Terik seakan bisa meninggalkan belang di tubuh manusia. Begitu panas dan tinggi sinar UV. Belum lagi dengan polusi udara. Semakin hari kota Jakarta semakin pekat dengan kabut polusi. Bahkan tak nampak lagi sunrise cantik yang mampu membuat semangat para pemburu rejeki.
Ayu pandangi garis horizontal bayangan gedung. Dirinya berada di teras pintu masuk. Tempat yang sama saat si supir meninggalkannya sebab sesuatu dalam perutnya memberontak keluar. Ah, Ayu ingat juga dirinya ditolak mentah-mentah oleh dua resepsionis centil di sana.
“Lho, sandal ku mana?” ucap Ayu. “Kayaknya tadi tak taruh sini.. Mosok dimaling? Wong Cuma sandal dua belas ribuan.” Ayu celingukan. Dia menyisir sepanjang pinggiran teras. Berharap menemukan sandal yang memang dilepas sebelum masuk.
Kalau ada yang bertanya. Jadi selama ini Ayu berkeliaran di kantor tanpa menggunakan alas kaki? Jawabannya yups! Ayu tidak pakai alas kaki alias nyeker. Baginya sudah menjadi adab turun temurun di kampung untuk melepas alas kaki di rumah seseorang. Tentu saja hal itu sangat berbeda di kota. Adeen sering memperingati. Namun sayangnya kebiasaan itu tidak mudah dihilangkan. Sekarang, Ayu harus merasakan sendalnya hilang. Terik panas. Dan… siapa yang akan mengantarnya pulang? Supir tadi entah berada di mana.
“Naik angkot ajalah. Mung gur sak cumik. (Orang Cuma sebentar). Serrr, langsung nyampe. Dari pada ngemis sama bojo galak. Dih, sampai kiamat ndak bakal dianterin!” gerutu Ayu. Masih terbawa kesal.
“Seng butuh sopo. Seng kesel sopo. Isone maidu wae!” (Yang butuh siapa. Yang capek siapa. Bisanya ngomongin orang aja!)
“Wong dadi bojo kok koyo ngono. Sopo seng betah. Duh gusti, apes urip ku!” (Orang jadi suami kok kayak gitu. Siapa yang betah. Duh, Tuhan, apes hidup ku.)
Tak peduli orang-orang melihatnya. Tak peduli menjadi pusat perhatian. Ayu terus mengomel layaknya kereta yang tak bisa berhenti. Matanya senantiasa mencari. Kekesalannya semakin bertambah. “Iki meneh, neng endi sandal ku!” teriaknya kesal sampai satpam yang hendak menghampirinya ikut terkejut.
“Ada yang bisa dibantu Bu?” ucap satpam itu. Ayu menoleh. “Sendal! Sendal ku mana?!” Satpam pun menjadi korban pelampiasan.
“Eh? Sandal? Dari tadi saya tidak lihat Bu. Kok bisa sampai hilang sendalnya?”
“Yo mboh! Wong tak taruh sini kok tiba-tiba ilang. Sampean ini gimana jaganya?!”
Satpam itu memasang raut kebingungan. Seumur-umur belum pernah menghadapi masalah random seperti ini. “Ehm, gini saja Bu. Saya pinjamkan sandal saya. Tidak usah dipulangkan,” ucap satpam itu. Pasrah sendalnya dibawa dari pada menghadap wanita aneh berlogat medok ini.
“Ngomong-ngomong, Ibu ada keperluan apa di sini?” tanya satpam yang masih tampak muda itu. Tubuhnya sedikit gempal dengan pipi chubby. “Tadi saya lihat Ibu dari dalam. Ada keperluan dengan seseorang?” selidiknya. Memang sudah tugasnya menghalau apapun yang merugikan perusahaan.
“Ya, sama bos mu,” jawab Ayu. Mulai melunak sebab satpam ini berbaik hati meminjamkan sendalnya.
“Bos? Namanya siapa bu? Di sini bosnya banyak soalnya kantor pusat.”
“Ad—“
Tunggu! Ayu kan sudah janji tidak mengumbar identitasnya sebagai istri Adeen.
“Ad?” ulang satpam itu.
“Adajal.”
“Ha?” Satpam itu memasang wajah cengo.
“Iya namanya Adajal. Dipanggil Dajal.”
“Siapa yang kau panggil Dajal, hm?” Suara baritone dari belakang menginterupsi interaksi mereka. Si satpam langsung menunduk singkat seraya memberi senyum terbaik. Sedang Ayu masih dengan wajah ditekuk.
“Bos yang punya kantor ini.”
“Sssstt!” Satpam itu memperingati. Wajahnya terlihat panik. Tentu saja, wanita yang tidak tahu asal-usulnya ini menghina orang nomor satu perusahaan. Tidak tahu saja kalau dua orang ini memang ditakdirkan selalu bertengkar. “Jaga ucapan mu!” sambung satpam itu.
Adeen mengangkat tangan sebagai isyarat tak masalah. Menatap Ayu lekat. “Ayo pulang, aku antar.”
“Ndak mau. Situ kan sibuk. Aku naik angkot aja. Bye!” Ayu melenggang pergi. tak sempat mengambil sandal yang hendak diberikan. Melalang begitu saja. Ini masalah harga diri. Ayu pikir Adeen akan membiarkannya. Seperti biasa. Ternyata salah!
Ayu bisa mendengar detak jantung bersama sentuhan fisik yang terasa ganjil. Indra penciumannya menghirup aroma segar. Kejadiannya hanya beberapa detik. Namun di detik-detik itu berhasil membuat satpam yang menjadi saksi kejadian langka ini menutup mulut kegirangan.
“Itu panas! Dasar Ceroboh!” celetuk Adeen. Ayu menengadah. Mata mereka bertemu. Dan saat itulah Ayu sadar. Dia berada dalam pelukan Adeen.
Hendak melepaskan diri. Tanpa diduga. Adeen sudah lebih dahulu histeris dan tak sengaja mendorong Ayu. Sukseslah Ayu mendarat mulus ke paving yang katanya panas tadi.
“Hais! Dua kali! Dua kali ya mas kamu jongkrokin aku! Awas kamu mas. Tak titeni!” (ku tandai!)
Selamat! Bukannya memperbaiki keadaan. Adeen justru menebar garam di atas api
****
Ibu kota dengan segala rutinitasnya. Jam lima sore kendaraan sudah memadati di beberapa jalan rawan macet. Klakson saling bersautan meminta jalan. Lampu merah seakan menyala lebih lama. Menunggu adalah hal paling membosankan. Terlebih di tengah rasa ingin segera pulang.
Senja menyingsing. Kilau keemasannya mampu menembus kaca mobil. Tak sampai ke jok belakang. Hanya sebagian kecil saja. Berkat itu Adeen terbebas dari silau. Tak seperti si supir. Matanya terus menyipit. Namun harus tetap siaga. Tugasnya mengantar majikan sampai ke rumah dengan selamat.
"Itu... apa Bu Ayu pulang dengan selamat?" Sebuah suara membuka pembicaraan. Meninggalkan hening tercipta di antara deru kendaraan di luar. Sakila menatap ragu bosnya.
"Hum."
"Seharusnya saya berjaga di bawah tadi. Saya tidak tahu kalau Bu Ayu mau datang. Dua resepsionis itu mungkin juga tidak tahu. Tolong maafkan kelancangan mereka," Sakila menunduk.
Adeen melirik. Memperhatikan. Apapun yang dilakukan Sakila selalu terlihat sempurna. Sopan santunnya, kepeduliannya, dan cara menyikapi kesalahan. Berbanding terbalik dengan Ayu. Apapun yang dilakukannya selalu membawa petaka untuk Adeen.
"Ku dengar mereka teman dekat mu ya?" tanya Adeen.
"Ya, Pak. Kami sering keluar bersama."
"Hmm, kalau begitu tidak masalah. Lagi pula wajar saja jika penampilan Ayu seperti itu," ucap Adeen datar. "Seharusnya dia bisa menilai situasi dan berpenampilan lebih baik. Ah, benar. Maaf aku tidak memperkenalkan Ayu dengan baik. Seperti yang kau lihat, dia gadis yang menyandang status jadi istri ku. Dan...." Adeen agak sungkan mengatakan. Tentang penolakannya.
"Ehem, lupakan. Dia memang agak unik. Itu karena dia tumbuh di lingkungan pedesaan. Ku harap kau mau mengarahkannya agar dia bisa beradaptasi di kota. Aku sampai sakit kepala menghadapi tingkahnya," gerutu Adeen di ujung kalimat.
Sakila tersenyum sampai dua matanya menyipit. "Baik, Pak. Seperti yang Bapak tahu saya pun perantau dari desa. Memang berat di tahun pertama. Saya yakin Bu Ayu bisa adaptasi."
Seulas senyum tercipta. Adeen tidak pernah meragukan kesempurnaan gadis di sampingnya. Dia adalah kasta tertinggi seorang wanita.
"Beruntung sekali laki-laki yang mendapatkan mu," celetuk Adeen.
"Eh? Ah... i-itu. te-terimakasih atas pujiannya." Semu merah kentara. Adeen semakin mengembangkan sudut bibirnya. Menoleh ke jendela. Ah, Sakila memang obat penenang terbaik.
"Ah, benar!" Adeen bersuara. "Tolong berhenti sebentar di toko kue." Satu hal, Adeen tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Setidaknya ada semacam sogokan agar Ayu tak berapi-api seperti tadi.