Part 5. Kembali Menata Hati

1242 Words
Kembali ke Semarang, berarti kembali berkutat dengan pekerjaan. Gambar-gambar yang masih belum selesai ia kerjakan, serta janji temu dengan beberapa klien yang sempat ia tunda. Abi berdiri di depan meja gambarnya, mengamati gambar sebuah rumah pesanan dari seorang anggota dewan di kota tersebut. Rumah 2 lantai dengan konsep kontemporer. Gambar yang seharusnya sudah ia selesaikan seminggu yang lalu. Sepulang dari Lombok, yang pria itu lakukan adalah mengurung diri di ruang menggambar. Kadang, teman-temannya terpaksa mengusir Abi untuk segera pulang. Seperti yang terjadi hari ini. Bimo mengetuk ruang tempat Abi menggambar. Pria itu menoleh. Tampangnya sudah semrawut. Rambut acak-acakan, lengan baju yang sudah terlipat asal tinggi rendah. “ Udah malam. Pulang Bi. Lanjutin besok lagi,” ucap Bimo sembari masuk ke dalam ruangan Abi. Ia ikut mengamati hasil design rumah yang baru Abi selesaikan. “ Bagus. Punya Pak Raksa ?” tanya Bimo masih dengan mata mengamati satu lembar kertas karkir yang melekat di meja gambar. Abi bergumam menjawab pertanyaan Bimo. “ Hmm … “ “ Kapan mesti presentasi ?” tanya Bimo lagi. Sebagai pimpinan, Bimo lah yang bertugas membagi pekerjaan yang masuk ke biro arsitektur mereka. “ Besok. Makanya ini gue kebut selesai hari ini.” Abi bergerak ke meja kerjanya, mengambil cangkir berisi cairan hitam pekat yang sudah tak lagi panas. Meneguknya beberapa kali, sebelum kembali meletakkannya. Ia berbalik, lalu menyandarkan tubuh ke meja dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “ Lo kalau mau pulang dulu … pulang saja. Gue mungkin … “ Abi mengangkat lengan kiri, melihat kearah benda yang melingkar pada pergelangan tangannya. “ Setengah jam lagi,” lanjutnya. “ Seminggu ini lo tiap hari lembur. Lihat mata lo yang sudah mirip seperti mata boneka panda anak gue.” Bimo menggelengkan kepala. Ia tahu salah satu sahabatnya itu masih patah hati. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun pria itu masih sering mengurung diri. Sebenarnya ia merasa prihatin atas nasib percintaan pria itu. “ Anak lo itu cowok Bim, ngapain kamu kasih mainan boneka.” Komentar Abi yang membuat Bimo berdecak. Pria itu sudah berbalik sepenuhnya ke arah sang sahabat. “ Rika tuh sudah gue bilangin berulang kali. Kamar Raka malah penuh sama macem-macem boneka. Ya emang sih bukan boneka barbie, tapi gue sebenernya lebih senang kamar dia penuh dengan robot-robotan, atau mobil-mobilan.” Lalu Bimo kembali berdecak ketika mengingat kelakuan sang istri. “ Mungkin istri lo pengin anak perempuan.” Abi tertawa melihat wajah sang sahabat yang tertekuk. “ Dia belum mau punya anak lagi, katanya nunggu Raka masuk SD dulu.” Tawa Abi meledak. Wajah Bimo terlihat gusar. Ia tahu Bimo sudah ingin memiliki anak lagi. Pria itu termasuk pria penyayang anak-anak. “ Ya udah … lo tinggal bujuk Rika tiap hari sampai dia menyerah. Gitu aja kok susah.” Sebelah sudut bibir Abi berkedut. Menahan keinginan untuk menertawai sang sahabat lagi. “ Lo kayak lupa aja kalo kita para suami sudah pasti kalah sama para istri. Karena sesungguhnya kebahagiaan rumah tangga tergantung pada kebahagiaan istri.” Jelas Bimo. Pria itu sudah bersiap meninggalkan ruang kerja Abi. “ Lo … jangan lebih dari jam 11 harus sudah pulang. Jangan merugikan perusahaan kecil kita ini dengan boros listrik.” Sungut Abi yang dijawab dengan tawa oleh Abi. Tentu saja ia tahu Bimo tidak sungguh-sungguh dengan apa yang pria itu katakan. Ia hanya khawatir pada kesehatannya. Dan dia bersyukur memiliki para sahabatnya. Abi memperhatikan punggung sang sahabat hingga lenyap dari pandangannya. Ia mendesah. Kembali pulang, berarti kembali merasakan kesepian lagi. *** Pagi itu, Abi bergegas mengendarai mobilnya menuju kantor. Bimo menghubunginya pagi-pagi buta, memintanya datang ke kantor jam 8 pagi. Padahal biasanya dia bisa datang sesuka hati. Tidak ada peraturan jam kerja 8 sampai 5. Mereka bebas mau datang jam berapa pun. Yang mereka tekankan adalah tanggung jawab pada proyek yang mereka tangani. Biasanya, Abi lebih suka datang jam 9 atau jam 10 karena berkendara pada jam itu jalanan sedikit lengang. Setelah 30 menit berada di jalan dengan sedikit kemacetan karena jam kerja dan semua orang berbondong-bondong menuju tempat mereka bekerja sehingga memenuhi jalanan, akhirnya Abi bisa memarkirkan mobil di depan bangunan dua lantai tempat ia dan para sahabatnya membuka biro arsitektur. Ia melirik jam tangannya. Hampir saja ia telat. Dengan cepat ia melepaskan seat belt, kemudian keluar dari mobil. Pria itu berjalan cepat memasuki gedung. Lantai 2 tujuannya. Tempat para senior arsitek bekerja, termasuk dirinya. Ketika memasuki ruang rapat, semua sahabatnya sudah berkumpul. Bimo, Radit, dan juga Dhani. Ketiganya sudah bersiap di depan laptop milik Bimo. Mereka bertiga sontak menoleh ke arah pintu, ketika Abi masuk. “ Belum telat kan gue ?” tanya Abi seraya mendekat. Menarik kursi, lalu duduk di belakang Radit. “ Ada apaan sih? Kenapa mesti kita semua kumpul ? bukannya lo sendiri aja Bim.” Bimo menoleh ke belakang. “ Ini proyek besar, bro. gue pengin kita semua ikut andil.” Jawab bimo, lalu kembali fokus ke depan. Layar kemudian berkedip sebelum menampilkan wajah sosok yang membuat Abi terbelalak. Mimpi apa dia semalam hingga pagi ini harus melihat wajah yang mengingatkannya pada kekalahan. Setelah setengah tahun berlalu, ia masih saja mengingat bagaimana pria itu memenangkan hati wanita yang ia cintai. Ah … Abi masih bisa merasakan nyeri di sudut hatinya. Melihat wajah dalam layar itu tersenyum menyapa mereka. “ Maaf meminta waktu kalian sepagi ini. Semoga kalian tidak keberatan,” sapa Alka dari dalam layar. Dalam hati Abi mengumpat. Apa-apaan itu. Memangnya kalau dia keberatan, dia bisa hengkang begitu saja sekarang ? “ It’s Ok. Kami berterima kasih karena Pak Alka bersedia bekerja sama dengan kami untuk proyek Bapak di sini,” jawab Bimo diplomatis. Mendengarnya, Alka tertawa. “ Please, jangan formal kayak gitu deh, Bim. Panggil saja Alka. Saya merasa bertambah tua jadinya.” Bimo tersenyum. “ Baiklah. Sesuai email semalam, wahana bermain, dan hotel di daerah candi. Benar kah ?” Alka mengangguk. Membenarkan perkataan Bimo. Dia memang sudah terlebih dulu mengirim email kepada Bimo mengenari niatnya membangun wahana bermain, serta hotel di kota kelahiran sang istri. “ Sebenarnya saya sendiri kurang begitu mengerti soal wahana bermain. Hanya karena istri saya meminta itu, jadi saya ingin mewujudkannya.” Bimo terperangah. Jadi sahabatnya itu yang menginginkan wahana bermain ? luar biasa memang Naya. Dia hanya perlu meminta, lalu sang suami dengan senang hati mewujudkannya. “ Jadi Bim, kamu bisa kontak istri saya setelah kalian memiliki ide akan seperti apa wahana bermain itu nantinya. Apa pun yang istri saya minta, tolong turuti.” Lalu Alka tertawa. Pria itu menggelengkan kepalanya. “ Dia sedang ngidam.” Dan boom … kata-kata Alka membuat hati Abi semakin merintih sakit. Naya hamil. Pria itu sudah berhasil menghamili wanita yang ia cintai. Membayangkannya saja membuat ia kesal setengah mati. “ Wow … congratulation,” sahut Bimo, Dhani, serta Radit bersamaan. Sementara Abi masih terdiam mengamati wajah bahagia pria di dalam layar. Lalu wajah pria dalam layar itu menoleh. Sepertinya ada tamu. Dan senyum pria itu semakin mengembang. “ Sini sayang … nih lagi zoom sama teman-teman kamu.” Ingin sekali Abi beranjak, lalu keluar ruangan itu ketika tahu siapa yang datang. Ia merasa belum siap melihat wajah wanita itu lagi. Meskipun ia sudah merelakan secara lisan, tapi hatinya masih saja terasa sakit. Masih ada rasa ingin memiliki seandainya itu mungkin. Ia mendesah belitu melihat wajah bersinar wanita yang sudah ada dipangkuan Alka. Sial mereka. Sepertinya mereka berdua memang sengaja ingin menunjukkan kebahagian mereka dan menyakiti hatinya. “ Oh … hai Bim .. Hai Dit. Dhan … “ Naya menggantung sapaannya, memicing kebelakang. “ Hai Bi … “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD