Karin masih tidak percaya harus menginjak Bandara Ahmad Yani di hari Minggu. Hari yang seharusnya ia gunakan untuk tidur seharian setelah lelah bekerja seminggu penuh. Beberapa bulan terakhir ia bahkan harus lembur di hari Sabtu karena si Bos yang lebih sering meninggalkan kursi panasnya. Lebih memilih menemani sang istri yang sedang hamil bayi kembar mereka. Ia tentu saja ikut berbahagia dengan kehamilan istri sang Bos, tapi imbas menyenangkan yang diterimanya hanyalah bonus, selebihnya sakit kepala yang membuatnya menelan bodr*x hingga berbutir-butir.
Proyek satu belum selesai, sudah datang proyek lain. Asistennya sendiri masih belum bisa diberi tanggung jawab secara penuh. Sang Bos tipe perfectionis. Karin juga yang akan menerima omelan pedas bin menyakitkan Alka seandainya ia melepas pekerjaan sang asisten dan berujung masalah. Maka demi keamanan, serta ketentraman hati Karin sendiri, ia lebih memilih menambah jam kerja untuk mengecek pekerjaan sang asisten. Lelah ? sangat. Itu sebabnya ia ingin sekali menjerit karena kehilangan hari Minggu istimewanya.
Karin mendesah. Melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri. Jam 10 Pagi, seharusnya Karin baru bangun tidur. Lalu akan memesan makanan untuk brunchnya. Sudah terlambat dikatakan breakfast, dan terlalu awal untuk disebut lunch. Dengan lesu Karin menarik kopernya. Tak tanggung-tanggung, pria yang sayangnya memberi ia gaji tinggi itu menyuruhnya berada di Semarang untuk persiapan pembangunan wahana bermain, dan Hotel di Semarang, kota kelahiran istri sang Bos selama 1 minggu penuh.
Ingin hati Karin menolak, namun ingatan akan pemecatan yang bisa kapan saja Alka lakukan membuatnya urung untuk protes. Alhasil kepala cantiknya itu hanya bisa mengangguk, dan menjalani titah sang penguasa keuangannya saat ini. Betapa enaknya jadi orang kaya. Sepertinya sekarang Karin bercita-cita untuk menjadi orang kaya saja. Cara yang paling gampang ya dengan mencari suami yang kaya. Semoga saja jodohnya kelak seorang pria yang mencintainya sepenuh hati, serta bisa memenuhi segala keinginannya. Mungkin kelak saat hamil, ia akan ngidam menjadi pemilik hotel, atau pemilik mall. Jadi, fix dia harus mendapatkan suami yang kaya tujuh turunan supaya bayinya kelak tidak ileran. Seperti alasan sang bos membangun wahana bermain di Semarang.
Lambaian tangan seseorang mengalihkan perhatian Karin. Ia masih mengenali pria jangkung berkaca mata yang sekarang sedang tersenyum kearahnya. Meskipun hanya bertemu ketika menghadiri pernikahan sang bos di Lombok, mana mungkin Karin bisa melupakan wajah pria yang saat itu sedang patah hati. Wajah sendu seorang Abiyaksa Kurniawan. Ia sedikit mempercapat langkah kakinya, menghampiri Abi yang terlihat mempesona dengan kemeja biru kotak-kotak, serta celana jeans hitam. Terlihat rapi dengan ujung kemeja yang dimasukkan ke dalam celana. Berbanding terbalik dengan penampilan santai Karin yang hanya mengenakan kaos oblong putih kebesaran, dan celana panjang navy, serta sneaker putih.
“ Selamat datang di Semarang,” sambut Abi begitu Karin tiba di hadapannya. Karin menyambut uluran tangan Abi, serta mengucap terima kasih. Abi segera meraih pegangan koper milik Karin, kemudian mengajak wanita itu menuju tempat ia memarkir mobil.
“ Bagaimana Jakarta ?” Abi menekan tombol unlock. Pria itu lalu berjalan ke pintu belakang untuk memasukkan satu koper tanggung yang Karin bawa. Meminta sang tamu untuk lebih dulu memasuki mobil. Karin baru menjawab pertanyaan Abi setelah pria itu memasuki mobil, dan duduk di balik kemudi.
“ Masih seperti biasa. Panas dan macet.” Karin meletakkan siku tangan kiri ke jendela untuk menyangga kepalanya. Ia mengamati pria yang sudah mulai memutar kemudi dengan senyum tersungging.
“ Yang itu sepertinya tidak akan berubah ya.” Jawab Abi. Karin hanya mengangguk membenarkan. Wanita itu kemudian memilih menyandarkan punggung pada sandara kursi, lalu memejamkan mata.
“ Lama nggak perjalanannya ?” tanya Karin dengan mata terpejam. Abi melirik wanita di sampingnya yang terlihat begitu kelelahan.
“ Tiga puluh menit.”
“ Keberatan nggak kalau aku tinggal tidur ? ngantuk banget nih.” Karin menyamankan posisinya, dan tak lama dia benar-benar terlelap. Abi mengatur suhu dalam mobilnya supaya Karin bisa tidur lebih nyaman.
Jalanan di kota semarang tidak semacet jalanan di ibu kota, Jakarta. Namun karena hari ini minggu, lalu lintas nampak lebih sibuk. Mungkin 80% orang semarang memutuskan keluar rumah hanya sekedar untuk jalan-jalan ke mall, ke tempat hiburan, atau menikmati makanan di kafe-kafe. Abi sendiri bukan orang yang suka tempat ramai. Sebenarnya dia lebih suka berdiam diri di rumah. Mengerjakan pekerjaan yang tidak ada habisnya, atau hanya berkumpul dengan teman-teman di rumah Bimo, Radit, atau Dhani untuk menghilangkan rasa jenuh, dan sepi karena tinggal di rumah sendirian. Teman-temannya sudah berupaya mengenalkannya pada teman-teman para istri mereka, namun Abi belum punya keinginan untuk menjalani hubungan baru.
Usianya sudah tidak muda lagi, jadi seandainya ia memutuskan untuk berhubungan dengan seseorang, tentu saja itu bukan sekedar hubungan main-main. Dan Abi merasa belum siap. Ia masih harus menata hatinya terlebih dahulu. jangan sampai ia hanya menjadikan orang lain sebagai tempat pelarian karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Atau mungkin karena Abi belum menemukan seseorang yang membuatnya merasa ‘klik’ dan membuatnya merasakan ‘dialah orangnya’. Mungkin.
Abi merendahkan tempat duduknya. Menyamankan posisi agar bisa memejamkan mata. Setelah tiga puluh menit menyusuri jalanan yang lumayan padat, akhirnya mereka sampai di hotel yang akan Karin tempati selama di Semarang. Namun, melihat wanita yang tertidur di kursi penumpangnya itu tampak masih begitu nyenyak, ia tidak sampai hati membangunkan. Mungkin Karin memang selelah itu.
Karin perlahan membuka mata. Ia baru saja mimpi indah. Pergi berjalan-jalan dengan seorang pria yang sayangnya tidak Karin ingat wajahnya. Satu rasa yang tertinggal dalam hati Karin ketika mimpi itu telah berakhir adalah bahagia. Ia menegakkan tubuh, sebelah tangan bergerak menutup mulut ketika ia menguap lebar. Begitu matanya terbuka sempurna, Karin menepuk dahi, ia masih berada di dalam mobil. Uh … Karin dan tidur memang tidak bisa dipisahkan. Entah sudah berapa lama ia tertidur, dan ketika menoleh ke samping, ia melihat Abi dengan posisi nyaman serta mata terpejam. Kaca mata masih melekat di hidung tinggi pria itu.
“ Aduh … bukannya mau ada meeting ya siang ini,” gumam Karin seraya merapikan rambutnya. Wanita itu kemudian memberanikan diri membangunkan Abi. Mereka harus bekerja. Ia tidak ingin mendapatkan teguran karena tidak tepat waktu, atau melupakan tanggung jawabnya.
“ Abi … bangun. Bi .. “ Karin menggoyang lengan Abi. Abi hanya melenguh menanggapi.
“ Hey … bangun. Bukannya kita ada meeting siang ini ?? ayo bangun buruan.”
“ Bentaran kenapa sih Bim.” Karin mengerutkan keningnya. Ternyata sama sepertinya, Abi juga pecinta mimpi. Ia terkekeh. Mengamati wajah tenang dengan mulut yang sedikit terbuka itu.
“ Sebenarnya kamu itu … tampan kok. Sayang nasib kamu kurang beruntung.” Karin menggelengkan kepala. Seperti kamu beruntung aja … bisik suara hatinya. Kalau mau ngomong itu ngaca dulu. Kamu sudah berapa kali putus cinta ? ckckck … ngaca Karin. Ngaca. Karin berdecak kesal. “Dasar otak tidak tahu diri,” gumam Karin pelan.
Suara dering ponsel pada akhirnya membuat Abi langsung menegakkan tubuh. Mata pria itu terbuka, lalu mengerjap. Tak lama ia meringis, merasakan punggung yang nyeri karena gerakannya yang terlalu cepat, dan tiba-tiba. Ia segera mengeluarkan ponsel yang membuatnya kaget tersebut. Melihat wajah Bimo di layar. Matanya melirik jam pada ponsel. Pukul 12.30 padahal mereka ada meeting jam 12.00
“ Mati gue …” umpat Abi sembari meletakkan kembali ponsel keatas dashboar. Membiarkannya meraung-raung tanpa berniat mengangkat panggilan dari Bimo. Ia sudah tahu apa yang akan pria itu katakan. Lebih tepatnya omelkan. Jadi tidak ada gunanya ia meladeni pria yang pasti sedang emosi tersebut. Abi membenarkan sandaran kursinya. Menoleh ke samping, mendapati Karin yang sedang menatapnya dengan ringisan.
“ Sorry … gara-gara aku ketiduran,” ujar Karin merasa bersalah. Abi tak menanggapi. Pria itu segera memasang sabuk pengaman, lalu menyalakan mesin. Menginjak pedal gas, kemudian melajukan mobilnya lebih cepat. Lebih penting segera tiba di tempat meeting, atau ia akan mendengarkan ocehan Bimo tentang efisiensi waktu.