9. Pijatan Maut

1019 Words
Nyala lampu taman mengitari area apartemen Loise. Langit mulai gelap. Gumpal awan membuat kilau senja yang seharusnya masih nampak harus tertutupi pesonanya. Adeen menapaki lantai beton parkiran bawah tanah. Pak Supri, supir langganan Adeen menyerahkan kunci mobil, kemudian dia pamit pergi. Job desk-nya hanya sampai jam lima. Kadang melar karena macet. Seperti tadi. Lift dengan nyala lampu lebih terang menarik atensi. Adeen mendekat. Lift ini akan membawanya ke lantai 21. Tempat apartemennya berada. Apartemen yang dihuni Adeen kurang lebih tiga tahun ini tampak sepi. Ketenangan seolah menjadi semboyan didirikannya kawasan elit ini. Mencetuskan kedamaian bagi para pekerja keras yang membutuhkan istirahat tanpa direcoki mulut tetangga. Adeen menyukainya, sungguh. Khusus hari ini, entah kenapa agak berbeda. Diabnding sunyi, Adeen menginginkan keramaian. Agar semrawut di otaknya teralihkan sebentar. "Hais, kapan penderitaan ku selesai? Rasanya tiap hari seperti di neraka." Masalah pekerjaan saja sudah membuatnya hampir beruban. Ditambah Ayu. Astaga! Ini bukan lagi ujian dari Tuhan tapi simulasi penyiksaan! Ditatapnya kotak kue yang sempat ia beli tadi. Ini adalah wujud permintaan maaf. Berharap Ayu mengerti. Jikalau tidak. Mau tidak mau Adeen harus melakukan itu! Iya itu! Cara terakhir. Bunyi sistem keamanan otomatis terdengar saat Adeen berhasil memasukan password. Setengah hati dia mendorong pintu kayu berkualitas itu. Terganjal! Adeen mengerutkan kening. Menggaruk tengkuk. "Passwordnya sudah benar kok." Ia coba menekan password lagi. Berhasil! Kunci terbuka. Mungkin kesalahan teknis biasa. Pikirnya begitu. Namun saat ia mendorong pintu, tetap saja mengganjal. "Ada apa ini?" Ia merogoh saku. Benda pipih itu ia ambil guna menyelesaikan masalah ini. Ia ingin segera rebahan di kasur empuknya. Hampir saja Adeen menelepon petugas apartemen. Sebelum sadar ada keganjilan. Aktivitas mendorongnya tadi membuahkan celah kecil. Adeen mengintip. Percayalah, dia seperti maling yang ingin membobol pintu. "Apa-apaan ini!" protes Adeen. Di penglihatannya tertangkap ada sesuatu mengganjal pintu. "Apa sekarang aku tidak boleh masuk ke rumah ku sendiri? Dia terang-terangan mengusir ku dari rumah ku sendiri?!" "Hah! Biar ku tunjukan siapa bosnya!" Kemeja hitam yang tampak senada dengan celana itu di lipat. Merenggangkan tengkuk sejenak kemudian mengambil ancang-ancang. "Enak saja dia! Mentang-mentang di sayang Ayah dan Mama jadi belagu. Akan ku perlihatkan latihan ku selama di dojo." Adeen siap mendobrak pintu. Masa bodoh dengan kerusakan. Ia bisa memperbaikinya nanti. Tapi masalah ini. Tidak bisa! "Hiaaaa...Eh.. eh... eh...woaaaaaa...." BRUK! "Ugh! Pinggang ku," keluh Adeen. Meringis merasakan pinggangnya mendarat mulus ke lantai. "Mas, kamu ngapain sih?" sambut Ayu di ambang pintu. Bersedekap tangan dengan tatapan datar. Tadi, saat kaki Adeen hendak menggapai pintu. Tiba-tiba pintu bergerak mundur. Samar terlihat Ayu di baliknya. Terkejut, Adeen membatalkan tendangan dan berakhir mengenaskan. "Tck! Salah mu! Kenapa kau mengganjal pintu, ha?! Kau ingin aku tidur di luar seperti suami yang ketahuan selingkuh, begitu?!" "Mas ngomong opo to? Aku lagi beres-beres Mas. Lagi bersihin kolong sofa. Makanya sofanya tak geser. Lagian aku denger kok kalau Mas pulang. Makanya ini tak bukain pintu. Eh malah mas udah telentang kayak kecoa bunuh diri." Tak bisa bekomentar. Adeen memilih diam sambil mengurut pinggangnya. Rasanya linu. Sudah lama sekali dia tidak ke Dojang, tempat latihan taekwondo yang sering ia datangi selama masa kuliah dulu. "Mas ndak apa-apa?" Ayu berjongkok. Meniknya tersirat kekhawatiran. "Hum," Adeen berusaha berdiri. Cukup mengeluarkan banyak usaha. Sampai akhirnya Ayu memapah dan menuntun Adeen ke dalam. "Mas sih pecicilan," seruduk Ayu setelah mendudukan Adeen ke sofa. Tak berkomentar. Adeen tau ini akibat ulahnya sendiri. Berprasangka buruk dan menerima karma instan. Pinggulnya jadi korban. "Bentar, tak ambilin balsem dulu." Spontan Adeen menoleh. "Untuk apa?" "Itu harus diurut Mas. Takutnya ada apa-apa." Ayu melenggang begitu saja. Mengabaikan Adeen yang hendak menolak. Dari pada diurut, Adeen lebih percaya hasil CT Scan. "Tengkurep Mas," pinta Ayu. Di tangannya sudah ada balsem. "Tu-tunggu. Aku ingin ke-" "Tck! Udah to mas, Ndak usah banyak cing-cong. Telat dikit bisa lumpuh lho. Kayak tetangga ku di kampung." Ayu benar-benar tulus mengkhawatirkan Adeen. Pertikaian tadi seolah angin lalu saja. Tidak sabar, Ayu merobohkan sendiri tubuh Adeen. Menjagal dua kaki dengan duduk di atasnya. Tidak ada gengsi-gengsian. Apalagi malu. di situasi darurat, Ayu bisa menjadi orang paling rasional. Adeen tidak bisa berkelit. Kondisi pinggangnya mengharuskan dia mengalah. Ditambah berat badan Ayu. Lengkap sudah. Padahal sudah mati-matian ia menolak. Namun gadis bar-bar ini tetap memaksa. Sedetik kemudian, kemeja hitam Adeen disibak. Pinggangnya diolesi balsem. Wajah Adeen pias. Jantungnya berdetak tidak karuan. Lalu... KREK! "Aaaaaaaaa!" **** Jam sembilan malam. Hordeng besar sengaja dibuka. Langit tampak bersih dengan bulan setengah lingkar mentereng jauh di atas sana. pun pemandangan kota, masih ramai hilir mudik kendaraan. Beberapa keluarga menghabiskan waktu di luar. memilih tempat ramai untuk sekedar quality time bersama anak dan istri. Ada juga yang mendekam di rumah. Sekedar menonton TV bersama. Pun ada pula yang tidak pulang. Masih berkutat dengan pekerjaan. Ah, dunia dengan segala urusannya. Adeen adalah salah satu orang beruntung yang memiliki jadwal standar. Setidaknya untuk tengah bulan seperti ini. Tak terlalu padat. Jikalau pekerjaan menyita semua waktunya. Adeen akan menyelesaikannya di awal. Sehingga ia punya waktu untuk santai. Baginya kerja berlebihan justru membuat semuanya berantakan. Selain badan, pikiran juga harus tetap waras. Namun, semenjak kedatangan Ayu. Waktu santainya menguap. Setiap menit, otaknya seolah dibuat mendidih. Seperti tadi. Secangkir teh ditaruh. Ayu duduk di depannya. Kalau ini semacam sogokan agar Adeen memaafkan perlakuan bar-bar tadi. Dengan senang hati Adeen tolak! “Singkirkan itu! Aku tidak akan memaafkan mu!” dengus Adeen. Tangannya mengusap pinggul. Trauma. “Emang aku buat ini untuk Mas? Yee, kepedean!” Ugh! Sekali lagi pukulan tak kasat mata. Ayu memperhatikan. Wajah ditekuk. Bibir menukik ke bawah. Ah, dia masih marah ya? “Itu kan buat kebaikan Mas sendiri. Kalau berobat ke rumah sakit. Emang ada dokter yang bisa ngurut? Sampe sana paling Cuma di periksa sebentar habis itu dikasih obat. Ndak ada tindakan. Kalau habis jatoh atau kepleset itu langsung dibawa ke tukang urut Mas. Bukan ke dokter. Aneh-aneh Mas ini.” Ayu memindahkan chanel TV. Mencari tontonan menarik. Sedang Adeen terpantau tak berkomentar. Lupa dengan tujuannya awal. Yang tadinya ingin minta maaf. Justru hatinya dibuat dongkol duluan. Sunyi, Ayu memilih mematikan TV sebab tak ada tontonan menarik. Dia meraih teh yang masih mengepul asap. Dihisapnya perlahan. Setelah tenang baru dia berujar, “Mas, aku mau pulang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD