Antagonis atau Protagonis?

2084 Words
Orisha membalik wajahnya, menemukan pria yang sangat ia hindari itu sedang menatapnya. Kini tangan pria itu sedang menunjuk mie instan dalam mangkok. Membuat Orisha cemberut. “Aku laper, Ga,” rengeknya. Pun memasang wajah mengiba. “Ada banyak makanan yang bisa kamu makan di kulkas, tapi kenapa malah mau makan yang aku larang?” tanyanya dengan nada datar. Orisha menunduk, merasa bersalah. “Aku pengen makan mie, Ga,” rengeknya lagi, meski agak lirih. Tatapannya hanya berani tertuju di kaki Ghazfan, takut melihat mata pria itu. Yang ia yakini pasti sedang marah. “Aku kan juga pengen, Ga. Mau makan yang enak-enak, tapi dilarang terus.” Senjata andalan Orisha saat ia melakukan kesalahan adalah menangis. Bertindak seolah ia adalah korban, sementara jelaslah ia seorang tersangka. Tapi, lagi … Ghazfan sudah terlalu hafal dengan tingkah gadis itu. Tak akan tertipu hanya dengan setetes atau dua tetes air mata buaya Orisha. Dan ia memang tak akan tertipu. Karena tanpa menunggu lebih lama lagi, Ghazfan langsung membuang mie yang masih panas itu. Membuat Orisha menangis, bukan dengan air mata buayanya lagi. Tapi, benar-benar menangis karena gagal menikmati mie tersebut. Dan bahkan air liurnya pun menetes tanpa ia sadari. “Dasar Om Gas jahat, aku gak dibolehin makan, aku dibiarin kelaparan!” teriaknya sembari memukul punggung Ghazfan yang tak terlapisi pakaian. Pria itu memang hanya memakai handuk. Sebenarnya ia baru mau mandi, namun mendengar suara kompor yang dinyalakan membuat ia mengurungkan niatnya. Awalnya ia hanya ingin membantu menyiapkan makanan untuk Orisha, tak menyangka jika gadis itu malah hendak makan mie. Dengan kaki yang sengaja ia hentakkan, Orisha meninggalkan dapur. Berjalan dengan terburu-buru lalu berakhir duduk di sofa ruang tengah. Sementara Ghazfan, pria itu sama sekali tidak berniat membujuk Orisha. Alih-alih membujuk, sebenarnya ia ingin sekali memarahi gadis pembangkang itu. Namun, marah juga tak akan pernah menjadi solusi. Maka ia memilih diam saja. Pria itu hampir masuk ke dalam kamar ketika mendengar suara Orisha. “Dasar pelit, aku kelaparan dan makanannya dibuang. Dari pada dibuang kan mending buat aku makanannya.” “Makanan?” ulang Ghazfan. “Itu mie, Orisha! Mie.” “Emangnya sejak kapan mie bukan makanan? Apa sekarang ganti jadi minuman?” Ah … sudahlah, Ghazfan diam saja. Berdebat dengan Orisha tidak akan habis. Tapi, meskipun Ghazfan sudah diam, tetap saja Orisha menyerocos. “Kamu tuh emang gak peduli sama aku, gak sayang sama aku. Makan aja dilarang-larang.” Ghazfan menggelengkan kepala, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Mengurungkan niat untuk mandi. Nanti saja, pikirnya. Ia malah kembali berpakaian, lalu keluar kamar. Kembali menemukan Orisha masih menatapnya dengan penuh dendam. Tapi, ia abaikan saja. Pria itu justru masuk ke kamar Orisha, membuat sang pemilik kamar segera mengikutinya. “Mau ngapain?” tanya Orisha. “Di mana kamu sembunyiin mienya?” “Udah gak ada,” balas Orisha. Ghazfan tak ingin percaya, ia tatap mata Orisha dengan lekat-lekat. “Jangan bohongin aku, Sha.” “Udah gak ada, Ga. Itu cuma satu, udah kamu buang sebelum sempet aku makan.” “Pasti kamu masih nyimpen,” Ghazfan menebak. “Gak ada, seriusan.” Tak ingin percaya begitu saja, toh sudah berulang kali Orisha mengelabuinya. Maka lebih baik Ghazfan mencari sendiri. Ia memulai pencarian dari laci nakas di samping tempat tidur Orisha. Menariknya satu persatu dan hanya bungkusan obat dan beberapa camilan sehat yang ia dapatkan di sana. Pria itu beralih ke meja rias Orisha. Membuat sang pemilik mendecak. “CK! Gak ada, Ga. Itu semuanya skincare.” Ghazfan tetap mencari, mengabaikan pengakuan Orisha bahwa tak ada mie instan di dalam laci-laci meja riasnya. Ia buka satu persatu dan memang benar apa yang dikatakan oleh Orisha. “Tuh, kan. Gak ada. Gak percayaan banget.” “Soalnya kamu berkali-kali bohongin aku, Sha.” “Ini udah gak bohong, Ga. Aku seriusan, kamu ih tega banget. Kamarku diperiksa macem aku abis nyolong aja.” Dan mengambek adalah satu hal yang selalu ia lakukan. Orisha menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, duduk bersandar pada headboard ranjang, sementara bibirnya mengerucut. Matanya, tak berhenti menyiratkan dendam pada pria itu. Ghazfan bahkan belum benar-benar puas jika ia tak mengecek keseluruhan kamar Orisha. Maka sampai lemari pakaian gadis itu pun ia cek. Tak peduli berapa kali Orisha mengomel karena merasa bahwa privasinya sudah dilanggar oleh pria itu. “Ga, kamu sebenernya mau liat apa sih? Mau liat pakaian dalam aku atau mau apa?” ketus Orisha. “Bisa aja kan kamu selip-selipin di antara pakaian dalam kamu, biar gak ketahuan sama aku. Aku kenal kamu bertahun-tahun, Sha. Kamu gak bisa ngibulin aku.” “Ya, tapi gak sampe kamu periksa lemariku juga.” Pria itu berbalik melihat Orisha yang mencebik. “Aku udah gak asing lagi sama pakaian-pakaian dalam kamu, Sha. Dari jaman kamu masih ingusan juga sempak kamu udah aku liat kececer sana-sini.” Oh, sungguh … Orisha tak bisa menahan diri lagi untuk tak melempari Ghazfan dengan bantal. Namun, sayangnya ketika ia melempar benda empuk itu dari tangannya. Ghazfan sudah menghindar lebih dulu. Tak menemukan di dalam lemari pakaian Orisha, Gahzfan bahkan mengecek sampai belakang gorden. Menyingkap helaian gorden satu persatu, memastikan jika Orisha tidak menyembunyikan walau setengah bungkus pun mie di sana. Atau bahkan mengecek ke belakang sofa, bahkan hingga kolong tempat tidur Orisha. “OM GAS NYEBELIN!” teriak Orisha. “Kamu juga nyebelin, Sha. Udah aku larang berkali-kali, gak boleh makan mie, kenapa masih aja ngeyel?” “Kamu lebih nyebelin.” “Aku gak bakalan nyebelin kalo kamu mau nurut sama aku, Sha.” “Kamu emang gitu, selalu ngomelin aku. Gak sayang sama aku.” Ghazfan meremas rambutnya, ujungnya Orisha pasti akan selalu mengatakan hal yang sama. Tentang rasa sayang Ghazfan yang selalu ia pertanyakan. “Mending aku nyari cowo lain yang sayang sama aku,” ujarnya sembari meraih HP yang tergeletak di sampingnya. Ghazfan sedikit mendengkus, lalu berakhir mendudukkan diri di sofa. Menatap gadis yang sedang mengambek dan katanya akan mencari pria lain. Dan Ghazfan ingin melihat, pria mana yang akan didapatkan Orisha. Orisha menempatkan layar ponselnya tepat di depan wajah. Menunggu hingga panggilannya terjawab dalam beberapa detik. Dan ketika panggilannya dijawab, ia langsung merengek bak anak kecil. Ah … ia memang akan selalu menjadi gadis kecil bagi pria yang kini ia sedang telepon, papanya. “Papa … Orisha laper.” Wajahnya memelas, sedang mengiba pada pria yang muncul di layar ponselnya. “Ya, makan, Nak. Emangnya Orisha belum makan?” “Belum, gak dikasih makan sama Om Gas nyebelin itu. Orisha dibuat kelaparan, Pa. Masa makanannya Orisha dibuang sama Om Gas.” “Kok Kakak Ghazfan dipanggil Om Gas, Sha. Gak sopan tau.” “Soalnya Om Gasnya nyebelin sama pelit, Om Gas jahat sama Orisha, Pa. Gak dikasih makan.” “Sha, panggil Kakak Ghazfan tuh yang bener, gak boleh manggil kayak gitu.” “Siapa suruh dia jahat sama Orisha, Pa. Orisha masa mau makan tapi makanan Orisha langsung dibuang.” “Bohong tuh, Om.” Ghazfan membela diri. Pria itu langsung mendekat, lalu mengambil ponsel dari tangan Orisha. “Orisha mau makan mie, Om. Makanya Ghazfan buang.” Kharel Cyrille—ayah Orisha—hanya bisa menggelengkan kepala. Toh, ia memang tak akan percaya jika Ghazfan akan memperlakukan Orisha seperti pengakuan anak gadis semata wayangnya. Dibandingkan Orisha, ia jauh lebih percaya pada Ghazfan. “Tuh, emang Orisha yang salah. Kan udah diingetin sama dokter kalau gak boleh makan yang sembarangan.” “Tapi, Orisha pengen banget, Pa,” rengeknya lagi sembari mendekat pada Ghazfan yang sedang memegangi ponselnya. Bahkan tanpa ia sadari, ia sedang bersandar di lengan pria itu. “Tapi nyebelinnya, Om Gas ini gak ngebolehin,” lanjutnya lagi kemudian menggigit lengan Ghazfan. “Aww, sakit, Sha.” Ponsel di tangan Ghazfan bahkan sampai jatuh, untunglah jatuhnya ke tempat tidur. Bukan jatuh ke lantai. “Kamu sih nyebelin banget!” rutuknya. “Orisha,” panggil Pak Kharel dengan nada suara yang agak serius. Membuat Ghazfan segera mengambil ponsel yang jatuh itu lalu kembali menaruhnya di depan wajahnya dan Orisha. “Sha, manggil Ghazfan yang bener dong, masa dipanggil Om Gas. Ghazfan kan udah baik dan ngerawat Orisha dari kecil.” Sebelum makin panjang cerita masa kecil itu dituturkan oleh papanya, maka Orisha segera mengiyakan saja. “Iya, Papa. Orisha manggil yang bener, Kakak Ghazfan,” ujarnya, walau agak tak rela. Panggilan kakak memang menjadi sesuatu yang cukup diperhatikan dalam dua keluarga tersebut—keluarga Ghazfan dan keluarga Orisha. Meskipun zaman sudah serba modern, tapi mereka tetap mempertahankan kesopanan dalam bertutur kata. Makanya Orisha diharuskan memanggil Ghazfan dengan panggilan kakak, karena pria itu memang lebih tua darinya. “Sha,” panggil Pak Kharel lagi. Dari nada suaranya, Orisha yakin bahwa ia harus mendengar wejangan lagi. Ah, niatnya untuk mencari dukungan malah berbalik menyerang dirinya sendiri. “Kalau dibilangin sama Kakak Ghazfan didengerin ya, Nak. Kalau dilarang makan ini itu kan untuk kebaikannya Orisha. Biar Orisha bisa cepet sembuh.” “Iya, Pa.” “Sama Om kok jadi nurut banget,” ejek Ghazfan. “Kalo sama aku ngambek terus.” “Ih, kok ngadu sih.” “Sha, masa iya ngambek-ngambekan sama Kakak Ghazfan. Kan semua yang dilakuin sama Ghazfan buat Orisha.” “Iya, Papa … iya. Orisha bakalan nurut deh sama Kakak Ghazfan yang baik hati ini,” ujarnya sambil melihat pada pria di sampingnya itu. Tapi, tangannya malah sedang mencubit lengan Ghazfan. Membuat pria itu hanya bisa terkekeh melihat seberapa menyebalkannya Orisha. “Pa, Mama mana?” Orisha memilih menanyakan keberadaan sang Mama sebelum ia mendapatkan wejangan panjang berikutnya. “Mamamu kayaknya lagi di dapur, lagi masak.” “Mama sama Papa belum makan?” “Udah tadi, tapi kayaknya Mama kamu lapar lagi, Sha. Mau Papa panggilin Mama?” “Iya, kangen sama Mama.” Maka Pak Kharel segera meninggalkan kamar lalu bergegas ke dapur untuk menemui istrinya—Octavia Cyrille—wanita yang berusia dua tahun lebih muda darinya. “Tuh, Mama kamu, Sha.” Pak Kharel mengarahkan kamera ponselnya pada wanita berusia 45 tahun itu dengan fitur kamera belakang. Mendengar suara sang suami menyebut nama panggilan anak gadisnya, Bu Octavia segera berbalik. “Orisha, Pa?” “Iya, nih …,” Pak Kharel menyodorkan ponselnya pada sang istri yang tengah memasak. “Katanya kangen sama Mama.” Dengan fitur kamera belakang, maka yang tampil di layar ponsel Orisha adalah masakan yang tengah dibuat oleh sang Mama. Masakan yang membuat air liur Orisha kembali menetes lalu gadis itu menangis sesenggukan. “Ma-mama ma-makan mie, Ori-sha ju-ga pengen ….” Baru menyadari jika Bu Octavia menunjukkan hal yang tak seharusnya dilihat Orisha, wanita itu dengan tangan gemetaran menekan salah satu fitur di layar ponsel sang suami untuk menonaktifkan kamera belakang, menggantinya dengan kamera depan. “Mama sama Papa tega banget,” ujar Orisha sambil mengelapkan air mata dan bahkan air liurnya ke lengan baju kaos Ghazfan. Sementara sang pemilik baju hanya bisa menabahkan hati ketika bajunya lagi-lagi menjadi kain lap untuk Orisha. “Orisha dilarang-larang makan mie, tapi Papa sama Mama makan mie. Orisha kan juga pengen.” Pak Kharel dan Bu Octavia masing-masing menggaruk kepalanya, salah tingkah. Tapi, apa mau dikata, keduanya sudah kepergok. “Papa sama Mama jahat sama Orisha. Kalo Kakak Ghazfan, Orisha dilarang makan mie, Kakak Ghazfan juga gak makan mie. Kakak Ghazfan larang Orisha makan ice cream, Kakak Ghazfan juga berenti makan ice cream. Mama sama Papa gak kayak Kakak Ghazfan.” Ah, sekarang Orisha memuji-muji Ghazfan. Bahkan tak berhenti memanggil pria itu dengan sebutan kakak. Padahal baru beberapa saat yang lalu ia merutuki pria itu, pun memanggilnya dengan sebutan Om Gas. “Ah, udahlah, Orisha ngambek sama Papa sama Mama.” Orisha langsung menyambar ponselnya lalu mematikan sambungan video call tersebut. Ia kemudian menyembunyikan wajahnya dengan memeluk Ghazfan. Tak sepenuhnya untuk benar-benar memeluk, karena sebenarnya Orisha sedang mengelapkan ingusnya pada baju kaos pria itu. “Astaga, Sha. Baju aku.” “Kamu kenapa sih, baju aja pelit,” kesal Orisha. “Bukannya pelit, Orisha. Tapi kan fungsi baju bukan buat lap ingus atau air liur kamu, kan ada tissue, Orisha Rosmette Cyrille,” ujarnya menyebut nama panjang Orisha. “Udahlah, kamu emang pelit. Dasar Om Gas Selang Regulator.” Orisha melepaskan pelukannya, pun sambil memukuli lengan pria itu. Kemudian menyuruhnya pergi. “Keluar kamu, aku mau sendiri. Udahlah, emang gak ada yang sayang sama aku. Gak Papa, gak Mama, kamu juga gak sayang sama aku. Semuanya jahat.” “Katanya tadi Kakak Ghazfan baik.” “Gak, kamu pelit soalnya. Keluar!” Ghazfan tepuk jidat, tak sampai 5 menit ia sudah berkali-kali berubah peran antagonis dan protagonis dalam penilaian Orisha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD