Nana diantar pulang ke apartemennya oleh Arka. Wanita itu masih tampak lesu, meski ia terus berpura-pura tersenyum saat Arka mengajaknya bicara.
Arka mendudukkan Nana di sofa ruang tamu apartemen itu. Keduanya tampak meneliti sekeliling yang kini sudah sepi, pertanda jika Arsen sudah tidak ada di unit ini.
“Kamu yakin nggak apa-apa Kakak tinggal?” tanya Arka pada sang adik.
“Nggak apa-apa, dong. Lagian paling habis ini aku mau istirahat lagi,” jawab Nana. “Kakak nggak perlu khawatir. Aku nggak akan ngelakuin hal-hal bodoh yang cuma bakal membuat semuanya jadi runyam kok, Kak. Aku juga akan berusaha buat ikhlas melepas Raga,” lanjutnya, seakan tahu apa yang menjadi kekhawatiran sang kakak.
Arka menghela napas panjang. “Kamu nggak usah masak. Nanti Kakak pesenin delivery buat makan siang. Lalu makan malamnya, Kakak bakal minta Arsen buat pulang lebih cepat biar bisa nemenin kamu,” ucap Arka.
Nana mengangguk. Sudah dua hari ia tak melihat sang suami. Sepertinya Arsen sedang benar-benar sibuk sekarang. Bahkan, mengirim pesan pada Nana pun tidak.
Selepas kepergian Arka, Nana pun masuk ke kamarnya. Ia menyalakan televisi, menatap kosong kotak besar itu dengan pikiran yang melanglang buana.
Semua ini masih terasa begitu mengejutkan baginya. Ia masih tidak menyangka, jika selama ini Raga ternyata telah berbohong dan menyembunyikan fakta yang begitu besar dari Nana, demi membuat wanita itu tidak kehilangan saat ia harus benar-benar pergi dari dunia ini.
Andai tidak pernah bertemu Arsen dan sadar dengan statusnya kini yang sudah menjadi milik pria itu, mungkin, saat ini Nana akan benar-benar hancur karena kepergian Raga yang begitu mendadak. Mungkin, Nana masih akan terus menjadikan Raga sebagai satu-satunya alasannya untuk bertahan, dan dia akan hilang arah saat hari ini tiba.
Namun, nyatanya, Arsen berhasil membuat Nana kembali kuat. Sadar dirinya sudah memiliki Arsen, Nana pun mampu memaksakan dirinya untuk tetap tegak berdiri demi masa depannya dan sang suami.
***
Arsen pulang membawa makanan untuk dua orang. Dia meletakkannya di atas meja tanpa banyak bicara, lalu masuk ke kamar begitu saja. Nana sempat dibuat bingung dengan sikap Arsen yang bahkan tak membalas sapaan hangatnya kala mereka berpapasan di dapur.
Selang beberapa menit, Nana menyusul ke kamar. Dan ternyata, suaminya itu baru saja selesai mandi dan kini sedang memilih kaus di lemarinya.
“Kak, aku sudah siapin makanannya. Gimana kalau kita makan sekarang?” ajak Nana.
Arsen menoleh. Tanpa menjawab, ia segera keluar melewati Nana. Nana pun merasa semakin bingung dibuatnya. Namun, ia tetap mengikuti langkah Arsen menuju ke dapur.
Mereka duduk saling berhadapan seperti biasanya. Arsen tampak langsung menyantap hidangan di hadapannya, tanpa tertarik untuk berbasa-basi dengan sang istri yang sudah dua hari ini tidak ia jumpai.
“Kakak kerepotan banget ya tadi harus berhenti buat beli makan dulu? Besok pagi aku udah bisa masak lagi buat kita. Oh iya, Kakak mau dibuatkan bekal? Itung-itung sebagai ucapan terima kasih karena udah bawain makanan malam ini.” Nana menurunkan egonya untuk lebih dulu memulai percakapan.
Dan hal itu tampaknya berhasil. Karena Arsen yang segera mengangkat kepalanya hingga tatapan mereka bertemu. “Tidak perlu. Aku lebih suka makan di kantin rumah sakit dibanding harus bawa bekal seperti anak SD.”
Nana kembali dibuat terkejut karena sikap pria itu. Tak biasanya Arsen akan menolak tawarannya untuk membawakan bekal. Apalagi dengan jawaban ketus seperti itu.
Setelah memikirkan apa saja yang terjadi dua hari ini, di mana Arsen tampak seperti acuh padanya, Nana menyimpulkan jika ada sesuatu yang salah di antara mereka. Nana tidak ingat jelas apa yang telah ia perbuat sebelumnya pada Arsen. Yang mana di antara sikapnya yang telah menyakiti hati pria itu. Namun, Nana yakin jika memang hubungan mereka kini tidak sedang baik-baik saja.
“Kak,” panggil Nana.
“Kamu nggak segera memakan makananmu?” potong Arsen. Lelaki itu seolah menegaskan jika ia enggan untuk berbicara lebih lama dengan Nana.
Tak mau membuat suasana hati Arsen semakin kacau, akhirnya Nana menurut. Ia mulai memakan makanannya, menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada sang suami.
‘Nanti habis makan dan cuci piring aja aku tanyakan lagi ke Kak Arsen. Lagi pula, Kak Arsen juga kelihatan capek banget. Jadi mending aku ngalah dulu biar semuanya nggak semakin kacau,’ batin Nana.
Nana baru masuk ke kamarnya pada pukul tujuh lebih lima belas menit. Dilihatnya Arsen yang sedang sibuk membaca dengan kacamata bertengger di tulang hidungnya.
“Kakak lagi baca apa? Mau aku buatkan sesuatu buat teman baca?” tawar Nana.
Arsen menatap Nana yang baru saja mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur yang sama dengannya. “Nggak perlu. Kamu habis sakit, kan? Lebih baik banyak-banyak istirahat,” kata Arsen.
Nana tersenyum. Senang mendapati perhatian sang suami yang telah kembali. “Aku udah sehat. Kemarin cuma sempat drop aja. Tapi sekarang udah oke, kok.”
Arsen menaikan tatapannya sambil sedikit menoleh agar bisa kembali beradu tatap dengan Nana. “Sudah ikhlas melepasnya pergi?”
Nana diam. Seketika itu pula, senyum yang susah payah ia bangun luntur. Ia merasa kurang nyaman saat membahas Raga bersama Arsen. Nana tidak tahu apakah rasa ini wajar atau tidak. Hanya saja, ia merasa bersalah kala terjebak obrolan mengenai Raga dengan suaminya itu.
“Sepertinya kamu sangat mencintainya. Dan jika aku ingat-ingat, sepertinya memang kisah kalian memang belum sepenuhnya selesai saat aku masuk ke dalam hidup kamu,” ujar Arsen.
“Eh?” Nana cukup terkejut dengan pernyataan Arsen. “Nggak seperti itu, Kak.”
“Tapi aku rasa begitu,” balas Arsen. Pria itu kembali mengalihkan atensinya pada buku di tangannya. Senyum culas tercetak samar di bibirnya. “Bahkan kamu tampak sengaja menyembunyikan sesuatu dariku, saat awal kita bertemu. Aku masih ingat sekali tentang kejadian di reuni itu. Harusnya aku sadar lebih cepat kalau kamu berubah sejak Dicky datang membawa sepupunya itu.”
“Kak, tidak seperti itu. Saat itu kami memang sudah putus. Itu sudah beberapa bulan setelah kami putus. Dan aku pun tidak menyangka jika malam itu kita akan bertemu dengan dia,” bantah Nana.
Salah besar jika Arsen berpikir bahwa ia datang di waktu yang salah - saat Nana masih terikat dengan Raga. Karena faktanya, bagi Nana, Arsen justru hadir sebagai pengobat luka yang Raga torehkan padanya.
“Tapi kamu masih sangat mencintainya. Iya, kan?” tebak Arsen.
Nana tak bisa mengelak. Bahkan sampai detik ini, ia tidak akan bisa menampik jika Arsen bertanya tentang perasaannya pada Raga kini. Hanya saja … apakah salah jika di waktu bersamaan, Nana juga merasa nyaman pada lelaki lain?
“Seharusnya kamu tidak perlu berbohong dan berpura-pura mau menerimaku kalau kamu memang belum selesai dengan masa lalumu, Na. Harusnya waktu itu kamu sembuhkan dulu lukamu, dan pastikan sekali lagi apakah kamu sudah siap memulai hubungan yang baru dengan orang lai atau belum,” terang Arsen.
“Ucapan Kakak seolah-olah seperti Kakak menyesal sudah memulai semua ini denganku,” lirih Nana. Ia kecewa dengan ucapan Arsen. Setelah apa yang terjadi padanya beberapa waktu terakhir, bukan ini yang Nana inginkan akan keluar dari bibir sang suami.
Terdengar helaan napas panjang dari sisi Nana, yang tak perlu ditanyakan lagi dari siapa suara itu berasal. “Kalau boleh jujur, aku memang menyesalinya.”
“Kak!” sentak Nana.
Arsen menutup bukunya. Ia juga melepas kacamata khusus baca yang sejak tadi ia kenakan. Kali ini, ia benar-benar menatap Nana dengan serius. “Kamu tahu, kan, sejak awal aku juga ragu jika aku bisa bisa menerima adanya pernikahan dalam waktu dekat. Cuma kamu, Na, cuma kamu yang bisa bikin aku akhirnya memikirkana kembali tentang itu. Cuma kamu yang pada akhirnya membuat aku bisa membulatkan tekadku untuk melangkah ke jenjang ini. Menurutmu kenapa?”
Nana terdiam meski ia tahu jawabannya. Ya. Ia dan Arsen pernah membahas tentang hal ini sebelum mereka menikah.
“Karena aku percaya sama kamu. Aku percaya, kamu bisa mengubah pandanganku tentang pernikahan yang terlihat menyeramkan. Tapi sekarang apa? Aku justru baru tahu kalau ternyata istri yang aku percayai masih belum selesai dengan masa lalunya. Dia masih menyimpan rasa untuk pria lain, dan membohongiku sejak awal,” papar Arsen.
Apakah ucapan Arsen benar? Apakah yang Nana lakukan selama ini dapat dikategorikan sebagai kebohongan, karena ia telah menyembunyikan kisahnya dengan Raga, meski beberapa kali pria itu sudah pernah bertemu dengan Arsen?
Nana tidak bermaksud demikian. Namun, ia tak punya alasan untuk mengelak jika apa yang telah Raga katakan adalah salah.