yang sedang duduk di teras bermain bersama dengan adiknya.
“Dasar bocah,” gumam Rafan menatap mereka keheranan.
“Atak.”
“Nada, sini!” Rafan buru-buru bangun mengejar Nada yang sudah berlari. Sepertinya dia tertarik dengan Luna.
Hap! Rafan menangkap adiknya itu, kemudian menggendongnya. Sontak membuat Fira menghentikan langkahnya, terpana dengan sosok Rafan. Tanpa sadar bibir pink natural itu mengulas senyum.
“Ternyata dia hot daddy.”
“Siapa? Mana hot daddy?” Luna penasaran, segera mendekat.
“Itu!” Fira tak berkedip sampai Luna menoleh.
“Oh. Cowok culun itu?”
“Culun apaan? Coba buka mata lo, lihat baik-baik pesona dia! Tampan, hot, apalagi pas gendong adiknya.” Fira tersenyum menahan kedua pipi—gemas. “Berasa lihat masa depan.”
Luna mendelik, tak ada sesuatu yang menggetarkan jantungnya. Masih normal-normal saja. “Lebay.”
“Gue udah bayangi kalau dapat suami modelan pak RT, fix gue kurung di kamar berbulan-bulan. Bercocok tanam terus.”
Luna mengedik ngeri menoyor kepala temannya itu. “m***m aja pikirannya.”
Fira terkekeh mengejar Luna yang kini masuk ke rumah. “Come on lah, Lun. Kita udah 19 tahun. Sudah saatnya … hem …” Tangan Fira dibuat kerucut lalu saling menyentuh ujung tangan kanan dengan tangan kiri.
“No. Gue masih bocah. Sana lu aja yang nikah!”
“Bocah tapi dah bisa bikin bocah.” Fira menyeringai. “Gak usah sok polos, pelajaran biologi dah khatam.”
“Sorry, gue IPS.”
“Oh, iya. Lo kan siswa terpintar dari belakang.” Fira kembali tertawa langsung melayang bantal sofa ke wajahnya.
“Gue kirim lo balik ke Jakarta!” Luna mengancam akan mengirim Fira kembali ke Jakarta. Iya, Luna dan Fira berteman dari sejak TK. Bukan tingkat kawin, tapi taman kanak-kanak.
Mereka sering bersama meskipun beda jurusan. Iya, Luna si pemalas selalu ditempatkan di kelas IPS paling ujung, sedangkan Fira di kelas IPA. Luna hobinya menghalu, sehingga sekolah asal bisa menghitung dan tak mudah dibodoh-bodohi orang, meskipun dia sering dikibuli juga.
Sejak tamat sekolah, Luna memutuskan untuk melarikan diri ke kampung karena tak ingin kuliah. Kedua orangtuanya pun pasrah dan membiarkan Luna dengan pilihannya sendiri. Bahkan pernah berkata, “Kuliah gak sanggup, kerja juga ogah-ogahan. Sudahlah, usia 20 kamu nikah saja.”
Keputusan Luna ingin liburan ke kampung juga diketahui oleh Fira. Dia ingin menganggur selama setahun dan memutuskan untuk ikut Luna. Bedanya Luna pindah domisili, sedangkan Fira hanya menemaninya saja.
“Lun, nyokap lu telpon.”
Luna yang baru saja selesai keramas langsung keluar menemui Fira, mengambil hpnya lalu mengeraskan suara karena malas mengobrol jika dekat-dekat telinga, suara melengking sang ibu pasti menembus gendang telinga.
“Halo Mama, ada apa telpon?”
“Luna, Mama sudah menemukan calon suami yang tepat untukmu.”
“Apa?”