11 - Sakit

1448 Words
“Kak, hari ini aku udah mulai masuk kerja lagi,” ujar Nana. Arsen yang sedang menikmati makanannya tampak tidak peduli. “Kak …” panggil Nana lagi. “Hm. Bisa berangkat sendiri, kan?” tanya Arsen. “I- iya bisa, Kak.” Bukan karena Arsen yang secara tersirat menyuruhnya berangkat sendiri yang membuat Nana merasa kecewa. Melainkan, nada bicara pria itu yang masih terdengar sama seperti semalam, dingin. Apa iya kekecewaan yang Nana sebabkan sebesar itu hingga sikap Arsen berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya? Lantas, mau sampai kapan Arsen bersikap dingin seperti ini pada Nana? Nana seakan kehabisan topik pembicaraan. Biasanya, Arsen lah yang lebih aktif memulai pembicaraan saat mereka bersama. Namun, sejak semalam hingga pagi ini, lelaki itu tampak tidak memiliki hasrat untuk berbasa-basi dengan Nana. Ia hanya bicara seperlunya, itu pun kebanyakan Nana dahulu yang harus memancing. Usai sarapan, Arsen berpamitan untuk berangkat kerja duluan. Padahal, biasanya mereka akan berangkat bersama, meski arah tempat kerja mereka berbeda. Setidaknya, mereka masih bisa mengobrol ringan berdua untuk mengakrabkan diri sampai di basement. Namun hari ini, suasananya berbeda. Arsen tampak tergesa-gesa ingin menjauh dari Nana. Nana menghela napas panjang setelah ia meletakkan piring terakhir ke rak pengering. Ia baru saja selesai mencuci piring dan alat masak yang ia gunakan pagi ini. Lalu, ia menuju ke kamar untuk bersiap pergi ke butik. “Ini kan jam tangan Kak Arsen. Apa nggak sengaja ketinggalan, ya? Atau Kak Arsen memang pakai jam yang lain?” gumam Nana saat ia menemukan jam yang biasa Arsen gunakan tergeletak di atas nakas. Nana melirik jam digital di ponselnya. Masih pukul tujuh. Ia masih punya banyak waktu untuk sampai ke butiknya. “Masih sempat lah kalau aku antar jamnya. Mau telepon Kak Arsen dulu juga takutnya ganggu. Jadi mending langsung aku samperin aja deh,” putus Nana. Nana melihat tampilannya di cermin. Ia perbaiki make up-nya, sebelum ia mengambil tas serta kunci mobilnya yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi setelah bangun tidur. Setelah itu, Nana pun keluar dari unit yang ia tempati, menuju basement untuk mengambil mobil putih yang sudah beberapa hari ini tidak ia pakai. Nana baru ingat jika sudah beberapa hari ini mobilnya itu tidak dipanasi. Dan efeknya, sekarang kendaraan roda empat tersebut macet. “Ck, ada-ada aja, sih. Apa aku telepon Kak Arsen aja ya buat tanyain apakah dia butuh jam ini apa enggak? Kalau enggak kan aku bisa langsung naik taksi online ke butik,” pikir Nana. Wanita itu berusaha menghubungi Arsen. Namun, ternyata Arsen tak mengangkat teleponnya. Lagi-lagi Nana menghela napas panjang. Ia putuskan untuk menyusul Arsen ke rumah sakit untuk mengantar jam tersebut, sebelum ia berangkat bekerja. Setibanya di rumah sakit, Nana diarahkan untuk segera ke ruang kerja Arsen yang letaknya bersebelahan dengan laboratorium. Nana mengetuk pintu, dan tak lama pintu itu terbuka menampakkan Arsen dengan jas putih kebanggaannya. “Kamu?” Arsen tampak terkejut, persis seperti yang Nana duga. “Jam tangan Kakak ketinggalan. Aku dari tadi teleponin Kakak buat ngasih tahu, tapi teleponku nggak diangkat,” ujar Nana. Ia pun menyodorkan jam tangan milik sang suami. Arsen menerima jam tangan itu. “Makasih.” Dan setelahnya, suasana mendadak menjadi hening dan canggung. Nana tidak tahu harus mengatakan apa lagi sekarang. Namun, bukankah seharusnya Arsen menawarinya untuk masuk meski hanya sekadar untuk berbasa-basi? ‘Ah … aku lupa. Kak Arsen kan memang lagi kesal sama aku. Dia memang kelihatan seperti menghindar. Nggak mungkin juga dia bakal nawarin aku masuk, apalagi nanyain aku datang naik apa, kan?’ batin Nana. Tanpa sadar, wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri, membuat Arsen yang sejak tadi memperhatikannya mengernyitkan alisnya. “Ada lagi?” tanya Arsen. Pertanyaan sederhana itu secara tidak langsung membuat Nana merasa terusir. ‘Aku nggak boleh overthinking! Bisa jadi Kak Arsen memang lagi banyak kerjaan,’ batin Nana, berusaha untuk mengusir semua pikiran buruk yang hinggap di kepalanya saat ini. “Enggak, Kak, itu aja. Kalau begitu, aku pamit ya, Kak. Aku mau langsung ke butik,” pamit Nana. Arsen mengangguk. Lelaki itu tak mengatakan sepatah kata pun lagi hingga akhirnya Nana pergi dari hadapannya. Di dalam taksi, Nana berkali-kali menghela napas panjang. Kepalanya sangat pening memikirkan sikap Arsen yang entah sampai kapan mau mengabaikan Nana seperti ini. Di saat Nana harus berjuang merelakan Raga untuk pergi selama-lamanya, di waktu bersamaan Arsen juga memunculkan masalah baru yang mengusik kewarasan Nana. Bukankah hebat sekali jika Nana dapat melalui masalah yang datang secara bertubi-tubi seperti ini? *** Samar-samar Nana dapat mengendengar suara ayahnya. Namun, tidak mungkin kan Beliau tiba-tiba datang tanpa memberi tahu Nana terlebih dahulu seperti ini? Saat Nana hendak memeriksa kebenaran dari apa yang ia dengar, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Ia memegangi keningnya, menatap ke sekeliling di mana dirinya berada kini. ‘Kamar?’ pikirnya. Seingat Nana, terakhir kali ia masih berada di butiknya. Ia tiba di butiknya dengan taksi kemudian bekerja seperti biasa. Nana tidak ingat kenapa tiba-tiba ia bisa berada di kamar apartemennya seperti ini. Saat ia berusaha mengingat-ingat pun, yang muncul justru rasa pening yang semakin menjadi. Nana memutuskan untuk keluar, menghampiri suara dua orang lelaki yang sedang mengobrol di luar kamarnya. Ia berjalan pelan saat merasakan tubuhnya yang terasa begitu lemah. Saat pintu terbuka, dua pasang mata pria yang sedang berbincang itu pun kompak menatap Nana dengan tatapan kaget. Salah satu di antaranya langsung menghampiri Nana dan menuntun Nana untuk duduk. “Papa? Kok Papa ada di sini?” bingung Nana sambil memperhatikan sang ayah yang masih memegangi tangannya. Yup. Ayahnya lah yang membantu Nana untuk duduk di ruang tamu kini. “Tadinya Papa datang buat ngecek butik kamu. Karena Papa pikir kamu masih belum terlalu sehat dan belum siap kembali bekerja. Tapi ternyata kamu sudah ada di sana. Dan pas pegawai kamu ngecek, ternyata kamu pingsan dan suhu tubuh kamu panas sekali. Makanya Papa langsung kabarin Nak Arsen dan bawa kamu ke sini,” terang ayah Nana. Nana tidak ingat kejadian itu. Yang terakhir Nana ingat hanya ia masuk ke butik, lalu bekerja, meski ia tak yakin apa yang sedang ia kerjakan saat itu. “Na, kalau kamu memang belum sehat, jangan dipaksain! Biar aja butik Papa sama kakak kamu yang urus. Kamu fokus dulu sama kesehatan kamu, ya!” ujar ayah Nana. Nana mengangguk. Lalu, tatapannya beralih pada Arsen yang duduk tak jauh darinya. Melihat dari jendela jika di luar masih terang, sepertinya Arsen terpaksa harus bolos bekerja begitu mendapat telepon dari ayah Nana. “Kak Arsen nggak kerja?” tanya Nana. “Papa yang minta Nak Arsen pulang pas tahu kamu sakit. Papa minta tolong pada Nak Arsen buat merawat kamu terlebih dahulu,” papa Nana mengambil alih giliran Arsen untuk menjawab. Nana merasa tidak enak hati. Apalagi, saat ini hubungannya dengan Arsen juga tidak bisa dikatakan sedang dalam keadaan baik-baik saja. Pasti Arsen semakin kesal pada Nana, yang secara tidak langsung telah mengganggu pekerjaan pria itu. “A- aku udah nggak apa-apa, kok, Kak. Kakak kalau mau balik ke rumah sakit, silakan!” ujar Nana. “Kamu itu habis pingsan, Na. Harus ada yang jaga. Dan Nak Arsen udah bilang ke Papa, kalau dia bisa kok jagain kamu. Jadi biarin aja Nak Arsen di sini jagain kamu. Toh Papa juga nggak bisa lama-lama,” sambung Papa. “Tapi-” “Tidak apa-apa. Papa benar. Keadaan kamu belum terlalu baik buat ditinggal sendiri,” potong Arsen. Lelaki itu akhirnya bersuara setelah sekian lama. Nana menelan salivanya kasar. Sekarang ia semakin merasa serba salah. Namun, ia yakin pasti saat ini Arsen semakin kesal padanya, hanya saja pria itu sedang berusaha keras untuk menahan kekesalannya karena masih ada ayah Nana di sini. “Kalau begitu, Papa balik kerja dulu, ya. Nak Arsen, tolong jagain Nana! Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi Papa atau Arka. Kami akan selalu stand by,” pamit Papa. Nana semakin kelabakan. Ia hendak menahan sang ayah, tetapi lelaki paruh baya itu sudah lebih dulu berdiri dan beranjak menjauh. “Arsen antar ke depan, Pa,” tawar Arsen. “Nggak usah. Kamu jagain Nana aja. Kalau memang keadaannya cukup buruk, nanti biar Papa minta sopir buat antar kalian ke rumah sakit,” tolak Papa. “Untuk itu, biar Arsen nanti yang urus, Pa, nggak perlu pakai sopir,” balas Arsen. Papa mengangguk. Sekali lagi, ia memasrahkan Nana pada Arsen, sebelum akhirnya benar-benar pergi dari unit apartemen putri bungsunya itu. Blam Setelah suara pintu tertutup, terdengar sebuah helaan napas panjang dari sekitar Nana. Refleks, Nana segera mengarahkan tatapannya ke arah sumber suara itu berasal. Tampak Arsen dengan wajah yang begitu kusut sedang menyandarkan punggungnya pada sofa sambil memejamkan matanya. Lelaki itu tampak benar-benar lelah. Ekspresinya juga tidak bisa berbohong kalau dia sedang memendam rasa kesal, yang Nana yakini disebabkan oleh dirinya. “Maaf,” cicit wanita berusia dua puluh empat tahun itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD