Dokter Meira melirik putra keduanya dengan senyum terkulum. Tak menyangka juga jika setelah bertahun-tahun bersama Orisha, baru kali ini Ghazfan menciumnya. Padahal ia sempat khawatir saat Orisha bersikeras ingin tinggal berdua dengan Ghazfan.
Sebagai orang tua ia tetap mengkhawatirkan akan jadi apa jika seorang pria dewasa dan seorang gadis tinggal seatap tanpa pengawasan. Namun, mendapati fakta jika baru hari ini Ghazfan mencium Orisha. Rasanya didikannya selama ini bisa diacungi jempol. Artinya, Ghazfan tak semena-mena terhadap Orisha hanya karena Orisha terang-terangan menyukainya.
“Anak Mami sejak kapan yah sebesar ini?” goda dokter Meira sambil tertawa. “Udah pinter nyium anak gadis orang, perasaan baru kemaren deh Mami hamil kamu, Nak.”
“Orisha ngarang tuh, Mi.” Ghazfan mengelak. “Ghazfan gak pernah nyium dia. Orisha cuma mimpi, tapi malah ngaku-ngaku.”
“Ih, gak.” Orisha membantahi ucapan Ghazfan. “Kamu emang nyium aku.”
“Gak, Sha.” Sekali lagi Ghazfan menyakal.
Loh, dokter Meira sampai bingung sendiri. Dahinya berkerut, hingga ia memutuskan bertanya. “Jadi, ciuman apa gak nih?”
“GAK!” Ghazfan menyangkal.
“Ciuman!” Orisha menegaskan.
“Ya itu terjadinya di mimpi kamu, Sha, bukan beneran,” timpal Ghazfan.
“Gak, aku tetep yakin kalau kamu nyium aku tadi pagi, aku bisa rasain.”
“Rasanya emang gimana, Sha?” dokter Meira bertanya. Sementara lirikan matanya menelisik kejujuran Ghazfan yang terus membantah.
“Rasa pengen nambah, Mi,” ujarnya tanpa malu. Bibir gadis itu malah mengerucut ke depan lalu ia tolehkan kepalanya pada Ghazfan. “Cium lagi,” pintanya sembari menggoyangkan tangan Ghazfan.
“Astaga ini orang yah,” decak Ghazfan seraya menjauhkan kepala Orisha yang mendekatinya. “Kita ke rumah sakit bukan buat ciuman, kita ke rumah sakit buat berobat.”
“Berarti abis berobat selesai, boleh minta cium, ‘kan?”
“GAK!” tegas Ghazfan. “Sana periksa gih,” perintah Ghazfan sambil menunjuk poli paru.
“Temenin,” rengek Orisha.
“Kayak gak pernah ke dokter aja. Sana gih.”
“Ih, gak romantis banget,” kesal Orisha.
Gadis itu berjalan dengan menghentakkan kaki menuju poli paru untuk mengantri dengan beberapa pasien lain. Tak terlalu banyak antriannya, toh poli paru tak seramai dengan poli penyakit dalam atau poli saraf. Pun mereka memang tiba lebih awal, makanya tak terlalu banyak antrian.
Orisha menyempatkan untuk berbalik setelah 5 langkah, lalu ia berteriak pada Ghazfan.
“Nanti dicium yah abis aku ketemu dokter.”
“GAK!” balas Ghazfan dengan kesal.
Bisa-bisanya Orisha meminta hal yang sangat memalukan seperti itu, dan dimintanya malah di tempat umum. Sambil teriak-teriak pula. Untungnya tak begitu banyak pasien atau tenaga medis yang ada di sekitaran sana.
Mendapati penolakan, jelaslah Orisha mencebik. Setelahnya ia berjalan dengan cepat menuju poli paru, seolah menunjukkan bahwa ia kembali mengambek pada Ghazfan. Sudah tak ditemani untuk bertemu dokter, permintaan ciumannya pun ditolak. Belum lagi ciuman tadi pagi itu masih enggan diakui oleh Ghazfan.
“Apa susahnya sih di-iya-in aja,” ujar dokter Meira sambil menepuk punggung Ghazfan.
Dokter Meira berjalan lebih dulu, kemudian disusul Ghazfan. Wanita itu menghentikan langkahnya di depan kursi tunggu. Ghazfan ikut duduk setelah sang ibu duduk lebih dulu. Dibandingkan menemani Orisha periksa, Ghazfan malah lebih memilih untuk duduk bersama ibunya. Membiarkan gadis itu mengambek seorang diri.
Ah, tidak. Bukan itu maksud Ghazfan. Hanya saja, ia mendapati pesan dari maminya pagi ini bahwa ada sesuatu yang penting untuk diberitahukan.
“Orisha sering kambuh sesak napasnya?”
Ghazfan menghela napas panjang sebelum mengangguk. “Malam kemarin Orisha kambuh lagi, Mi.”
“Malam kemarin?”
“Iya.”
“Waktu kamu lagi di Bali?”
“Iya, Mi.”
“Kok gak ngabarin Mami atau Papi?”
“Orisha gak mau.”
“Terus Orisha sendiri?”
“Iya, sendiri, Mi.”
“Astaga!” Dokter Meira menyaringkan suaranya sambil menggelengkan kepala. “Bisa-bisanya kamu ninggalin Orisha sendiri. Kalau kamu mau ke luar kota, Orisha tuh dianterin ke rumah, Ghaz. Kalau Orisha kenapa-napa sendiri, gimana coba?”
“Ghazfan udah ajakin ke rumah, Mi. Tapi, Orisha gak mau.”
“Apa susahnya sih dibujukin. Lagian, selama ini Orisha kan nurut sama kamu.”
Sekali lagi Ghazfan menghela napas. Ia menyesalkan juga tindakan gegabahnya. Untunglah Orisha melalui malam itu tanpa terjadi sesuatu yang buruk.
“Jangan lagi-lagi deh kamu ninggalin Orisha sendirian tanpa pengawasan. Orisha makin parah, Ghaz.”
“Maksud Mami?”
Dokter Meira menghela napas, sangat berat helaan napasnya. “Mami sama Papi udah konsultasi sama dokter yang menangani Orisha, fungsi paru-parunya makin menurun. Dan bukan hal yang mustahil paru-parunya bisa tiba-tiba colaps.”
“Colaps?” tanya Ghazfan dengan gusar.
“Iya, paru-parunya gak bisa mengembang untuk bernapas.”
“Mi, jangan nakut-nakutin Ghazfan dong.”
“Mami gak nakut-nakutin, Ghaz. Kondisi Orisha emang makin parah. Makanya jangan ninggalin dia sendirian.”
“Mi, ada pengobatan lain gak sih?”
“Kita udah coba segala macam, Ghaz. Obat-obatan medis, obat-obatan herbal, pola hidup sehat, sayangnya sampai hari ini belum ada yang berhasil buat Orisha.”
“Mi, Mami gak nyerah, ‘kan?”
“Gak, Ghaz.” Dokter Meira berujar dengan tegas sebagai penegasan bahwa ia tak akan menyerah dalam pengobatan Orisha.
“Mi, pengobatan yang bisa kita lakuin sekarang apa?”
“Untuk sekarang sih, dokter Assevh bilang tetap mengonsumsi obat. Dan kalau kondisi Orisha memburuk … sampai colaps, dokter Assevh mengatakan kalau pemasangan chest tube atau selang d**a bisa membantu. Udara dari paru-parunya dikeluarin dengan menggunakan chest tube itu.”
“Orisha bisa sembuh ‘kan, Mi?”
Dokter Meira diam. Kesembuhan Orisha, entahlah bagaimana ia harus menjawab. Tiap pasien pasti punya kemungkinan untuk sembuh. Namun, melihat perkembangan gadis itu sejak bayi hingga berumur 10 tahun, lalu merawatnya sendiri sejak 9 tahun yang lalu hingga hari ini, ia sungguh dibuat sedih. Orisha tak pernah membaik dengan pengobatan apa pun.
“Mi, Orisha bisa sembuh, ‘kan?” ulang Ghazfan.
“Semoga bisa, Ghaz.”
“Mi, tolong dong jawabnya yang yakin,” pinta Ghazfan dengan raut wajah lesu. “Ghazfan gak ngerti soal kedokteran, tapi kalo muka Mami kayak gini, hh …,” pria itu tak mampu melanjutkan ucapannya.
Dokter Meira mengangguk, “Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk Orisha, Ghaz. Dokternya, Mami, Papi, kamu, orang tua Orisha, sisanya Orisha yang harus kuat.”
Ghazfan menunduk, menatap dua kakinya yang terasa lemas. Sementara dokter Meira telah berdiri dari duduknya. Ia memiliki jadwal terapi gizi untuk pasien-pasiennya.
“Setelah pemeriksaan Orisha hari ini, Mami akan meminta orang tua Orisha untuk pulang dulu.”
“Separah itu, Mi?”
Dokter Meira enggan menjawab. Dan diamnya sudah menjadi jawaban, membuat wajah Ghazfan makin kusut jadinya.
“Ghaz, kalo Orisha minta sesuatu, selama gak memperburuk kesehatannya, di-iya-in aja.”
“Mi,” Ghazfan berdiri. Tak suka dengan cara bicara Maminya yang seolah-olah Orisha sudah akan mati sehingga ia harus melakukan apa saja permintaan Orisha.
“Maksud Mami, kalau Orisha seneng, dia lebih semangat berobatnya, Ghaz. Kamu liat sendiri mukanya Orisha hari ini. Dia seneng banget, ‘kan?”
Wajah Ghazfan yang tadi menegang sedikit lebih bersahabat kali ini.
“Apa susahnya sih nyium Orisha, toh kamu juga cinta sama dia. Jangan terlalu kaku sama Orisha, Ghaz. Itu anak cuma minta disayang-sayang sama kamu, Ghaz. Orisha tuh senengnya gak neko-neko, asal kamu romantisin udah seneng dia.”
Tak ada ucapan balasan yang Ghazfan beri. Pria itu hanya mengembuskan napas dengan keras. Membuat dokter Meira menepuk pundaknya lalu berujar.
“Ya udah, Mami kerja dulu. Kamu temenin tuh Orisha.”
Dokter Meira berlalu, sementara Ghazfan memilih kembali duduk. Ia tak melakukan apa yang disuruh oleh maminya. Kakinya terlalu lemah untuk melangkah agar membawanya menuju ke ruang dokter. Ia hanya sempat menoleh ke belakang, memastikan bahwa gadis itu telah menemui dokter.
Cukup lama Ghazfan merenung. Tertunduk menatap kakinya sendiri dengan kedua tangan yang memijat kepalanya yang terasa mau pecah. Hingga tanpa ia sadari seseorang tengah berlutut di depannya, memegang kedua tangannya dengan usapan yang lembut.
“Ga, kamu kenapa?” tanyanya.
Suara Orisha membuat Ghazfan gelagapan, pria itu langsung mengangkat wajahnya. Ia tunjukkan senyum, walau terpaksa.
“Kamu ada masalah soal kerjaan, Ga?” Orisha menebak, agak jarang ia mendapati Ghazfan terlihat putus asa.
“Udah selesai periksanya?” Ghazfan mengalihkan pembicaraan.
“Hem,” dijawab anggukan oleh Orisha. Gadis itu menunjukkan lembaran resep obat yang harus ia tebus ke apotek. “Sisa ngambil obat.”
“Ayo,” ajak Gahzfan.
“Abis ambil obat boleh dicium, ‘kan?”
Ghazfan mendengkus kesal, gadis menyebalkan itu malah sedang memikirkan ciuman sementara Ghazfan rasanya mau mati memikirkan kesembuhan Orisha.
“Dari tadi kamu cuma mikirin soal ciuman?”
“Iya,” jawabnya dengan jujur.
“Dokter bilang apa sama kamu?”
“Dokter nyuruh aku nyium kamu.”
Ghazfan berhenti melangkah, “Sha, aku nanyain soal dokternya, bukan soal ciumannya.”
“Lah iya, dokternya nyuruh aku buat nyium kamu.”
“Dokter Assevh?”
“Iya, dokter Assevh nyuruh aku nyium kamu.”
“Kamu sama dokter Assevh konsultasi soal sakit apa abis curhat?”
“Dua-duanya, Ga,” jawab Orisha, gadis itu kemudian menyusupkan jarinya untuk mengamit lengan Ghazfan. “Dokter Assevh nanyain kok hari ini aku semangat banget.”
“Terus kamu curhat soal mimpi kamu?” tebak Ghazfan.
“Ih, bukan mimpi.” Orisha tak pernah setuju jika ciuman itu disebut hanya sebagai mimpi oleh Ghazfan.
“Emang kamu mimpi, Sha. Segitunya mau dicium sama aku sampe kebawa mimpi?”
“Iya.”
“Nah, kamu ngaku kalo itu mimpi.”
“Ih,” Orisha langsung melepaskan lengan Ghazfan yang ia amit. “Iya … pengen diciumnya, bukan iya … soal mimpinya.”
“Sini resepnya,” Ghazfan meraih resep dari tangan Orisha saat mereka tiba di depan loket pengumpulan resep obat. “Duduk gih,” pria itu menunjuk kursi kosong.
Orisha menurut, duduk di sebelah seorang pasien juga. Bocah laki-laki itu tersenyum, lalu menyapa Orisha.
“Kak Orisha.”
“Hai, Yogi,” sapa Orisha dengan sumringah.
Orisha segera meraih tas ransel kecil yang tergantung di kedua pundaknya. Membukanya dengan cepat lalu ia menarik sebungkus coklat batangan dari dalam sana. Langsung saja membuat Yogi tersenyum saat Orisha memberinya coklat tersebut.
“Terima kasih, Kak Orisha.”
“Sama-sama, Yogi.”
Salah satu kebiasaan Orisha tiap kali ia ke rumah sakit adalah membawa banyak coklat di dalam ranselnya untuk ia bagikan kepada anak-anak yang sakit. Dulu sekali, teringat saat ia baru tinggal bersama keluarga Ghazfan.
“Ini …,” Ghazfan yang berusia 16 tahun itu menyodorkan coklat untuk Orisha.
Orisha hanya menatap remaja laki-laki itu dengan matanya yang sembab, sementara ia abaikan pemberian Ghazfan.
“Gak usah nangis, ini buat kamu. Kamu harus semangat biar cepet sembuh. Kalo nangis-nangis terus nanti makin sakit.”
Itulah saat pertama kali Orisha menjadikan Ghazfan sebagai semangatnya untuk sembuh. Mendewakan pria itu sampai hari ini.
Ia merasa sangat berterima kasih karena Ghazfan memberinya coklat hari itu. Coklat yang membuat remaja laki-laki itu dulu sampai keringatan. Ghazfan sampai berlarian demi membeli coklat untuk diberikan kepada Orisha. Dan karena itulah, Orisha ingin menyemangati anak-anak kecil yang juga sedang sakit. Mungkin hanya sepotong coklat, tapi jika seseorang bisa tersenyum setelahnya, bukankah itu lebih baik?
Orisha berbalik, mencari anak-anak lain yang biasanya sering ia temui. Ia tersenyum penuh semangat saat menemukan salah seorang gadis kecil dengan topi kupluk di kepalanya. Gadis kecil bernama Rima itu adalah penderita kanker.
Orisha langsung menghampiri dan menyodorkan coklat.
“Coklat untuk Rima yang manis dan cantik.”
“Terima kasih Kak Orisha yang juga manis dan cantik.”
Orisha memajukan telapak tangannya saat ia berlutut agar tingginya sejajar dengan Rima. Langsung saja dibalas dengan tos oleh Rima.
“Sesama yang manis dan cantik harus tos,” ujar Rima dengan semangat.
“Nah, bener.”
“Kakak Orisha, Rima harus cek darah dulu,” ujarnya sambil melambaikan tangan.
“Iya, semoga Rima cepet sembuh yah.”
“Kak Orisha juga.”
Ghazfan menghampiri Orisha setelah mendapatkan obat untuk gadis itu.
“Ayo, pulang.”
“Cium dulu,” rengek Orisha.
“Astaga ini orang dari tadi yang dipikirin cuma ciuman terus.”
Tak habis pikir dengan Orisha sekaligus bosan ditagih terus tentang ciuman, maka Ghazfan berjalan lebih dulu dari gadis itu. Walau beberapa kali ia menoleh untuk memastikan jika Orisha ikut dengannya hingga ke parkiran.
Perjalanan pulang dilalui dengan diamnya Orisha, membuat Ghazfan menoleh pada gadis itu. Agak heran, jika Orisha tidak cerewet, kemungkinannya hanya dua, Orisha mengambek atau sedang sakit.
“Masih mikirin soal ciuman itu?”
Orisha menggeleng lemah, “Aku sakit, Ga.”
Ghazfan langsung meminggirkan mobil, untungnya pria itu cukup mampu mengendalikan diri sehingga tak mengerem mendadak di tengah jalan.
“Apanya yang sakit, Sha?” Pria itu melepas sabuk pengamannya dan membalik tubuh untuk melihat Orisha. “Dadanya sesak lagi, Sha?”
“Sakit, Ga. Sakit tau gak diakui.”
Ucapan itu membuat Ghazfan mengerutkan keningnya. Tapi, pria itu tetap diam hingga Orisha melanjutkan ucapannya.
“Kamu selalu bilang kita gak ciuman, cuma mimpi. Sakit tau kalo gak diakui.”