Pembohong Ulung

1175 Words
Tanpa dikomando, Prana mengambil dengan pelan dan hati-hati mug yang berisi kopi panas dari tanganku. “Aku jamin ini bukan seduhan pertama, aku yakin sudah lebih dari dua gelas.” Aku mengangguk, “Emang, iya, terus kenapa? Siniin deh, Prana, aku butuh itu untuk menghabiskan satu jam sisa kerjaku. Biar aku kuat bertahan sampe jam pulang nanti.” Bukannya menyerahkan mug itu ke aku, Prana justru menyeruput kopinya tanpa ragu, seteguk lalu sejenak dia berhenti meminumnya, dan mengernyitkan keningnya karena rasa pahit yang menempel di lidah, “Ini kopi pahit banget, loh, Tan. Kamu kenapa sih?” aku bangun dari dudukku lalu berjalan ke tempat mesin pemanas air. Aku mendengar Prana menggerutu saat aku menyeduh kopi lagi dengan cangkir yang berbeda. “Tania, jangan seduh kopi lagi, itu lambungmu kasian, ya Allah.” Dia beneran merebut mug kedua yang rencananya aku pakai untuk menyeduh kopi lagi, dia mengambilnya dari tanganku, dan mendorongku keluar dari pantry, lalu menguncinya, “Kamu gak akan aku perbolehkan masuk ke pantry lagi. Kembali ke mejamu, tunggu sebentar aku keluar beli makan.” Aku menarik kemeja di bagian lengannya, yang dia gulung sampai siku, “Prana, gak usah. Bentar lagi juga pulang.” Dia melepaskan tanganku, tatapan kami bertemu, ada yang beda dari tatapannya kali ini, tidak ngotot, tidak maksa, pelan tapi dalam, “Tan, please. Jangan sakiti dirimu, kamu harus jaga kesehatan. Aku gak mau berdebat sama kamu, tapi kali ini turuti aku, ya.” tatapan memohon seperti ini, baru sekali ini aku lihat. Dia tidak pernah melihat dan bicara dengan ekspresi wajah begini. Aku hanya bisa diam, dan berjalan gontai ke mejaku. Ketika memasuki ruangan kerja, Banun dan Yani sudah kembali berkutat dengan komputernya masing-masing. Meski aku dapat melihat dengan jelas Banun berusaha mencuri pandang karena Prana berdiri di belakangku. Ketika aku sudah duduk di mejaku, Prana keluar. Hitungan lima belas menit kemudian dia sudah mengangsurkan bubur ayam yang masih panas, dua tusuk sate usus, dua tusuk sate ati ampela, sembari menyerahkan bungusan tersebut, Prana bilang ke aku, “Tan, pulangnya jangan terlalu sore, ya, aku gak bisa antar soalnya, ada keperluan mendadak dan mendesak. Gak apa-apa kan pulang sendirian?” tanya Prana. Aku mengangguk, dan menjawab ucapannya, “Biasanya juga aku pulang sendiri, kamu aja yang repot-repot mau antar jemput.” Prana protes “Ya jawabnya jangan gitu,” mendengar dia protes begitu, aku menempelkan jari telunjukku ke mulut, dan berdesis seperti ular, “Ssstt …Udah, sana, balik ke mejamu Prana, aku sibuk.” Kufokuskan kembali diri ini pada laporan-laporan lain. Namun, Prana masih bergeming. “Aku antar jemput kamu karena khawatir orang itu ....” “Stop, Prana!” Terpaksa kubentak lelaki berkemeja abu-abu itu. Dia sempat tertegun. Kulihat Banun dan Yani juga sama, tampaknya mereka kaget melihat reaksiku. Prana tersenyum tipis, lalu dia menggerakkan bibirnya mengucapkan kata maaf tanpa suara, lantas meninggalkan ruangan ini menuju ruangannya. Melihat punggungnya menjauh ada perasaan bersalah yang merayap di relung hatiku. “Mbak, jadi cewek jangan kasar-kasar, kesian itu Pak Prana sampe malu gitu dibentak sama Mbak.” Aku menengok ke arah Banun, dan dengan cukup tegas aku bilang ke dia, “Makasih udah ngingetin, Nun. Tapi ini bukan urusanmu.” Yani mendekat lalu mengambil setumpuk berkas di mejaku. Aku hanya melihat tanpa mampu berkomentar, lalu ibu dari satu anak itu berseloroh akan membantu menyelesaikan pekerjaanku karena pekerjaannya sudah selesai, “Sini, Mbak. Aku bantu, berkas mana yang harus diitung ulang?” aku lalu menunjukkan bagian mana saja yang belum balance dan harus dicocokkan dengan laporan dari store. Terkadang, berada di perusahaan ini aku seperti bertemu dengan musuh, di lain waktu seakan mendapatkan saudara yang baik seperti Yani. Meski sepenuhnya aku tidak begitu percaya kepada orang-orang yang ada di sekitarku saat ini. Terlalu percaya pada orang hanya membuat kita terpedaya. Seperti dulu kala, saat aku sepenuhnya percaya kepada Abizar yang merupakan imam serta aku anggap belahan jiwa. Nyatanya aku malah diperlakukan tidak adil oleh dia dan keluarganya. Begitu semua berkas selesai aku periksa Yani juga menyodorkan semua berkas yang dia periksa. Lalu menyodorkan segelas air putih di hadapanku, “Pak Prana benar, Mbak terlalu banyak minum kopi, nih bersihin dulu lambungnya. Habis itu pulang, aku lihat Mbak terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini.” Aku berterima kasih lalu membereskan meja, “Makasih, Yan.” Kulirik Banun yang tidak biasanya merias wajah, meski hanya manyapukan bedak dan mengoles lip balm di bibirnya. Dia tersenyum penuh semangat. “Semangat amat dia, Yan.” Aku menyenggol lengan Yani. “Seperti biasa sih, aku juga kan kalau mau pulang bedakan dulu.” Yani merogoh tasnya lalu menunjukkan pouch berisi make up di hadapanku. Aneh, sih, Banun tidak pernah begini, Yani pun seperti sedang menutupi sesuatu. Tapi aku tidak perduli, terserah dia mau ngapain, daster, ranjang, dan kasur empuk sudah di bayanganku sejak tadi. “Ya udah, aku pulang dulu, ya. Naik umum, takut kemalaman. Nun, aku pulang, ya, Yuk, semuanya, Assalamualaikum.” Taksi yang kupesan tidak dapat masuk ke pelataran pabrik. Karenanya aku harus berjalan dari kantor ke luar area pabrik. Beriringan dengan orang-orang dari bagian produksi. Kadang, aku merasa bosan dengan rutinitas ini setiap harinya. Namun, aku lebih memikirkan kedua orang tua yang menyimpan harapan besar padaku. Aku berjalan tergesa menuju mobil putih yang setia menunggu dari beberapa menit yang lalu. Lalu mengempaskan punggung dan teringat akan sesuatu, hampir semua bahan masakan dan keperluan bulanan di kostan habis, jadi, aku bilang ke sopir taksi ini, untuk berhenti sebentar untuk belanja, dan pasrah ketika sopir membawa mobil ini menuju sebuah pusat perbelanjaan di kota Bandung. Ya, sudah saatnya belanja bulanan. Mobil yang aku tumpangi dikendarai oleh pria dengan raut wajah tabah. Ada gurat-gurat lelah yang berusaha dia sembunyikan di balik senyum ramahnya. Kadang aku bertanya pada diri sendiri mengapa tidak bisa menyembunyikan semua beban dengan senyuman. Seperti pria dewasa di depanku. “Sudah sampai, Teh.” Suara lembut itu memberitahuku, lalu kuserahkan uang yang sudah disiapkan dari tadi dan meninggalkan mobil setelah mengucapkan terima kasih karena telah menyetir dengan hati-hati. Di depan mal, aku bisa melihat orang-orang yang berduyun-duyun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Baik itu kebutuhan pokok mau pun hanya sekadar memenuhi hasrat untuk membeli makanan dan minuman yang belakangan ini tengah hits dan hanya di jual di pusat-pusat perbelanjaan besar seperti ini. Selama hampir 45 menit mengitari area supermarket aku akhirnya menyerah, kakiku tidak sanggup jika lama-lama menopang berat badanku. Sampai akhirnya aku tiba di food court, memesan makanan dan minuman. Perut yang dari siang hanya berisi kopi dan air putih seakan sedang bersorak kala melihat hidangan yang menggugah di hadapanku. Sayangnya, sebelum semua makanan di atas piring itu berpindah tempat, selera makan tiba-tiba terjun, hilang entah kemana, begitu saja kala melihat sepasang sejoli yang berjalan bersisian. Raut wajah keduanya memancarkan kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan. Bahagia sudah pasti, karena senyum mereka begitu lepas. Tak ada yang bisa aku perbuat selain menghapus air mata yang tiba-tiba jatuh. Rasanya sesak saat tahu ternyata “Ada keperluan mendadak” yang Prana bilang tadi adalah jalan-jalan di mal bersama Banun, berdua saja, karena ya, memang aku hanya melihat mereka berdua, tidak ada Yani atau anak kantor lainnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD