Selesai makan malam dan berkirim pesan dengan Arsen, Nana pun merebahkan tubuhnya. Rasa kantuk mulai mendera, karena memang saat ini sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, sebelum ia sempat mematikan data ponselnya, hatinya tergerak untuk membuka sosial medianya. Dan di paling atas, ia melihat gambar dari bunga kesukaannya - anyelir berwarna merah. Nana lebih terkejut lagi saat menyadari siapa yang membuat postingan tersebut.
Melihatmu bahagia saja sudah lebih dari cukup buatku. Maaf, aku cuma nggak mau membuat semua menjadi rumit. Aku nggak mau kamu terluka lebih dari ini.
Raga_02
Jantung Nana berdegup kencang. Perasaannya mengatakan bahwa postingan itu Raga tujukan untuknya. Namun, mungkinkah? Lantas, kenapa Raga harus membuat tulisan seperti itu, seakan Raga pun turut merasakan luka atas perpisahan mereka? Sementara, yang Nana tahu, Raga sendiri lah yang memutuskan untuk pergi dari kehidupan Nana.
Nana segera membuka postingan itu. Dan kebetulan, ada sebuah balasan di bawah postingan tersebut.
Makasih bunganya, sayang. Makasih juga udah sempetin mampir malam-malam bawain makanan. Padahal katanya tadi lagi nemenin sepupunya ke reunian.
Alice_
Nana menghela napas panjang. Memang benar ternyata. Berharap pada manusia hanya akan membuahkan kekecewaan. Begitu pula yang ia rasakan kini.
“Lagian aku kenapa, sih? Kan udah jelas sekarang Raga udah bahagia sama Alice. Kamu masih ngarep aja, Na? Dasar bodoh!” kesal Nana pada dirinya sendiri.
Belum usai kekecewaan Nana, sebuah keajaiban kembali terjadi. Setelah menyelam ke dunia sosialnya tersebut, kali ini, perhatian Nana beralih pada aplikasi pesan pribadi berwarna hijau yang menunjukkan sebuah notifikasi pesan baru.
“Raga? Dia chat aku?” Nana mengucek matanya. Ia juga langsung duduk untuk memastikan jika kesadarannya masih terkumpul penuh. “Aku nggak salah lihat, kan?”
“Kamu baik-baik saja, kan, Na?”
“Hah???” Nana terkejut membaca pesan itu. Ada apa? Kenapa Raga tiba-tiba saja bertanya seperti itu?
“Ya, Ga? Ada apa?”
“Kamu belum tidur? Sudah jam berapa ini?”
Nana menelan salivanya, berusaha untuk tidak terbawa suasana gara-gara pesan Raga. Lagi pula, Nana tidak tahu apa motif laki-laki itu tiba-tiba menghubunginya setelah sekian lama. Siapa yang bisa menjamin kalau Raga punya niat yang baik?
“Belum. Kamu tadi tanya apa? Kenapa tiba-tiba tanya keadaan aku?”
“Kamu beneran lagi sakit?”
“Enggak kok.”
“Tadi di acara reuni kamu kelihatan agak pucat, keringetan juga. Yakin nggak apa-apa?”
“Aku oke, Ga. Tadi agak perih aja perutku. Tapi sekarang udah jauh lebih baik.”
“Syukurlah kalau begitu. Jaga kesehatan ya, Na! Jangan sampai kamu sakit!”
Nana menatap ngeri ke arah benda pipih di tangannya. Apa penglihatannya sudah mulai kabur? Atau memang benda itu sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya? Sepertinya Nana baru saja membaca sesuatu yang salah - yang tak mungkin dikatakan oleh Raga.
Namun, berapa kali pun Nana mengulang membaca pesan itu, ia tidak menemukan adanya yang salah dengan penglihatannya. Ia menghela napas panjang sebelum mengetikkan pesan balasan.
“Kamu sendiri gimana kabarnya?” Nana pikir, akan lebih baik kalau ia mengalihkan topik obrolan.
“Aku juga baik.”
“Oh iya, Na. Maaf sebelumnya kalau kamu menganggap ini lancang. Tapi, boleh aku tahu siapa laki-laki yang sama kamu tadi? Kalau tidak salah namanya Arsen. Dia ada hubungan apa sama kamu?”
Nana hanya membaca pesan itu, tetapi mendiamkannya. Ia merasa ia tak memiliki kewajiban untuk menjawab. Toh, antara dirinya dan Arsen sudah bukan menjadi ranah Raga untuk ikut campur, kan?
“Buat apa juga dia tanya kayak gitu? Memangnya dia peduli? Kan dia sendiri yang mutusin buat pergi. Harusnya dia senang melihat aku udah nggak lagi berharap sama dia,” lirih Nana sendu.
Tak lama, Raga kembali mengirimkan pesan. “Maaf kalau pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman. It’s oke, siapa pun dia, aku harap dia bisa bahagiain kamu lebih dari aku …”
Nana meletakkan ponselnya dengan kasar. Lalu, ia usap wajahnya frustrasi. Bisa-bisanya ia kembali galau hanya karena pesan dari Raga. Bisa-bisanya hatinya kembali diporak-porandakan oleh orang yang sama.
Nana begitu lemah. Ia sadar akan hal itu. Sekuat apapun ia berusaha untuk bangkit dan menghapus semua jejak Raga di hatinya, rasanya tetap sulit. Memori itu sudah melekat terlalu erat di dalam hati dan otaknya.
Keesokan harinya …
Pesan dari Raga benar-benar memberikan efek yang begitu besar bagi Nana. Gadis itu sulit tidur semalam. Dan efeknya, pagi ini ia terlambat bangun. Ia baru sadar jika dirinya terlambat begitu ia mengecek ponselnya dan terdapat banyak pesan serta panggilan tak terjawab dari sang kakak.
Nana langsung mendudukkan dirinya dengan mata membulat setelah membaca pesan dari sang kakak, disusul jam yang tertera di pojok kiri atas.
“Hah?! Udah siang?!”
Satu pesan yang paling menyita perhatian Nana kala itu adalah … “Oh iya. Katanya Arsen mau datang. Dia udah sampai?”
“Wait!!! Kak Arsen?!”
“Datang ke mana?” tanya Nana membalas pesan sang kakak yang membahas soal Arsen.
“Apart kamu.”
Nana langsung melompat dari turun dari kasur. Ponselnya ia lempar sembarangan ke atas kasur, dan ia bergegas menuju ke pintu utama unit apartemennya untuk memastikan jika ucapan Arka tidaklah benar. Namun, begitu pintu terbuka, ternyata sosok Arsen sudah benar-benar berdiri di sana.
***
Nana masih tampak murung. Bisa-bisanya ia teledor membuka pintu tanpa memperbaiki penampilannya terlebih dahulu. Untung saja, Arsen memberinya waktu untuk mandi selagi pria itu sibuk di dapur.
“Dari aromanya aja udah bikin ngiler. Aroma kaldunya berasa banget. Tapi fresh sayurannya juga masih kecium,” puji Nana, begitu ia masuk ke area pantry-nya dan melihat hidangan yang sudah tersaji di atas meja.
“Itu sop ayam dan sayur. Tapi nasinya sengaja aku buat agak lembek hampir seperti nasi tim. Dan itu bagus buat pencernaan orang yang lagi kurang sehat kayak kamu, biar lebih mudah tercerna tanpa organ digesti kamu harus bekerja keras,” terang Nana.
“Beda memang kalau bahasa dokter mah,” canda Nana.
“Kok cuma dilihatin? Buruan dimakan mumpung masih hangat!” kata Arsen. “Kalau kurang cocok, aku bisa buatkan yang lain.”
Nana mengernyitkan alisnya, merasa ada yang aneh dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kak Arsen nggak kerja?”
“Kebetulan aku dinas siang. Paling jam sebelasan nanti baru berangkat. Lagian aku udah bawa semua keperluanku di mobil. Jadi nanti bisa langsung berangkat dari sini,” jawab Arsen.
Nana kehilangan fokus saat melihat sesuatu yang ada di hadapan Arsen. Sebuah omellet dengan irisan tomat di pinggir piringnya membuat selera makan Nana semakin tergugah. “Waduh, kayaknya enak tuh.”
“Mau coba?” tawar Arsen. Sungguh, pria itu memiliki kepribadian yang sangat baik.
“Eh nggak usah. Ini aja pasti udah kenyang banget. Takut nanti malah nggak habis kalau semuanya Kakak tawarin ke aku,” tolak Nana.
“Ya udah, buruan yang itu dihabisin! Kalau nanti masih ada rasa sakit atau nggak nyaman, kamu bisa ikut aku sekalian ke rumah sakit!” Nana menganggukkan kepalanya. Padahal mah ia sudah tidak kenapa-kenapa. Jadi tidak mungkin juga ia ikut Arsen ke rumah sakit.
“Aku izin ke mobil sebentar. Ada barangku yang ketinggalan,” pamit Arsen. Setelah itu, Arsen bangkit menuju pintu utama apartemen Nana. Ia membukanya. Namun, baru saja pintu itu terbuka, ia menemukan seseorang yang tampak familiar berdiri di depan pintu tersebut.
“Kamu?”
Mendengar suara Arsen yang seolah sedang bicara dengan seseorang pun membuat Nana sontak menolehkan kepalanya. “Raga?” kagetnya.
Nana segera berdiri dengan raut wajah kagetnya. Ia tak menyangka tiba-tiba saja Raga akan datang ke apartemennya seperti ini.
Namun, apa yang sebenarnya membuat Raga tiba-tiba datang? Dan bagaimana Raga bisa tahu kalau Nana sekarang tinggal di apartemen ini? Padahal saat mereka masih bersama, saat itu Nana masih tinggal satu atap dengan keluarganya. Nana baru keluar dari rumah setelah muak dengan sang ayah yang terus saja mengatur kencan buta untuknya.