bc

Rhytm of Life

book_age18+
108
FOLLOW
1K
READ
sweet
humorous
city
highschool
office/work place
pack
betrayal
first love
affair
like
intro-logo
Blurb

Pernikahannya kandas menyisakan luka berdarah, membawanya ke tempat dan keadaan yang memukul mundur akal sehat. Membuatnya bertekad untuk tidak mengenal cinta juga makhluk bernama Lelaki. Lalu Pranadipta, hadir. Menawarkan sebongkah harapan, yang ditingkahi kembalinya Abizar,

Apakah Tania akan bertahan hidup sendiri? Atau dia mampu membunuh trauma dan menyambut hangatnya cinta yang Prana tawarkan?

chap-preview
Free preview
For The First Time
“Kenapa harus aku sih, Nun?” tanyaku pada Banun, gadis mungil berhijab lebar itu mengangkat bahu. “Pak Anhar itu apa-apa aku, apa-apa aku!” Pak tua seneng banget nyuruh-nyuruh di luar jobdesc. Seperti saat ini, aku harus kerja keras menyiapkan beberapa hal untuk menyambut karyawan baru. Bukan baru-baru amat, sih. Lebih tepatnya karyawan pindahan dari kantor pusat. “Pak Anhar nyuruh Mbak, karena beliau tahu, Mbak mampu. Lagi pula nanti karyawan barunya kan akan jadi satu tim sama Mbak.” Dengan lemah lembut Banun berusaha meyakinkanku. Senyumnya membuatku malu sendiri karena ngomel-ngomel. Meski aku tahu Banun tersenyum dipaksakan, berkali-kali dia  melirik ke arah pintu. Di sana ada Yani, Lena dan kawan-kawan lain. Mereka tidak masuk menghampiri, aku tahu, pasti enggan membantu, tetapi gak enak untuk meninggalkanku seorang diri. “Sudah, kalau mau makan siang, pergi aja. Aku rapopo, sudah biasa.” Banun benar-benar pergi, dia dan yang lainnya meninggalkanku yang rela mengorbankan jam makan siang untuk mempersiapkan penyambutan. Pada saat seperti ini aku selalu merasa mereka selalu menjauh, pura-pura sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Berbeda ketika rekannya membutuhkan bantuanku, nempel terus seperti lintah yang asik menghisap darah. Dibantu Pak Dirman, aku mempersiapkan ruangan rapat. Perasaan dulu ketika pertama kali datang ke kantor ini tidak ada penyambutan seperti sekarang. Sespesial apa sih karyawan baru tersebut? Apa karena dia berprestasi, lantas Pak Anhar sampai membuatku bekerja keras. Usai berurusan dengan ruangan yang akan kami gunakan aku memastikan kembali, pesanan snack dan minuman datang tepat waktu. Untungnya untuk mengundang rekan satu divisi aku tinggal bikin saja undangan di WA grup kantor. Aku lelah, semua pekerjaan memang selesai bertepatan dengan berakhirnya jam istirahat. Mereka yang sudah mengisi daya dengan membeli makan siang kembali satu per satu. Aku sedikit berharap Banun, Yani atau siapa saja berbaik hati membelikanku sebungkus nasi Padang, Seblak atau apa pun yang mampu mengganjal perutku. Sayangnya semua lupa, atau memang tidak ada yang peduli. Kalau sudah begini, aku butuh kopi. Aroma kopi adalah salah satu obat penenang paling ampuh. Dengan atau tanpa gula, kopi racikan barista mau pun kopi kemasan dari warung sebelah. Bagiku sama saja, nikmat, menenangkan dan membuat urat-urat yang kenceng mengendur begitu saja. Rileks. Tergesa aku berjalan ke arah pantry, memastikan lampu indikator pada dispenser berwarna merah. Mug merah marun hadiah ulang tahun dari sahabatku kini berisi serbuk kopi, sebelum menyeduhnya dengan air panas, aku menghidu aromanya kuat-kuat. Kini wangi minuman nikmat menguar di seluruh ruangan. Asapnya mengepul,memberikan suntikan semangat, menghilangkan penat dan mengusir rasa kesal karena pekerjaan tambahan untuk menyambut karyawan baru kesayangan kepala cabang. “Bu Tania, besok bantu saya bikin penyambutan karyawan baru, ya?” ujar Kepala cabang berkepala botak, kemarin sore. Aku bisa apa? Menolak rasanya merupakan salah satu hal yang mustahil. Itulah mengapa saat ini aku merasa sangat lelah. “Bu, sudah siap? Pak Prana sudah menunggu di Ruangan pak Anhar.” Yani datang membuyarkan lamunan, dan ku balas dengan anggukan. Sebelum meninggalkan tempat menuju ruangan penyambutan aku menyesap kopi yang masih panas. Dan sekali lagi memastikan teman-teman satu divisi hadir dalam acara tersebut. Kalau tidak aku yang kena semprot Pak Anhar. “Selamat siang rekan-rekan semuanya, seperti yang sudah kita tahu, hari ini kita kedatangan karyawan baru dari Jakarta, beliau akan menggantikan Bu Rahma silakan pak Prana?” Pak Anhar mempersilakan Prana, dibalas dengan senyum semringah serta ucapan terima kasih. Namanya Prana, ternyata dia hanyalah lelaki muda yang terus-terusan mengumbar senyum. Dia memperkenalkan dirinya dengan lugas, sesekali di selingi dengan candaan yang membuat seisi ruangan tertawa karenanya. Seketika pria itu menjadi populer, mencuri perhatian sebagian besar karyawati di perusahaan ini. Dalam hati aku mengakui dia memang memiliki satu kelebihan, bercahaya. Persis seperti arti dari nama yang disandangnya. Pranadipta. Lelaki yang mengenakan kemeja slim fit berwarna biru itu mengulurkan tangan pada Pak Dirma. Saat mendekat ke arahku, lelaki itu tersenyum. Aku tiba-tiba gugup, dan refleks berdiri hingga lututku terbentur meja. Rasanya lumayan bikin ngilu. Sialnya, rasa ngilu itu diperparah dengan sikap Prana yang enggan bersentuhan denganku, dia hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di d**a. Ah, lelaki seperti ini rasanya sudah jarang ditemukan, dia senantiasa menjaga diri agar tidak bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahromnya. “Mohon bimbingannya, Mbak,” ucap Prana seraya mengangguk dan tersenyum. “Selamat datang, Prana. Semoga betah di cabang ini.” Waktu rasanya bergulir sangat lambat, akhir bulan selalu memaksa seluruh karyawan untuk lembur. Pak Anhar yang baik tiba-tiba berubah mood seperti ibu-ibu yang sedang PMS. Perintahnya seperti titah raja, jangan sekali-kali membantah. Terpaksa sampai sore begini aku masih setia berkutat dengan pekerjaan, meski perutku rasanya begah. Ada sesuatu yang mendesak dari dalam perut hingga membuat d**a seperti terimpit beban. Sesak. Baru aku ingat, siang ini waktu istirahat dipakai untuk mengerjakan proses penyambutan Prana. Belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perut. Jam segini biasanya warung nasi paling dekat sudah tutup, jadi aku memutuskan untuk menunda makan hingga pulang nanti. Pecel lele dekat indekos adalah tempat pertama yang akan didatangi. * “Mbak Tania, coba cek file yang ini, kok dari tadi saya hitung gak balance ya?” Aku berbalik menuju sumber suara, Prana. Lelaki itu membawa serta laptopnya lantas duduk di meja sebelah.  “Prana sudah cek laporan dari bagian penjualan belum? Tanyakan dulu, biasanya supervisor pegang laporan harian secara keseluruhan.” Prana tampak kebingungan, Katanya karyawan berprestasi, masa laporan paling cetek begini aja dia gak bisa kerjakan. “Wah, jadi kerja dua kali kalau begitu. Pantas saja cabang ini selalu telat kirim laporan ke pusat.” Tunggu, apa katanya? Seenaknya saja berkata demikian. “Lho, Prana lagi nyalahin saya, ya?” semburku, sebagai seseorang yang bertugas kirim laporan setiap hari jelas tersinggung dengan pernyataan Prana. Pria itu malah tertawa, matanya yang bening dan hitam menyipit karenanya. “Selow, Mbak, saya di sini kan cuma nanya, kalau pun nanti ada kendala kita cari bersama masalahnya. Bocoran ya, Bu. Bos besar sedang menyiapkan Reward umroh buat para admin berprestasi. Memangnya Bu Tania gak mau pergi umroh bareng saya?” Prana mengangkat alisnya, mau tidak mau aku menanggapinya dengan senyuman. Lapar dan lelah telah membuatku sedikit sensitif. “Ya, tadi Prana bilang, kan cabang ini selalu telat kirim laporan. Padahal ya, pak, saya bela-belain lembur supaya bisa kirim laporan tepat waktu, parahnya kadang lupa makan demi ....” “Mbak ternyata cerewet, ya,” potong Prana perkataannya sontak membuat mataku membelalak. “Berarti kalau boleh saya tebak, sekarang Mbak Tania belum makan, ya,” imbuhnya lebih seperti pernyataan dibandingkan dengan pertanyaan. Dia menutup laptopnya, lalu berjalan memutari meja dan meninggalkan ruangan. Tidak lama kemudian dia kembali, badannya yang tegap sudah ditutupi jaket. Kemudian dia mengajakku untuk pergi mencari makan. “Ajak yang lain aja, lah,” elakku, rasanya canggung ketika harus pergi dengan seorang pria. “Yang lain sudah pada makan. Hanya saya dan Mbak yang belum, yuk Mbak. Itung-itung permintaan maaf saya, karena sering bikin Mbak telat makan.” “Yang bikin saya telat makan kan pekerjaan ini, bukan kamu. Ada-ada aja deh.” “Atau anggap aja ini ucapan terimakasih karena ibu sudah mempersiapkan banyak hal untuk nyambut kedatangan saya. Lututnya baik-baik saja, kan?” Buru-buru aku memalingkan wajah, takut ketahuan karena berubah warna menjadi merah padam karena malu. Ternyata Prana tahu kejadian konyol tempo hari. Akhirnya, setelah berbagai penolakan tidak diterima oleh Prana, aku mengikuti ajakannya. Lelaki itu berjalan di depan, tangannya dengan cekatan menggulung lengan kemeja. Aku mengikutinya dengan patuh dan tetap menjaga jarak. Tanpa minta pendapatku, Prana masuk ke kedai mie. Suasana kedai siang itu tidak begitu ramai, sehingga aku dengan leluasa dapat memilih duduk dekat jendela. Kusapukan pandangan pada jalanan kota Bandung yang semakin hari semakin padat dengan kendaraan bermotor. Pertama kali menginjakkan kaki di Ibu kota Jawa Barat ini, jalanan tidak sepadat sekarang. Semua cepat berubah. Hidangan yang kami pesan tiba bersamaan dengan berderingnya gawai milik dalam tasku. Nama Ibu tertulis di layar. Dengan cepat aku menggeser layar seraya minta izin pada Prana sebagai rasa hormat. “Assalamualaikum, Bu,” sapaku suara lembut ibu selalu membuatku tersenyum, rindu yang menggebu seakan terobati karenanya. Aku sempat melirik Prana sekilas, dia menatapku dan tersenyum. Namun, setelah beberapa saat berbicara denga ibu suasana hati yang semula baik menjadi keruh. Aku selalu merasa sedih kala ibu bertanya perkara jodoh, sama sedihnya seperti beberapa tahun silam. Aku menerima lamaran Abizar tanpa pikir panjang setelah setiap hari diberondong dengan pertanyaan seputar pernikahan, Abizar pria yang aku anggap dewasa. Pria yang aku pikir akan menjadi imamku di dunia dan si akhirat. * “Ibu seumuran kamu sudah punya anak umur 3 tahun, lho, Tan. Lah kamu, nikah aja belum. Bapak sama ibu mau jodohkan dengan anak pak Kades kamu gak mau. Padahal Arifin itu PNS, orangnya baik, perhatian, pasti bisa ngayomi kamu dengan baik.” Kata-kata Ibu membuatku bungkam, tidak bisa berkata apa-apa. Bubur ayam Makmur Jaya yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar. Bapak memilih diam, dia membolak-balik koran yang sedang dibaca. “Kalau kamu mau, nanti Ibu hubungi bu Kades. Niat baik jangan ditunda-tunda, makin cepat kamu nikah makin baik.” “Bu, Tania mau aja nikah sama mas Arifin. Dia mapan seperti yang ibu bilang. Masalahnya mas Arifin bakal ngelirik Tania gak? Yang ada nanti dia minder punya istri gendut kayak Tania. Zaman sekarang, laki-laki berduit itu berkuasa, Bu. Mereka bisa mendapatkan gadis belasan tahun yang sempurna, gak kayak Tania.” Maafkan aku, Tuhan. Maaf jika apa yang aku katakan menyinggung perasaan ibu. “Susah banget sih, ngomong sama kamu.” Ibu berdiri, menyambar teko kosong dan mengisinya kembali. Sementara itu, Bapak masih betah dalam diam, tetapi itu bagus. Dengan begitu bahasan jodoh menjodohkan tidak akan berlanjut lagi. “Kemarin Tania kenalkan teman laki-laki, Bapak protes, kan belum apa-apa dia jadi kabur.” Bapak mengerutkan kening, “Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk putri kesayangannya. Laki-laki yang kamu bawa waktu itu tidak akan menjamin kebahagiaan kamu. Pekerjaannya juga belum jelas.” “Lho, pikiran Bapak kok sempit banget, sih. Maaf pak, Allah yang akan menjamin kebahagiaan Tania,” kataku sembari menahan diri supaya tidak emosi. Bapak tidak menjawab, dari sudut mata aku melihat beliau melipat koran lalu menyimpannya di bawah meja ruang tamu. Aku merasa terpojok. Semangkuk bubur ini benar-benar terasa hambar. Selera makanku jatuh ke dasar jurang. Ketika hendak pergi, aku tetap mengulurkan tangan, meminta tangan ibu untuk  dicium dengan takzim. Minta didoakan agar pekerjaan hari ini berjalan tanpa kendala yang sulit dipecahkan. Namanya seorang ibu, lautan maaf terbentang luas, beliau malah memberikan bonus, di penghujung doa, beliau berkata agar aku segera bertemu dengan jodoh dunia akhirat. Meski tadi sempat kesal dan sedikit marah Ibu tetap mendoakanku dengan setulus hati. Begitu pun dengan Bapak. Dia marah, tetapi dia tetap menerima uluran tanganku dan memberi restu sebelum berangkat kerja. * “Bu, jam istirahat keburu habis, lho.” Prana membuyarkan lamunanku. Usai menutup panggilan telepon dari ibu, aku mengingat masa lalu. Masa di mana kedua orangtua yang selalu menyayangiku memaksa untuk segera menikah. Secara bersamaan, aku berkenalan dengan pria dewasa yang begitu perhatian dan mampu mengayomi di **. Pria itu bertutur kata baik, selalu bijak, dan mampu mengisi kekosongan kala aku selalu dipaksa untuk menikah dengan Arifin. Tanpa ragu aku mengiyakan ajakan Abizar untuk menikah. Tergesa-gesa, sekadar ingin membungkam kedua orangtua dan sanak saudara yang menuntut terjadinya pernikahan padaku. “Maaf, Pak.” Aku menyantap mie tanpa minat. Jika tidak takut menyinggung perasaan Prana, ingin rasanya kembali ke kantor, mengubur diri dengan pekerjaan. Menghindar dari pertanyaan yang sama. Seperti beberapa tahun silam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
211.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
15.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
193.9K
bc

My Secret Little Wife

read
105.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.1K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook