"Mas aku mau pulang."
Adeen menoleh. Kesurupan setan apa nih bocah? Tiba-tiba saja bicara random.
“Mas ndak suka aku kan? Bagi Mas, aku Cuma pengganggu.” Ayu menunduk layu. Dia terus memandangi gelas porselin seraya memasang wajah lesu.
“Maaf ya Mas. Gara-gara aku hidup Mas jadi kacau. Selama ini, aku bukannya ndak tahu diri. Aku Cuma jaga perasaan Ibunya Mas. Kalau bukan karena Mama. Aku ndak apa-apa kok tinggal di desa. Lagian, kota terlalu besar untuk ku. Aku ndak pantes. Nak ilang, aku dadi gembel. Mending di kampung. Masih ada tetangga yang mau ngurus aku."
Baru kali ini, Adeen mendengar pengakuan Ayu. Ternyata bukan hanya Adeen saja. Ayu pun tertekan dengan perjodohan ini. Ternyata dia merasa tertekan juga. Adeen pikir dia menikmatinya. Mengira dia bersenang-senang di atas penderitaan.
“Tentang wanita karir. Aku udah ikhlas kok. Mas bener. Jadi wanita karir itu ndak mudah. Ada banyak yang harus aku korbanin. Akhirnya aku paham. Tapi… yah, kadang aku masih pingin ngerasain. Soalnya, di umur segini aku ndak pernah menggapai apapun. Mamak lebih sering ngelarang aku. Ndak biarin aku kemana-mana. Karena cuma aku yang Mamak punya.”
"Mas salah kalau nganggap aku gadis mandiri. Nyatanya aku ndak bisa hidup tanpa Mamak. Aku hilang tujuan waktu sadar Mamak udah ndak ada."
Ada hembusan nafas pasrah yang Adeen dengar. Sisi ini tak pernah Adeen ketahui. Dia juga wanita yang hatinya rapuh. Dia bisa menangis kapan saja.
“Kalau Mas mau. Kita mungkin bisa bicara baik-baik sama Mama. Aku ndak mau jadi beban.”
Tawaran yang bagus. Akhirnya dia sadar diri. Ini yang ditunggu-tunggu. Tapi… kenapa tidak ada rasa senang seperti yang Adeen duga? Perasaan ini lebih mengarah ke kasihan. Adeen juga baru tahu kalau Ayu tertekan. Yang ia tahu, Ayu adalah pembuat onar yang gemar membuatnya naik pitam. Dia hanya belum terbiasa dengan kehidupan kota. Dan dengan angkuhnya Adeen justru menekan Ayu begitu ketat.
Ini situasi sulit. Adeen tidak bisa memutuskan dengan mudah. Perkara cerai, memang sudah sejak awal Adeen lontarkan. Sekarang, Adeen sudah mendapatkan persetujuan dari Ayu. Masalahnya tinggal Mamanya. itu tidak akan mudah. Untuk saat ini, Ayu belum boleh pulang.
“Tidak. Kau akan tetap di sini menjadi istri ku.”
“Ta-tapi bukannya Mas…”
“Aku tahu. Bercerai sekarang hanya akan membuat Mama berpikir aku tidak mau menerima mu. Pada akhirnya aku yang disalahkan. Oleh sebab itu ayo kita buat rencana.”
“Rencana?”
“Hum! Perceraian yang mulus. Aku yakin Mama tidak akan protes jika kita tidak memiliki kecocokan. Kuncinya ada di waktu.” Ayu mendengarkan baik-baik. Fokusnya meningkat. Adeen tersenyum dengan antusias itu.
“Untuk setahun ke depan. Ayo berlagak layaknya suami istri sungguhan. Kita akan membuat problem besar di akhir dan BOOM! Pertengkaran besar. Emosi berlebihan. Dan akhirnya kau menggugat cerai. Sebagai pemanis, aku janji akan membuat mu jadi wanita karir.” Mata Ayu berbinar. Senyumnya merekah sempurna. “Kurangnya waktu bertemu. Ambisi. Dan perbedaan pendapat. That's final chapter!" Adeen menjetikan tangan. Menggebu-gebu dengan rencana gila ini.
“Final chapter?” ulang Ayu. Tidak paham.
“Ya, konflik besar yang akan menyulut perceraian kita.”
***
Mata coklat terang itu bergerak dari kanan ke kiri. Membaca kata demi kata yang tercantum dalam secarik kertas dengan judul “Perjanjian Cerai”. Adeen membuatnya secepat kilat. Berdasarkan pertimbangan matang tentunya. Sudah menjadi makanan sehari-hari, jangan heran jika Adeen dijuluki Si Hakim Perusahaan. Dengan kemampuan analitis nya, ia mampu membuat keputusan cepat dengan mengandalkan prinsip minim resiko.
“Bagaimana?” lontar Adeen sekembalinya dari mengambil materai.
Ayu menaruh kertas itu. Menimbang-nimbang. Tidak banyak, hanya lima point yang isinya :
1. Perceraian akan dilakukan setahun dari sekarang. Terhitung dari tanggal 20 Desember 2023 sampai 20 Desember 2024. Jikalau ada hal di luar rencana. Maka diberikan tenggat waktu tiga bulan penyesuaian.
2. Selama masa pernikahan, pihak pertama akan menanggung penuh fasilitas yang dibutuhkan pihak kedua sebagai sarana menggapai perceraian. Uang bulanan, sarana dan prasarana, dan biaya self improvement.
3. Selama masa pernikahan, harus menjaga keharmonisan di depan publik.
Selama masa pernikahan, pihak kedua dilarang mengganggu kehidupan pihak pertama. Begitu pun sebaliknya. Jika melanggar, akan ada sanksi.
4. Setelah bercerai, pihak kedua mendapat kompensasi penuh. Hak paten apartemen, uang 10 milyar, dan nafkah bulanan.
Menebak. Adeen penasaran dengan respon Ayu. Apakah dia akan tersinggung? Jika Ayu wanita normal. Perjanjian itu seperti membeli harga dirinya sebagai wanita. Sudah pasti dia akan marah. Tapi justru seperti ini, “Uang 10 milyar? Kurang ndak sih?”
“Ha?” dia pikir 10 milyar itu seperti sepuluh juta? Apa dia tidak tahu sebanyak apa satuan milyar itu?!
“Kau ingin berapa?”
“10 triliun?”
Adeen tersedak. Mineral yang diteguknya muncrat.
“Hei! Kamu ingin mengambil setengah saham perusahaan, ha?!”
Dengan polosnya Ayu mengucap, “Ndak boleh?”
“Tidak! Kalau masih milyaran boleh.”
“Kalau gitu, 99,99 milyar boleh?” Ayu nyengir. Adeen sadar baru saja dipermainkan.
Menghela nafas, Adeen duduk di sofa. Berhadapan dengan Ayu. Menarik kertas perjanjian kemudian berujar, “20 milyar. Lebih dari itu aku tidak bisa. Lagi pula aku masih terbebani uang bulanan mu. Kamu pikir aku akan memberikan satu digit saja? Walau aku ingin, Mama pasti menolak. Setidaknya uang bulanan mu sekitar dua digit. Kamu harus paham itu.”
“Hmm, gitu. Oke deh. 20 milyar.” Akan Ayu jadikan itu sebagai modal bertahan.
Perjanjian dibuat. Setelah tanda tangan dan stempel jari. Adeen dan Ayu kembali ke kamar masing-masing. Ya, selama ini mereka pisah kamar. Untuk menghindari kejadian seperti insiden kamar mandi tempo hari. Apalagi jika ditilik, ‘Milik’ Adeen itu gampang baperan.
Bunyi pintu tertutup memenuhi ruang. Ayu menyisir kamar. Ruang berpendingin itu tampak rapih. Sama seperti kamarnya di kampung dulu. Bedanya di sini tampak modern dan estetik. Fasilitasnya lengkap.
Dia menghambur ke ranjang. Empuk. Tidak pernah Ayu rasakan nikmat seperti ini. Rasanya nyaman.
“Memang siapa sih yang mau mbalik ke kasur atos itu. Di sini lebih nyaman. Adem. Harum.” Ayu berbalik. Menatap langit-langit. Senyumnya mengembang tengil. “Akhirnya Mas Adeen ndak misuh-misuh lagi. Kalau gini kan aman. Hehe.”
Satu kenyataan, Ayu sengaja menggiring Adeen membuat perjanjian itu. Ayu tahu, Adeen tidak bisa mengusirnya begitu saja. Dengan sedikit bumbu sandiwara. Merendah untuk kemudian meroket. Lihatlah hasilnya, Ayu berhasil bukan?
Ayu memang dari kampung. Namun dia adalah siswa terpintar selama sekolah dulu. Modal nekat dan dibarengi dengan daya analitis kuat. Ayu berhasil mengeksekusi rencana. Persetan dengan cinta. Sudah Ayu bilang bukan? Dia ingin jadi wanita karir. Di antara teman sebayanya di kampung. Ayu dikenal dengan sebutan….
Si ambisius berwajah polos.