05 - Awal Semuanya

1285 Words
Nana terperanjat saat merasakan pelukan dari belakang tubuhnya. Ia menolehkan kepalanya ke samping, dan semakin terkejut kala menyadari jika pergerakkannya barusan hampir saja membuat wajahnya bersentuhan dengan wajah pria yang kini memeluknya. “Kak,” panggil Nana. “Hm?” sahut pria itu. “Aku kaget tahu, Kakak tiba-tiba di sini. Padahal tadi nggak ada suara langkah kaki orang mendekat,” ucap Nana jujur. Pria itu terkekeh. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Nana, membuat gadis itu berdebar tak karuan. “Aku habis mandi nggak sengaja lihat pintu masih terbuka. Pas aku samperin, ternyata ada kamu di sini,” balas pria itu. Nana berusaha melepas pelukan pria itu. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah pria yang baru saja menikahinya kemarin itu. “Jadi kita pulang ke Jakarta besok?” Lelaki itu, yang tak lain adalah Arsensio Erlangga mengangguk membenarkan. “Maaf. Kita cuma bisa liburan dua hari. Aku benar-benar lagi banyak pasien di rumah sakit. Tapi aku janji akan segera mengagendakan liburan kita selanjutnya,” janji Arsen. “It’s oke, aku ngerti, Kak. Saat aku memutuskan untuk menerima pinangan seorang dokter seperti Kakak, saat itu juga aku mengerti akan segala risikonya,” jawab Nana, membuat Arsen tersenyum penuh syukur. “Aku beruntung dipertemukan dengan wanita sebaik kamu, Karina,” ungkap Arsen. “Just call me ‘Nana’. Orang-orang lebih sering memanggilku begitu,” pinta Nana. “Kalau begitu, biarkan aku tetap dengan panggilan yang berkesan dan spesial ini, Karina,” tolak Arsen. Nana terkekeh geli. Awal bertemu dengan Arsen, ia pikir lelaki itu memiliki kepribadian yang dingin dan tak tersentuh. Namun, semakin ia mengenal Arsen, ternyata pandangannya itu salah. Arsen adalah orang yang lembut dan penuh kasih. Pantas saja hatinya terketuk untuk bekerja di bidang yang syarat akan jiwa sosial yang tinggi tersebut. Pernikahan mereka memang bukan didasari oleh cinta, melainkan rasa percaya satu sama lain yang menjadi fondasi terkuat dalam hubungan mereka. *** “Permisi, boleh saya tahu ruang kerja Dokter Arsen?” tanya Nana. Saat ini ia sedang berada di rumah sakit tempat Arsen bekerja. Ia sengaja tidak memberi tahu pria tersebut tentang kedatangannya. Nana sengaja membuat kejutan kecil-kecilan dengan membawakan bekal makan siang untuk sang suami tercinta. “Maaf, apa Anda sudah membuat janji dengan Beliau?” tanya resepsionis yang bertugas di meja depan rumah sakit. “Hmm … belum. Yang saya tahu, Dokter Arsen ada shift pagi hari ini. Jadi seharusnya dia masih di sini, kan?” ucap Nana. “Maaf, untuk keperluan apa, ya? Apa mau membicarakan tentang hasil lab?” “Oh, bukan. Saya mau mengantar makan siang ini ke Beliau.” Nana mengangkat lunch bag yang ada di tangannya, menunjukkannya dengan bangga di hadapan resepsionis itu. “Oh, maaf sekali, Ibu. Kalau memang urusan pribadi, seharusnya Anda membuat janji dulu dengan Dokter Arsen. Soalnya biasanya di jam-jam segini Dokter Arsen sedang sangat sibuk memeriksa hasil cek laboratorium pasien rawat jalan diabetes dan poli. Jadi sebaiknya Anda datang lagi di lain waktu!” usul resepsionis itu. Nana tampak kecewa. Padahal ia sudah susah payah menyiapkan makanan ini untuk Arsen. Rasanya sayang jika makanan ini tidak sampai ke tangan Arsen. “Kalau titip ke Mbak saja, apakah boleh?” Resepsionis itu tersenyum. “Boleh, Bu. Dengan Ibu siapa? Bisa tuliskan nama serta pesan Ibu di sini? Nanti saya sampaikan pada Dokter Arsen.” “Ah … iya,” jawab Nana. Senyumnya kembali merekah. Ia pun segera menuliskan pesan singkat dan nama lengkapnya di selembar kertas yang diberikan resepsionis tersebut. “Nana?” sapa seseorang. Nana yang baru menulis pun sontak langsung menoleh. Ia tersenyum, tak menyangka bisa bertemu dengan salah satu kenalannya di rumah sakit ini. “Kak Jovan?” kaget Nana. “Eh, Kakak kerja di sini juga?” “Iya, Na. Kamu apa kabar? Siapa yang sakit?” tanya pria bernama Jovan tersebut. Nana memperhatikan pakaian Jovan. Lelaki itu mengenakan jas putih dan setelan kemeja rapi di dalamnya. “Oh iya, Kakak kan waktu itu bilang mau ambil jurusan kedokteran, ya? Wah … selamat ya, Kak. Udah sukses sekarang.” “Bisa aja kamu. Berkat doa dan dukungan kamu juga ini dulu. Eh iya, siapa yang sakit?” “Enggak ada. Aku ke sini cuma mau nganterin bekal buat seseorang. Kakak kenal Kak Arsen?” ucap Nana. “Oh, Dokter Arsen? Kenal. Kebetulan dia senior Kakak dari sewaktu di bangku kuliah. Kamu kenal dengan Beliau? Sepertinya sekarang Beliau lagi sibuk, sih. Maklum, dokter spesialis, jamnya udah tertata banget karena jumlahnya terbatas di sini,” terang Jovan. Nana terkekeh. Ia masih tak menyangka bisa bertemu dengan mantan gebetannya semasa SMA itu. Dulu, Jovan adalah ketua OSIS yang sangat disegai. Dan Nana adalah salah satu anggota OSIS di bidang kemasyarakatan, yang sering turut terjun langsung bersama Jovan saat ada kegiatan sosial. Jovan duduk di bangku satu tingkat di atas Nana, sehingga sejak dulu Nana memang memanggilnya dengan sapaan ‘Kak’. “Oh, sebentar, Kak, kayaknya ada telepon,” ucap Nana, meminta izin pada Jovan untuk mengangkat telepon. “Take your time!” balas Jovan. Nana sedikit menjauh, kemudian menggeser ikon berwarna hijau di layar ponselnya. “Ya, Kak?” “Kamu di mana? Kakak di butik nih. Mampir sekalian bawain kamu jajan,” ucap lawan bicara Nana, yang tak lain adalah sang kakak. “Loh, kok nggak bilang kalau mau mampir? Aku lagi di luar, tahu?” “Namanya juga cuma mampir. Tadi habis ada rapat di dekat butik kamu. Jadi gimana, nih? Jajannya Kakak tinggal di ruangan kamu aja?” “Aduh, ruangaku berantakan. Kakak jangan masuk! Titipin ke pegawaiku, deh! Kakak buru-buru emang? Nggak mau nunggu aku aja? Aku lagi di rumah sakit-” “Kamu sakit? Sakit apa? Kenapa nggak bilang?” cecar Arka. “Kakak nggak lupa kan kalau suamiku dokter? Aku nganterin bekal buat dia. Biar kayak ala-ala istri idaman gitu. Kan Kakak yang ngajarin waktu aku mau nikah sama Kak Arsen kemarin,” ujar Nana. Terdengar helaan napas panjang di sana. “Syukurlah. Kakak pikir kamu kenapa-kenapa. Ya udah ini makanannya Kakak titipin ke pegawai kamu aja, ya! Kakak buru-buru soalnya.” “Iya, makasih kakakku yang paling ganteng!” seru Nana penuh suka cita. “Ya iya lah orang cuma satu doang kakak kamu. Mana kakak tiri pula,” balas Arka dengan nada malas. “Nah itu tahu,” canda Nana. Usai sambungan teleponnya dengan sang kakak berakhir, Nana kembali pada Jovan. Pria itu masih berdiri di sana, menunggui Nana. “Loh, Kakak nggak lagi ada kerjaan emang?” “Enggak. Kebetulan aku lagi turun habis jaga malam,” jawab Jovan. “Na, udah makan? Gimana kalau-” “Karina?” Nana terperanjat mendengar panggilan dari suara yang sangat familiar itu. “Kak Arsen?” Arsen dengan jas putihnya, berjalan ke arah Nana. Ia berdiri di antara Nana dan Jovan, menatap keduanya secara bergantian. “Kalian saling kenal?” tanya Arsen pada dua manusia di depannya. “Kak Jovan ini kakak kelasku sewaktu SMA. Nggak nyangka, ya, dunia sempit banget,” jawab Nana. “Oh iya, Kak, aku bawain sesuatu buat Kakak.” Nana mengambil kembali lunch bag yang tadi ia titipkan, dan segera menyerahkannya pada Arsen. “Apa ini?” “Bekal buat Kakak. Kan tadi Kakak cuma sarapan roti. Aku takut aja Kakak nggak ada waktu buat cari makanan di luar,” jawab Nana. “Wow. Ini kamu sendiri yang masak? Kamu bawa banyak, nggak? Kalau banyak, kita makan bersama saja di ruanganku! Kebetulan aku masih ada waktu beberapa menit buat visit,” ajak Arsen. Nana mengangguk setuju. Mereka tampak begitu asyik mengobrol, seolah tidak menyadari keberasaan Jovan yang masih berdiri di antara mereka. Jovan hanya menatap interaksi dua manusia itu dengan kening berkerut. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa sebenarnya hubungan antara Nana dengan Arsen, dan kenapa mereka tampak begitu dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD