Ciuman Pertama?

1910 Words
Matanya terpejam, tapi ia tahu bahwa ada sosok yang sedang memperhatikannya. Dan percayalah sosok itu bukan makhluk halus, melainkan manusia. Manusia yang semalam membuat ia kesal berkali-kali. Ia tahu bahwa Ghazfan akan selalu mengeceknya di saat pria itu terbangun. Mengecek apakah Orisha tetap bernapas atau tidak, begitulah ia menerka. Namun, kali ini entah apa yang membuat pria itu berlama-lama di kamarnya—hanya berdiri menatapnya—dalam diam. Membuat Orisha agak gugup. Ia tak ingin membuka mata, masih ingin berpura-pura tidur. Pria itu tak lagi berdiri, tapi sudah ikut naik ke tempat tidur, sedang duduk di pinggiran ranjang, tepat di sebelah Orisha. Membuat kasur empuk itu sedikit bergoyang saat Ghazfan turut duduk. Tangan pria itu bergerak pelan, hingga menyentuh rambut Orisha. Merapikannya sesaat kemudian mengelusnya dengan lembut. Setengah mati Orisha menahan agar matanya tidak segera terbuka. Setengah mati ia menahan agar tak satu suara pun keluar dari bibirnya. Bahkan mencegah deru napasnya berembus dengan keras. Walau sungguh, itu teramat sulit bagi Orisha. Karena kini dadanya mulai bergerak naik dan turun dengan cepat. Ah, sial. Orisha merutuk dalam hati. Diamlah, jantung! Sayangnya jantung di dadanya tak bisa berdetak dengan pelan. Sebaliknya, justru jantungnya menderu dengan kencang. Terlebih saat ia merasakan Ghazfan makin dekat dengan dirinya. Bukan hanya makin dekat, tapi embusan napas pria itu terasa menerpa permukaan wajahnya. Membuat Orisha sibuk menerka apa yang akan dilakukan Ghazfan. Dia mau nyium? Kayak yang di film-film? Oh, bisa juga dia romantis-romantisan. Orisha meremas seprai untuk menahan ledakan tawanya. Tapi, kan Si Om Gas belum pernah cium aku. Jadi, ini bakalan jadi ciuman pertama kami? Maka perasaan itu makin menggebu, seperti menggebunya suara jantungnya, seperti menggebunya suara deru napasnya. Ah, ia tak bisa berlagak seperti putri tidur yang hendak dicium sang pangeran. Mana mungkin bisa, karena di balik kelopak mata yang terpejam itu, dua bola mata Orisha sudah bergerak-gerak gelisah. Tampak jelas terlihat oleh Ghazfan. Tapi, pria itu membiarkan dan ia tetap melanjutkan apa yang hendak ia lakukan. Wajahnya semakin mendekat, perlahan-lahan ia turunkan wajahnya. Dan yah … bibir Ghazfan menyentuh bibir berwarna merah muda pudar itu. Hanya saling bersentuhan, tak ada pagutan atau gerakan saling menghisap sama sekali. Sentuhan dari dua bibir itu membuat perut Orisha bak dikerumuni semut. Memberikan sensasi yang membuat isi perutnya seolah digelitik oleh kaki semut-semut itu. Ah, ada gejolak di perutnya yang membuat ia enggan untuk menyudahi ini. Namun, sebelum ia benar-benar merasa puas akan gejolak tersebut, sentuhan bibir tersebut telah usai. Bibir milik Ghazfan kini tak terasa sedang berlabuh di bibirnya. Bibir itu sirna, membawa pergi seluruh gejolak yang tadi berkumpul di perut Orisha. Gadis itu membuka mata dengan cepat, dengan bibir yang cemberut. “Kenapa udahan?” tanyanya. Kening Ghazfan mengerut mendapati pertanyaan membingungkan itu. “Apanya?” ia bertanya. “Ciumannya? Kenapa udahan?” “Ciuman?” Ghazfan membeo. “Iya, kamu nyium aku.” “Aku?” “Iya, aku sama kamu, ciuman,” ujar Orisha sambil duduk. Pun untuk meyakinkan Ghazfan, ia sampai mempraktikkan dengan kedua tangan—jari-jarinya ia rapatkan lalu ia sentuhkan ujungnya—bak sedang berciuman. “Ngawur kamu. Siapa yang nyium kamu?” “Kamu.” Orisha langsung menunjuk Ghazfan. “Gak.” Ghazfan membantah. “Tapi, aku rasain kamu nyium aku,” ujarnya sambil menyentuh bibir. “Bibir kamu nempel di sini,” lanjutnya sambil tersenyum malu-malu. “Palingan kamu mimpi, Sha,” balas Ghazfan seraya menggelengkan kepala tak percaya. “Gak mungkin, aku tau kamu beneran nyium aku. Buktinya kamu ada di sini.” “Aku di sini buat bangunin kamu, buat ke dokter, Sha. Ngapain aku nyium kamu? Kamu tuh bau, masih ileran, kurang kerjaan banget aku nyiumin kamu.” “Ih, kok gak mau ngaku sih. Malu pasti?” ledek Orisha. “Jelas aku gak mau ngaku, orang aku emang gak nyium kamu. Liat nih, aku jelas-jelas berdiri di sini. Kamu masih di tempat tidur.” Orisha terdiam, memikirkan ucapan Ghazfan. Mencocokkan dengan ingatannya. Tapi, sungguh ia tak rela jika ciuman itu hanya mimpi. Karena ciuman itu terasa terlalu nyata untuk disebut mimpi. “Gak, kamu emang nyium aku,” putus Orisha lalu bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan dengan penuh semangat menuju kamar mandi. Tepat sebelum ia masuk ke kamar mandi, ia sempatkan untuk berbalik dan berujar. “Ciyeee … yang abis nyium aku tapi gak mau ngaku.” “Mandi sana, gak usah ngomong sembarangan.” “Ciyee … malu ….” Orisha terkikik saat ia masuk ke kamar mandi. Setelah menutup pintu pun, ia masih menyempatkan untuk membuka pintu lagi. Hanya iseng, ingin mengusili Ghazfan lagi. Sayangnya pria itu entah kenapa begitu cepatnya sudah meninggalkan kamar Orisha. “Dia pasti malu, uh … Kakak Ghazfanku sayang lagi malu-malu,” ujar Orisha sembari melihat pantulan dirinya di cermin. Dan begitu ia melihat dirinya dari pantulan cermin, ia langsung menggosok ujung bibirnya. Benar kata Ghazfan, ada bekas ileran di sana. Belum lagi ujung matanya yang masih ditempati belekan. “Kok aku jelek banget pas Kakak Ghazfan lagi nyiumin,” kesalnya. “Ih, dasar belek sama iler gak tau waktu. Kudunya tadi bangun lebih awal buat bersih-bersih muka dulu baru lanjut pura-pura tidur. Biar Kakak Ghazfan lama-lama nyiumnya.” Orisha membuka mulut, menaruh tangan di depan mulut, lalu mengembuskan napasnya. Dan ia bisa merasakan bagaimana aroma napasnya sendiri. “Alamakk, ini mulut kok bau amat,” rutuknya sambil menjambak rambut. “Pantes Om Gas nyiumnya cuma sebentar, terus gak mau ngaku lagi.” Dengan gerakan lesu, Orisha melepaskan pakaiannya lalu bergegas mandi. “Besoklah, besok aku wangi-wangi deh terus pura-pura tidur sambil nunggu ciuman dari Kakak Ghazfan tersayang,” ujarnya sambil cengengesan. Setelah mandi, berdandan, dan berpakaian, Orisha bergegas keluar kamar. Hendak menemui Kakak Ghazfannya tersayang, yang pagi ini membuat ia merasa sungguh senang. “Pagi, Neng Orisha,” sapa Bi Tari yang sedang menghidangkan sarapan. “Pagi juga, Bibi,” balas Orisha dengan suara penuh semangat. “Selamat pagi, Kakak Ghazfan,” lanjutnya lalu duduk di depan Ghazfan. “Neng Orisha sepertinya bahagia sekali pagi ini.” “Iya, Bi,” ia membenarkan, pun sambil mengangguk berkali-kali. “Seneng kenapa nih, Neng?” “Soalnya Orisha abis dicium sama Kakak Ghazfan …,” jawabnya sambil terkikik. “… di sini,” ia menunjuk bibirnya. Bi Tari ikut tersenyum melihat seberapa senang Orisha pagi ini. Wanita paruh baya itu berbalik melihat Ghazfan yang justru tak terlihat menunjukkan ekspresi apa pun. Pria itu malah asyik saja mengunyah sarapan, sembari sesekali menyeruput teh hijau hangat. “Neng Orisha seneng dicium Mas Ghazfan?” “Iya, seneng. Seneng banget. Soalnya ini pertama kali Kakak Ghazfan nyium Orisha.” Ghazfan meletakkan cangkir teh hijaunya. Pria itu menatap Orisha sambil menggelengkan kepala. “Kamu cuma mimpi, Sha. Aku gak nyium kamu.” “Bohong, aku bisa rasain kok kalo kamu beneran nyium aku.” “Makan gih, gak usah ngomong aneh-aneh lagi. Abis sarapan kita ke dokter.” “Siap, Kakak Ghazfan,” jawabnya sambil menghormat. Ghazfan berasa ingin menggaruk seluruh permukaan kulitnya karena geli dengan cara Orisha memanggilnya. Ia lebih suka dipanggil nama saja oleh gadis itu. Atau bahkan lebih memilih dipanggil dengan sebutan Om Gas dibandingkan dipanggil Kakak Ghazfan. Walau sebenarnya panggilan itu telah ia dengar sejak Orisha pindah di rumahnya—9 tahun yang lalu. 9 tahun yang lalu, seorang gadis berusia 10 tahun dibawa ke rumahnya. Gadis kecil itu sangat kurus, dengan matanya yang terlihat begitu kelelahan—lelah menanggung sakit yang menggerogotinya sejak lahir. Sejak lahir Orisha memang sudah divonis memiliki kelainan paru-paru. Saat usianya beranjak 10 tahun, dokter memvonisnya dengan penyakit paru obstruktif kronis. Saat itulah, Orisha kecil dibawa tinggal ke rumah orang tua Ghazfan yang merupakan dokter. Kondisi keluarganya saat itu cukup buruk, ah … bukan buruk lagi. Tapi, lebih dari buruk sebenarnya. Membuat kedua orang tua Orisha tak punya pilihan lain selain menitipkan anak semata wayangnya dalam pengasuhan sahabat terdekatnya. Bisnisnya bangkrut, ada banyak klien yang meminta ganti rugi, bahkan ada yang hendak menuntut atas tuduhan penipuan. Belum lagi kondisi Orisha saat itu yang sedang drop. Kedua orang tuanya tak bisa membawa Orisha berpindah-pindah kota untuk mengurus bisnis yang bisa dibilang sudah di ujung tanduk itu. Gadis kecil itu sebenarnya tinggal bersama kakek dan neneknya sejak kedua orangnya sibuk mengurus bisnis dari satu kota ke kota lain. Namun, satu tahun tinggal bersama sang kakek yang merupakan perokok aktif membuat kondisi Orisha makin parah. Dan yah … itulah salah satu penyebab Orisha mengidap penyakit paru obstruktif kronis, selain karena memang memiliki kelainan paru-paru bawaan dari lahir. Orang tua Ghazfan saat itu menawarkan bantuan, untuk merawat Orisha sembari sahabatnya—Kharel dan Octavia—membenahi bisnis mereka. Orang tua Orisha sepakat, merasa bahwa tinggal dengan dokter akan membuat peluang kesembuhan Orisha akan lebih besar. Tapi, lagi-lagi manusia hanya mampu berharap. Karena nyatanya, meski tinggal dengan pasangan dokter itu, Orisha tetap tak dinyatakan sembuh dari penyakit yang ia derita. Sebaliknya, justru satu tahun yang lalu—selepas Orisha menamatkan SMA—ia terpaksa tak melanjutkan pendidikan lagi karena terlalu sering sesak napas dan kondisinya yang makin lemah. Dan sejak hari di 9 tahun yang lalu itu, hingga hari ini, Ghazfan tumbuh dengan memberi perhatian berlebih pada Orisha. Tak semata-mata karena kasihan, tapi tanpa ia sadari, ada perasaan dalam dirinya yang sungguh besar menginginkan gadis itu untuk hidup lebih lama. **** Orisha dan Ghazfan tiba di rumah sakit setelah menempuh perjalanan kurang dari 10 menit. Apartemen yang ditinggali pria itu memang dekat dengan rumah sakit. Sengaja memilih tempat tinggal yang memiliki akses mudah untuk proses pengobatan Orisha. Tanpa perlu menunggui Ghazfan membuka pintu mobil untuknya, Orisha sudah turun. Gadis itu bersemangat sekali untuk bertemu dokter pagi ini. Bahkan dari wajahnya bisa terbaca betapa senangnya gadis itu. Rasa senang itu, tak berhenti terpancar, dari mata dan bibirnya. “Mami …,” Orisha langsung berteriak memanggil wanita paruh baya yang ia sebut dengan panggilan Mami. “Pelan-pelan jalannya, Nak,” balas wanita itu dengan sedikit berteriak karena Orisha berjalan terburu-buru ke arahnya. Ah, sungguh Orisha bertingkah bak anak kecil yang bertemu dengan orang tuanya. Orisha sedikit terengah saat ia sampai di depan wanita berjubah dokter itu. Meski demikian, ia tetap tersenyum lebar. “Harusnya tadi gak lari-lari, Sha,” ujar dokter Meira—Ibu Ghazfan—yang merupakan dokter spesialis gizi klinik. Orisha hanya menyengir sembari menetralkan napasnya. Gadis itu mengelus pelan dadanya, seolah tengah berkomunikasi dengan paru-paru dan jantungnya. Sedang meminta agar organ-organ tersebut lebih kuat. Ghazfan sementara itu, tiba beberapa menit setelahnya. Ia habis mengurus pendaftaran Orisha di loket pendaftaran pasien. Pria itu mengulurkan tangan, menyalami sang ibu lalu mencium punggung tangan wanita itu. Orisha mengikutinya setelah Ghazfan melepaskan tangan tersebut, ia sedikit menyengir. “Tadi, belum salaman, lupa.” “Kayaknya Orisha lagi semangat banget nih.” “Iya, Mami. Orisha seneng sama semangat banget hari ini. Mami mau tau gak kenapa?” Gadis itu ingin sekali membebarkan apa yang telah dilakukan Ghazfan padanya pagi ini kepada dokter Meira. Bahkan kepada seluruh dunia pun ingin ia beritahu bahwa pria yang ia labeli sebagai Om Gas itu habis menciumnya, dan itu adalah ciuman pertamanya. “Seneng kenapa?” tanya dokter Meira, ikut tersenyum karena senyum yang terpancar dari wajah Orisha. “Kasih tau Mami dong.” “Kakak Ghazfan ….” Ia menjeda sesaat, menunjuk pria yang berdiri di sebelahnya dengan ekspresi datar. “Kakak Ghazfan nyium Orisha tadi pagi.” “Orisha sesenang itu dicium sama Kakak Ghazfan?” “Iya, Mi. Soalnya Kakak Ghazfan nyium di sini,” ia menunjuk bibirnya. “Nyium di situ?” “Iya, Mi. Ini tuh ciuman pertamanya Orisha.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD