Setelah perdebatan panjang, akhirnya SKP diterima juga. Luna kembali ke rumah sambil menari-jari dan jingkrak-jingkrak.
“Sawan?”
Luna terkekeh, berdiri tegak. “SKP gue di terima, Fir.”
“Ah, serius? Kok bisa?”
Luna mengulum senyum mengingat kejadian tadi. Sabila dan Zayyan memang paling bisa membuat anaknya menerima SKP. Jelas dong, daripada dikawinkan dengan Luna, lebih baik Rafan menerima SKP itu.
“Ceritanya panjang dan gue gak bisa pangkas begitu aja karena gak akan nyambung. Lebih baik gue tidur.” Luna bersorak berlari ke kamar. Melihat kasur sudah seperti melihat surga, dia menghempaskan tubuhnya memeluk kucing kesayangannya—kucing anggora dengan warna mata berbeda, kanan biru, kiri kuning.
“Buaya, mari kita mageran.” Luna mencium gemas hewan kesayangannya itu.
Memang tak salah Rafan menjulukinya sebagai manusia aneh dari planet lain. Kalifa Kalena yang dipanggil Luna itu hobinya mageran, makanya dia malas kuliah. Selain itu dia seorang penulis online.
Sebenarnya selain dua alasan di atas, yaitu malas kuliah dan terjadi pelecehan terhadap kucingnya, dia memiliki alasan lain pindah ke kampung halaman sang kakek karena kampung Cibobrok terkenal akan banyaknya masalah. Sebagai seorang penulis, dia perlu menguping setiap curhatan emak-emak saat berkumpul untuk dijadikan bahan referensi. Sebenarnya dulu dia menulis genre teenlit, tapi sekarang ingin mencoba drama rumah tangga.
Awal ketemu dengan Rafan itu saat kucingnya ditabrak oleh Rafan. Untungnya luka kecil dan berhasil diobati. Tapi sebagai pecinta kucing, Luna merasa marah pada Rafan yang tak ingin bertanggungjawab. Alasannya kucing dia tak bayar pajak, dilarang menggunakan jalan.
Disangka pertemuan sekali, tapi nyatanya takdir selalu mempertemukan mereka. Baik di jalan, di café, di pasar dan di segala tepat. Terlalu membosankan, apalagi saat Rafan menjadi ketua RT, Luna pun terlanjur pindah ke kampung Cibobrok. Oh tidak, ini adalah takdir yang sudah diatur oleh author.
*
“Good morning kampung Cibobrok.” Rafan tersenyum menyambut pagi. Udara masih sangatlah segar dan bebas polusi kalau di desa.
“Eh, tapi tunggu, kenapa harus Ci-bobrok?” Menggatuk dagunya. “Kenapa gak diganti jadi Cibagus gitu atau Ciganteng. Kan gua ganteng.” Rafan terkekeh mengangguk-angguk kepala. KePD-annya tak perlu lagi diuji coba, memang sudah berada di atas rata-rata.
Motonya begini kalau bukan kita sendiri yang puji diri sendiri, siapa yang akan puji? Orang lain dikasih duit pun ogah-ogah mau muji, paling setengah hati. Kalau pribadi sendiri beh, ikhlas lillahi ta’ala.
Rafan masihlah tertawa dan semakin geli saat ada sesuatu yang menggelitik kakinya. Dia pun menoleh dan …
“Aaa … buaya …” Rafan berlari terbirit-b***t. Begitu juga dengan kucing angora pesek berjenis kelamin perempuan itu. Ikut lari mengejar Rafan.
Lantas Rafan menjadi kalang kabut, menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian berbelok, memanjat pohon yang ada di depannya dengan cepat.
“Hus, hus, sana lo buaya kampret!” Rafan mengusir kucing milik Luna, tapi tak kunjung mau beranjak. Malah mengambil posisi enak untuk duduk, menggaruk pipinya dengan kaki. Ekor melambai-lambai semakin membuat Rafan geli. Iya, pria bertubuh kekar dengan tinggi 180 cm itu paling takut dengan kucing, bahkan jika ada bulu kucing nempel di hidung langsung bersin-bersin.
“Oi, buaya, sana lu pulang! Pakai soflen biar mata lu dua-duanya sama. Gak kayak gini. Ntar lu diperkosa sama kucing lain. Hus, sana pulang!” cerocos Rafan terus mengusir.
Kali ini buaya pun mundur membuat Rafan menghela napas lega. Namun dugaannya salah, buaya malah mengambil ancang-ancang dan hap! Keempat kakinya menancap di batang pohon, siap naik untuk bertemu dengan Rafan.
“Dududu, mom.” Rafan menjerit. “Buaya kampret! Ngapain lu naik segala.” Mulai ketar-ketir sampai seluruh bulu yang melekat pada tubuhnya meremang. Buaya terus naik dan bruk!
“Hei, ternyata kamu di sini.” Luna menangkap kucing kesayangannya yang tersungkur di tanah. Dipeluk dan dicium dengan gemas, penuh kasih sayang.
Sementara di atas pohon, Rafan tak bisa lagi menahan sesuatu yang akan meledak.
“Eh, hujan.” Luna memegang rambutnya yang mendadak ketumpahan air dari dahan pohon. Dia mengendus lalu mual.
“Sialan, siapa yang ngompol?” Luna memekik, kemudian mendongak.
“Fanfan.” Luna terkejut melihat Rafan memeluk dahan pohon, detik kemudian tertawa terpingkal-pingkal saat melihat celana Rafan basah.
“Anj** lo ngompol. Wajib gue viralin.”
“Oi, berani lu? Gua usir dari kampung ini!” teriak Rafan memberi ancaman, tapi tak berlaku bagi Luna. Dia segera mengeluarkan hp dari sakunya.
“Lah, kok mati sih?” Sama sekali tak bersahabat. Hp Luna malah lowbat.
“Tunggu di sini! Gue ambil hp lain.” Luna gegas berlari. Namun dia kelupaan sesuatu. Menurunkan kucingnya kembali lalu memberikan interupsi. “Buaya, jaga Fanfan!” Kucing itu pun menurut. Dia kembali ke pohon, duduk di bawah menjaga agar Rafan tak kabur.
“Oi, Lun. Sialan lu, kampret! Cepat usir buaya lo!” teriak Rafan berdecak sebal. Baru saja kakinya diturunkan, eh buaya malah memperlihatkan wajar sangarnya. Alhasil, Rafan mematahkan dahan pohon, melempar ke bawah. Tapi tetap saja buaya tak beranjak. Duduk ongkang-ongkang kaki, kadang berguling, kadang menggaruk wajah dan tubuhnya.
Luna kembali begitu cepat. Dia sudah memegang hp di tangannya, siap untuk mengambil gambar.
“Lun, lu berani, gua libas lu!” Rafan mengancam tapi Luna sama sekali tak peduli. Bagai angin berlalu, Luna langsung saja mengarahkan kamera dan memoretnya.
Rafan menutup wajahnya dengan dahan dan daun, lantas Luna bergerak ke kiri dan ke kanan sampai berhasil mendapatkan foto yang diinginkan dan tertawa puas melihat hasil jepretannya. Tiba-tiba saja gadis lesung pipi itu mengerut saat melihat si panjang sedang melilit di dahan.
“Fan, di atas kepala lo ada ular.”
Rafan mendongak, ular hijau sedang melelet membuat Rafan terkejut, kedua tangannya lepas dan bruk!
“Aww …” Luna meringis saat tertimpa tubuh Rafan. Tak ada slow motion ataupun suara jantung meskipun Luna berada di bawahnya. Fokus Rafan tertuju pada hp do tangan Luna, segera dia mengambil lalu berguling ke samping. Sat set semua foto berhasil dihapus.
“Ni gua balikin!”
“Fanfan!” teriak Luna saat melihat galeri hp-nya kosong, termasuk draf sampah. “Dasar begok, ngapain lo hapus semua?” keluh Luna menendang-nendang rumput, kesal.
“Salah lu sendiri.” Rafan bangkit. Dia lupa akan keberadaan buaya di antara mereka.
“Buaya, kejar Fanfan!” seru Luna memberi titah. Tanpa babibu Rafan langsung berlari kencang, berbelok ke kiri dan masuk ke rumahnya dengan tergesa-gesa.
“Kamu kenapa?” tanya Sabila melihat anaknya menahan pintu. Napas ngos-ngosan.
“Ada buaya,” jawab Rafan tersengal-sengal. Membuka sedikit pintu lalu mengintip buaya masih berdiri di depan pintu rumahnya.
“Buaya itu bukannya kucingnya Luna?” tanya Sabila memastikan. Dan Rafan mengangguk mantap.
“Celana kamu kok basah? Kamu ngompol?” selidik Sabila melihat celana anaknya basah, tak biasanya putra tampannya itu jorok. Biasanya paling bersih dan wangi.
Rafan tak menjawab, dia langsung lari ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Hari yang begitu sial baginya, Rafan harus mandi lagi.
Dua puluh menit berlalu, Rafan keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit bagian bawah dan rambutnya yang basah. Layaknya seperti orang baru saja mandi junub. Ah si babang Fanfan ini. Dan detik kemudian matanya malah membelalak saat melihat hewan berbulu itu di atas ranjangnya.
“BUAYA!”