Eror

1025 Words
Aku merasa tidak ada yang beres dengan pekerjaan hari ini. Laporan demi laporan dari store rasanya hanya berupa angka-angka yang sedang mengejek, berbaris rapi tapi tidak mau bekerja sama denganku untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ditambah lagi dengan tawa Banun yang tidak seperti biasanya, lebih centil, seperti merajuk, justru membuat mood tambah jadi berantakan. Ini aku kenapa, sih. Ada apa denganku, masa iya, aku benci sama dia, gak suka sama Banun hanya karena dia lebih bisa mendekatkan diri dengan Prana, lebih bisa luwes ketika sedang berbicara atau berinteraksi dengan Prana. Bukan, bukan karena aku tidak senang melihat kebahagiaan orang lain, kebahagiaan Banun ketika berbicara dan ngobrol sama Prana, sepertinya aku sendiri yang rasanya aku tidak suka kala ada orang yang dekat dengan Prana melebihi aku. Aku yang terganggu sama mereka, perempuan yang dekat atau mendekati Prana. Bahkan, kemarin, ketika pulang, aku sedang menuju ke parkiran mobil, ada anak dari administrasi, menegur Prana, rasanya di mataku, dia pun berlaku berlebihan, senyumnya, gerak geriknya. Aku cemburu? Masa sih, aku cemburu sama Prana? Terkadang hati dan otak itu selalu enggan berjalan bersisian. Ketika otak berusaha mati-matian untuk berkata tidak justru hati berkata lain. Pada satu sisi sudut paling dalam, hati selalu menginginkan untuk melihat Prana, berbincang dengannya, bisa bersikap manis di depannya, dan kurang suka kalau ada perempuan lain yang mencoba berinteraksi lebih dari sekadar teman kerja. Namun, di dalam kepala selalu berteriak bahwa semua ini tidaklah benar, aku gak boleh meneruskan perasaanku, ini salah. Dan seperti hari ini, ketika melihat kebersamaan Prana dan Banun sukses besar membuat hariku kacau. Beberapa kali aku mengulang untuk mengecek laporan dari awal, salah semua, di store A total penjualan pada hitungan pertama aku mendapatkan angka Rp325.257.256 ketika untuk memastikan apakah hitungan tersebut sudah benar, aku menghitung kembali untuk kedua kalinya, dan angka yang aku dapatkan tidak sama dengan angka pertama, selisih beberapa angka, angka pada hitungan kedua yang aku dapatkan Rp325.259.352 dan beberapa kali lagi aku menghitung, tetap tidak ada angka yang sama, baru satu store yang berhasil aku cek dan benar angkanya, dan masih mengantre lima store lagi yang masih harus aku hitung, tidak henti bibirku merapal istighfar. Otakku lagi ngebul banget, sepertinya aku harus mencari udara segar dulu. Sudah dua cangkir kopi tandas akan tetapi masih sama, tidak bisa memberi ketenangan. Kelebatan yang Prana pernah mengantar dan menjemputku beberapa kali, dia juga yang terang-terangan menyatakan cinta, beberapa kali juga, menjadi membuatku bertanya, seriuskah dia dengan ucapannya. bukankah seharusnya lelaki itu tidak memperlakukan perempuan lain seperti dia memperlakukan Banun tadi? Lelaki yang sudah menyatakan cinta, ya, meskipun selalu aku tolak, sih, tapi, kan dia sendiri yang bilang mau berusaha, apakah usahanya hanya segitu aja? Ah, Allah. Tolonglah aku, aku sendiri bingung dengan perasaanku. Aku menutup buku laporan keuangan yang berserakan di meja, menutup laptop, lalu menyandarkan kepalaku di punggung kursi, karena udah pedes banget, nih, mata, liat laptop, liat kalkulator, liat deretan angka, mungkin memejamkan mata sebentar bisa bikin konsentrasiku kembali. Baru beberapa menit aku memejamkan, mata ada suara yang mengajakku salat, “Salat, yuk, Mbak,” dan ketika aku membuka mata, ternyata itu Yani. Kulirik jam dinding, benar saja, sudah waktunya salat Ashar. Aku mengangguk mengiyakan ajakan, “Yuk, ini ruangan jangan sampe kosong, ya.” aku bilang ke Yani dan beberapa orang di ruangan itu, lalu aku dan Yani berjalan beriringan menuju ruangan yang biasa kami gunakan sebagai musala untuk perempuan. Aku masuk duluan ke tempat wudu, sementara Yani ke kamar mandi, ketika sedang berusaha membuka kancing manset yang agak susah, tiba-tiba telingaku menangkap suara tidak asing di luar kamar mandi. “Aturan kamu tunggu dulu, Nun. Jangan semuanya salat barengan, Pak Anhar gak akan suka kalo liat ruangan kosong. Aku sama Mbak Tania salat gak lama, kok.” Aku mendengar Yani berbicara sesaat setelah Banun menyapanya. Kuteruskan berwudu dan bergegas keluar dari kamar mandi. Dan dengan enteng, tanpa rasa bersalah, si Banun menjawab, “Udah terlanjur, deh, Mbak. Lagian aku tuh sedang memantaskan diri, Pak Prana suka sama cewek yang selalu salat tepat waktu. Maka aku ya, berusaha untuk menjadi wanita idamannya.” Diiringi senyum yang begitu ceria Banun mengatakannya. “Kalau gitu kamu salatnya bukan karena Allah, tapi karena Prana,” semburku agak kesal. Lalu meninggalkan Yani dan Banun dan mulai salat dengan perasaan berkecamuk. Astagfirullah, Allah, Allah, ampuni aku. Aku memutuskan untuk kembali ke ruangan dan salat di ruanganku. Biarlah, gak apa-apa aku salat di sini aja. Biar tenang juga aku salatnya, gak diuber-uber waktu, biar salatku juga khusyuk. Aku biarkan saja Yani dan Banun yang katanya mau salat berjamaah, ada untungnya juga aku salat di ruangan sendiri, jadi aku bisa berlama-lama mencurahkan segala keresahan hati di atas sajadah. Tanpa ada yang ganggu, dan Pak Anhar juga gak ada celah untuk marahin kami. Cukup lama aku salat, tidak terdengar suara apa pun, hening, karena aku menyuruh orang-orang yang tinggal di ruangan ini untuk segera salat, “Kalian salat, deh. Biar gak terlalu lama lewat dari waktunya.” Dan meninggalkan aku yang sendirian di ruangan tersebut. Ketika selesai salat, berdoa, dan berdiam diri di atas sajadah, aku melipat mukena, lalu berniat untuk mencari makan siang. Dan aku memekik tertahan, ketika melihat Prana sudah duduk di kursiku, dengan senyumnya terkembang saat melihatku bangun dari sajadah dan berjalan menuju ke meja, “Udah salatnya?” tanya dia tanpa basa-basi. Aku mengangguk lalu menyambar mug dan meninggalkan Prana tanpa kata menuju pantry. Aku tidak mau terlalu berbasa basi sama Prana. Dan tidak disangka ternyata Prana mengikuti langkahku, sebelum masuk ke pantry lelaki itu sengaja menghalangi langkah. “Ada apa, Tania?” tanya Prana yang menghalangi jalanku dan membuatku terkejut. “Astagfirullah apa?” tanyaku kala dia bertanya mendadak seperti itu. Aku menerobos masuk ke dalam pantry tanpa menghiraukannya, dan membiarkan Prana berdiri di ambang pintu, lalu mengambil bubuk kopi dan memasukkannya ke dalam cangkir, setelah diseduh dengan air panas barulah aku bubuhkan gula jagung ke dalamnya. Aku tidak menemukan semangat untuk sekedar memilih atau memikirkan makanan. Aku memilih duduk di pantry dan menghadap ke arah kaca yang membentang dan menyajikan pemandangan lalu lintas di bawah. Prana mendekat ke arahku dan mengambil kursi untuk duduk di sampingku, lalu bertanya, “Tan, kamu murung banget, ada masalah pekerjaan?” tanya Prana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD