Nana berusaha menarik dirinya untuk duduk. Namun, sebuah jari menekan keningnya agar ia tetap berbaring.
“Ssstt! Kamu harus istirahat!” ujar Arsen dengan nada tegas.
“Aku udah nggak apa-apa, kok, Kak. Serius. Kakak kalau mau balik ke rumah sakit, nggak apa-apa. Aku bisa sendiri,” ucap Nana.
Arsen menatap wanita yang sedang berbaring di hadapannya dengan tatapan malas. “Kamu pikir aku mau bolak-balik ke rumah sakit lagi di cuaca sepanas ini?”
Nana kembali merasa serba salah. “Maaf. Andai Papa nggak minta Kakak buat merawat aku, pasti-”
“Siapa bilang?” potong Arsen cepat.
Tatapan Nana kembali terangkat untuk menatap pria di dekatnya itu. Namun, seakan menyadari ada yang salah dengan ucapannya, Arsen bergegas mengalihkan tatapannya ke arah lain - menghindari adu tatap dengan Nana yang kini menatapnya dengan alis mengernyit.
“Maksudnya, mau Papa ngabarin atau enggak, toh nanti pegawai kamu juga bakalan ngabarin aku duluan, kan? Apalagi mereka tahu kalau aku adalah dokter,” ralat Arsen cepat.
Nana mengangguk membenarkan. “Iya. Intinya aku minta maaf karena udah bikin Kakak kerepotan dan jadi harus bolos kerja.”
Arsen melirik Nana. Namun, segera mengalihkan tatapannya kembali saat menyadari jika wanita itu juga masih menatapnya. Arsen berdehem, “aku mau ambil baskom dan kain buat mengompresmu. Kamu rebahan dulu aja, dan jangan kemana-mana!”
“Aku sudah-”
“Nurut, Na! Aku sedang tidak mau berdebat,” tegas Arsen saat ia menyadari Nana akan kembali menolaknya.
Nana mengerutkan bibirnya. Ia sedikit kesal dengan Arsen yang menurutnya terlalu banyak mengatur dan memaksa. Namun, di sisi lain Nana juga tidak ingin membuat semuanya menjadi runyam dengan mengajak pria itu berdebat. Harusnya Nana sangat berterima kasih pada Arsen yang masih sudi merawatnya meski hubungan mereka tidak sedang baik-baik saja seperti saat ini.
Tak berselang lama, Arsen kembali. Pria itu tampak membawa dua benda yang sempat ia katakan tadi - baskom dan kain. Nana berusaha menghindar saat Arsen akan meletakkan kain yang sudah ia basahi dengan air hangat itu ke keningnya. Namun, Arsen berhasil membuat Nana tak berkutik.
“Diamlah! Biarkan benda ini sedikit menyerap panasmu. Kamu tidak sadar kalau suhu tubuhmu di atas rata-rata?” omel Arsen, karena Nana yang masih saja berusaha untuk memberontak.
“Tapi ini sedikit risih,” keluh Nana.
“Hanya sedikit, kan? Lagi pula siapa suruh kamu sakit?” ujar Arsen, membuat Nana berdecak kesal. Akhirnya ia hanya bisa pasrah. Ia mulai diam, membiarkan kain hangat itu menempel di keningnya.
“Good girl. Tetaplah diam selagi aku menyiapkan makan siang,” ucap Arsen. Nana hendak protes. Namun, Arsen sudah lebih dulu beranjak dari sana.
Nana menatap nanar pintu kamar yang kini telah tertutup rapat. Senyum tipis terlukis indah di bibir pucatnya. Tangan tangannya terangkat untuk menyentuh kain basah yang ada di keningnya.
“Dia … peduli?” gumam Nana.
Nana tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Meski nada bicaranya masih terdengar dingin dan raut wajahnya pun datar, tetapi perhatian kecil yang Arsen berikan kali ini berhasil menggetarkan hati Nana sekali lagi. Nana bersyukur memiliki suami sebaik Arsen. Dan Nana berjanji akan memperbaiki semuanya setelah ia sehat nanti. Ia berjanji, tidak akan lagi mengecewakan pria nyaris sempurna yang telah resmi menjadi suaminya itu.
Dua puluh menit kemudian, Arsen kembali masuk. Saat itu Nana nyaris saja tertidur. Ia benar-benar merasa mengantuk. Namun, rasa kantuk itu menguap begitu indera penciumannya menangkap aroma yang menggugah dan memaksanya untuk tetap terjaga.
Nana menarik dirinya untuk duduk hingga kain di kepalanya terjatuh. Ia menatap Arsen yang datang membawa nampan yang di atasnya terdapat sebuah mangkuk berisi sop ayam.
“Kamu masak? Atau beli?” tanya Nana penasaran.
Arsen menatap malas ke arah Nana. Ia menyerahkan mangkuk itu pada Nana beserta nampannya, lalu ia ambil kain kompres yang jatuh di pangkuan wanita itu.
“Hati-hati, itu masih panas!” pesan Arsen.
Nana seolah tak mendengarkannya. Ia segera membenarkan posisi duduknya, dan perlahan mulai mencicipi sop beraroma lezat itu.
“Hmm … kaldu ayamnya sangat berasa. Enak,” puji Nana, membuat Arsen tanpa sadar tersenyum.
Gerak-gerik wanita itu direkam jelas oleh Arsen. Arsen bersyukur, karena setidaknya Nana masih mau makan meski kondisi kesehatannya sedang tidak baik. Ya … walau pun pada akhirnya wanita itu tidak menghabiskan makanannya.
“Aku sudah benar-benar kenyang, Kak,” keluh Nana, karena Arsen yang masih memaksanya untuk menghabiskan sop itu.
“Tapi kamu tetap harus makan. Cepat habiskan mumpung masih hangat!” Nana membungkam mulutnya sendiri, seperti batita yang sedang melakukan aksi gerakan tutup mulut.
Arsen menghela napas panjang. “Buka mulutnya!” Ia menyodorkan satu sendok sop tanpa nasi pada Nana, membuat wanita itu mengernyit bingung. “Cepat, aku suapi!”
Nana menatap Arsen serba salah. Diam-diam pipinya mulai memerah. Perlakuan Arsen kali ini ia nilai sangat manis, meski lelaki itu melakukannya dengan raut wajah yang dingin.
“Karina, ayo!” paksa Arsen, memanggil nama depan Nana kembali setelah tiga hari ini Nana tak pernah lagi mendengarnya.
Akhirnya, Nana mulai menjauhkan tangan yang membungkam mulutnya. Ia juga mulai membuka mulutnya, membiarkan suapan Arsen itu lolos masuk ke sana. Nana menggiling makanannya dengan pelan. Matanya tak pernah beralih sedikit pun dari sosok sang suami yang menyuapinya dengan telaten.
“Jangan sakit lagi! Kamu sangat merepotkan kalau sedang sakit,” ujar Arsen, membuat Nana segera sadar dari lamunannya. Ah … benar juga. Pasti Arsen merasa kerepotan karena harus mengurusnya. Apalagi, dalam hubungan mereka yang sedang kurang baik seperti saat ini.
“Karina, kamu dengar aku?”
“I- iya, Kak. Sekali lagi aku minta maaf karena udah bikin Kakak repot,” ungkap Nana.
Arsen mengangkat kepalanya sehingga tatapan keduanya bertemu. Mereka saling beradu tatap sebentar. Dan Nana menyadari adanya tatapan yang rumit dari sorot mata sang suami. Seolah ada yang salah, tetapi Nana tidak tahu apa itu.
***
Nana terbangun di malam hari saat merasakan tenggorokannya kering. Ia menoleh ke samping, di mana Arsen berada. Lelaki itu telah memejamkan matanya, dan wajahnya tampak begitu kelelahan. Tak mungkin Nana tega untuk membangunkannya. Akhirnya, Nana pun bangun dan berniat untuk mengambil minum sendiri di dapur.
Nana mendudukkan dirinya di kursi makan. Ia meminum pelan air hangat yang baru saja ia ambil. Seketika itu pula tenggorokannya langsung terasa lega.
Saat Nana menikmati minumannya, terdengar suara pintu terbuka. Arsen datang dengan wajah bantalnya dan mengikuti apa yang Nana lakukan, mengambil air, lalu duduk di hadapan wanita itu.
“Kenapa nggak minta bantuanku buat ambil minum?” tanya Arsen.
“Karena aku masih bisa ngelakuin sendiri, Kak. Lagian Kakak tadi kelihatan capek banget kayaknya. Nggak enak juga kalau ambil minum aja harus ngerepotin Kakak,” jawab Nana seadanya.
“Justru kalau kamu nekat ambil sendirian terus tiba-tiba pingsan, itu akan jauh lebih merepotkan,” ujar Arsen.
Nana menatap nanar gelas kosong di tangannya. Kenapa ia jadi semakin kelihatan serba salah di mata Arsen? Ia tahu dirinya memang cukup merepotkan Arsen seharian kemarin. Namun, apa harus Arsen terus membahasnya seperti ini?
“Kakak terganggu banget ya tinggal satu atap dengan orang yang lagi sakit kayak aku?” tanya Nana.
Kini, giliran Arsen yang terdiam. Lelaki itu menatap Nana, tetapi Nana tak menyadari. Ia baru sadar saat ia mulai mengangkat kepalanya membalas tatapan Arsen dengan seuntai senyum tipis di bibirnya.
“Kakak tenang aja. Aku nggak selemah itu, kok. Dan kalau memang keberadaanku di sini cuma nyusahin Kakak dan bikin Kakak nggak tenang, mulai besok selama aku belum sembuh, biar aku tinggal di apartemenku sendiri saja,” ujar Nana, kemudian beranjak dan pergi dari area dapur.
Arsen diam. Ia menatap kepergian Nana dengan perasaan campur aduk. ‘Aku salah bicara, ya?’