04 - Keputusan Besar

1107 Words
“Bukannya kamu sepupunya Dicky?” tanya Arsen pada Raga yang berdiri kaku di depan pintu apartemen Nana. “Oh … itu …” “Kamu kenal dengan Karina?” Arsen kembali bertanya, setelah melihat Raga yang tampak kesulitan menjawab pertanyaannya sebelumnya. Raga mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang berdiri kaku menghadap ke arahnya dan Arsen. Tatapan pria itu begitu rumit, tak mampu untuk Nana pahami. Namun yang Nana sadari, saat itu Raga sedang dalam kesulitan untuk menjawab pertanyaan Arsen. Mungkin pria itu takut menjawab yang nantinya akan membuat suasana di antara mereka menjadi canggung. “Dia temanku semasa kuliah, Kak,” sahut Nana, membantu Raga menjawab pertanyaan Arsen. Nana tidak sepenuhnya berbohong. Toh mereka memang sudah mulai dekat sejak di bangku perguruan tinggi. Tentang status jelasnya mereka, Nana memang tidak ingin menyebutkannya secara lebih lanjut. “Oh … kalau begitu, nggak mau masuk?” tawar Arsen. “Hmm …” “Itu buat Karina?” potong Arsen. Alea langsung mengikuti arah pandang Arsen. Ia cukup terkejut melihat paper bag di tangan Raga. Apakah Raga membawa bingkisan itu untuknya? “Ini tadi kebetulan aja di depan ada yang jual. Terus karena tahu dari semalam kalau Nana nggak enak badan, jadi saya belikan buat dia,” kata Raga. “Nana? Kamu memanggilnya dengan sapaan akrab itu? Saya pikir cuma orang-orang terdekatnya yang boleh memanggilnya begitu,” heran Arsen. Nana pun cepat-cepat menyahut, “enggak kok, Kak. Memang aku lebih sering dipanggil Nana sama orang-orang.” Kemudian, tatapannya beralih pada Raga. Nana tidak ingin kelihatan canggung di hadapan Raga. “Raga, kamu mau masuk? Kebetulan kami lagi sarapan. Kalau kamu-” “Enggak, Na.” Raga buru-buru menolak. “Maaf aku buru-buru. Habis ini juga masih harus jemput Alice dulu.” Nana gagal menyembunyikan raut kekecewaannya. Meski ia tahu Raga memang akan menolak tawarannya, tetapi Nana tidak menyangka jika Raga akan tega kembali menyebut nama gadis yang telah menghancurkan hubungan mereka. “Oh iya, Na. Ini aku bawakan bubur sama obat sakit perut buat kamu. Maaf, aku nggak tahu kalau kamu udah ada makanan,” ucap Raga. Nana berjalan mendekat ke arah pria itu, lalu menerima paper bag yang Raga sodorkan. “Makasih, ya.” Ada rasa bahagia yang muncul saat Nana mendapati perhatian kecil Raga untuknya. Setidaknya, Raga masih peduli padanya, tidak secuek seperti apa yang Nana pikirkan akhir-akhir ini. Setelah itu, Raga pun berpamitan. Ia pergi dari sana, tanpa menoleh kembali ke arah Nana. Sedangkan Nana terlalu sibuk menatap kepergian sang mantan kekasih, hingga ia tidak sadar jika sedari tadi Arsen terus memperhatikannya. “Na, are you okey?” tegur Arsen, saat melihat raut wajah Nana tampak sendu. “A- apa? Aku baik-baik saja kok, Kak,” jawab Nana. “Kamu kelihatan dekat sama dia. Lalu Alice?” “Oh, she is his girlfriend,” jawab Nana dengan setengah hati. Ia terpaksa harus menjawab dengan jawaban menyakitkan itu, karena sudah tidak memiliki ide lain untuk menjelaskan situasinya pada Arsen. Bukankah kisah Nana dan Raga memang terlalu rumit untuk dimengerti orang awam? *** Nana menghela napas panjang. Ia tatap satu per satu orang yang ada di ruangan itu. Ada sang ayah, ibu tirinya, serta sang kakak. Nana seolah sedang disidang oleh anggota keluarganya yang lain. Ya. Memang sejak tadi, Nana terus saja ditanyai beberapa hal mengenai Arsen. “Kamu yakin, Na, akan mengambil keputusan secepat ini? Kalian baru kenal kurang dari tiga bulan. Kakak pikir, itu terlalu singkat buat kamu sampai membuat keputusan sebesar ini,” ucap Arka. Di antara semua yang hadir di sana, tampak Arka yang terus-terusan mengingatkan Nana untuk kembali memikirkan keputusannya ini. “Kak Arsen orang yang baik. Papa sama Kak Arka juga suka sama dia. Soal cinta, Nana yakin perasaan itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Nana cuma butuh waktu buat buka hati Nana untuk Kak Arsen. Dan Nana yakin itu nggak akan sulit kok, Kak. Jadi, Nana yakin akan menerima perjodohan ini.” Arka menghampas punggungnya ke sandaran sofa. Nana tahu, kakak tirinya itu memiliki maksud yang sangat baik. Memang selama ini hanya Arka yang paling peduli pada kebahagiaan Nana. Bahkan ayah kandungnya sendiri pun tidak pernah mengerti dengan apa yang sebenarnya Nana butuhkan. Yang Beliau tahu hanya memenuhi kebutuhan materi Nana, tetapi buta akan apa yang ada di dalam hati Nana. “Bagus kalau kamu setuju, Na. Papa akan langsung menghubungi Pak Tama. Pasti Beliau akan sangat senang mendengar kabar ini,” ujar ayah Nana. Lelaki paruh baya itu segera mengambil ponselnya lalu menghubungi Pak Tama - ayah Arsen sekaligus rekan kerja Beliau. Usai pembicaraan penting keluarga itu, Nana pun pergi ke kamarnya yang ada di rumah ini. Ia ingin langsung beristirahat, mengistirahatkan otaknya yang sudah cukup terforsir hari ini. Sebenarnya, ia sudah mendengar tentang rencana perjodohan itu dari Arsen sekitar seminggu yang lalu. Dan sama halnya dengan Nana, Arsen tampak tidak keberatan. Maka dari itulah Nana memutuskan untuk juga menerima perjodohan itu. Yang ia tahu, Arsen adalah pria yang baik, dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Seharusnya, Arsen tidak akan menyakiti Nana, kan? Nana terkejut saat tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Tampak nama Arsen terpampang di layar depannya. Pria itu menelepon Nana. Dengan sigap, Nana pun segera menerima panggilan tersebut. “Halo, ya, Kak?” sapa Nana mulai membuka pembicaraan. “Hay. Aku udah dengar dari Papa kalau kamu juga setuju dengan rencana perjodohan ini. Terima kasih ya, Karina,” ungkap Arsen. “Kakak nggak perlu berterima kasih. Sejak awal kencan buta yang mereka rencanakan, aku tahu ke arah mana jalan yang sedang mereka buat untuk kita,” jawab Nana. “Tapi tetap saja. Seandainya kita tidak cocok, mungkin perjodohan itu bisa batal.” Nana mengangguk setuju. “Sama seperti yang Kakak katakan di waktu pertemuan kita yang pertama. Mungkin buat saling jatuh cinta tidak akan mudah. Namun setidaknya, masing-masing dari kita punya kepercayaan antara satu sama lain. Dan itu yang terpenting,” kata Nana. “Aku senang kamu percaya sama aku, Na. Aku tahu ini nggak mudah buat pihak perempuan. Tapi, aku janji nggak akan batasi hidup kamu. Kamu bisa tetap hidup normal seperti saat kamu masih single, jika suatu hari nanti kita sudah menikah. Kamu tetap bebas berkarir, dan aku akan kasih kamu waktu buat quality time atau apapun itu,” ucap Arsen. Nana sangat lega mengenal sosok seperti Arsen di antara anak teman-teman ayahnya. Nana sadar, ia memang tidak akan mungkin lolos dari perjodohan ayahnya. Namun, setidaknya, di antara kandidat-kandidat tersebut, ada Arsen yang bisa begitu mengerti Nana dan berhati baik. Ya. Nana yakin keputusannya ini sudah tepat. Meski tak bisa menjanjikan pernikahan penuh cinta, setidaknya Nana yakin jika Arsen adalah pria baik yang tidak akan membiarkan Nana menderita dalam kehidupan pasca pernikahan mereka nanti. Ya … semoga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD