Siapa Aku?

1025 Words
“Banun, bantu aku dong. Ini kayaknya gak bisa aku putusin sendiri. Mau, kan Banun bantuin aku?" Prana ke ruangan kami, dengan setengah tergesa, Aku yang masih sebal karena tadi dengan senang hati Prana menerima nasi dari Banun langsung nyeletuk, "Jangan diputusin dong, disambung. Diputusin itu gak enak, jadi kapan kalian meresmikan hubungan kalian?" Prana menatapku. Keningnya berkerut aku tidak bisa membacanya, apakah hal itu karena lelaki itu marah, sebal atau benci. Dan sikap Banun ya, seperti biasa terlonjak senang, “Mutusin apa nih, Pak, apa yang bisa saya bantu?” lalu mendekat ke arah Prana. Dan di detik kalimat tadi terlontar aku sadar dan mulai merutuki diri, apalagi setelah melihat kilatan mata Prana dan raut wajah bahagia dari Banun. Menyesal. Kadang penyesalan datangnya emang selalu di akhir, ya, kalo di awal pendaftaran, ya, gak, sih. Ah … Aku merasa seperti seorang yang munafik, berlagak tidak apa-apa. Padahal meski berkali-kali aku menolak Prana, rasa sakit seperti dicubit itu kurasakan dalam hati. Aku kembali berusaha untuk fokus di depan layar. Mengabaikan diskusi antara Prana dan Banun. Entah mereka ngomongin apa, aku gak mau dengar, gak mau perduli juga. Sekitar lima menit kemudian, sudah selesai rupanya urusan Banun dan Prana, dan setelah selesai urusan Prana dengan Banun, dia berjalan, berlalu melewati mejaku, menyeret langkah keluar dari ruangan kami, sembari bicara, ke meja tempat Banun duduk, "Gimana, Banun, disambungin gak, nih?" Banun tersipu, aku ... aku berusaha memalingkan wajah. Apasih, maksudnya? Sengaja banget mau bikin aku cemburu, wah … Prana salah orang, sih, kalo dia pikir dengan kelakuannya itu aku jadi cemburu, ngambek, dan diam. Justru dia begitu, aku seperti tertantang dan semakin jadi, kulajukan aja sekalian, "Cieee ... Udaah, jadiiiin, Pak, Nun, nunggu apa lagi. Udah sama-sama gede ini." Kali ini Yani yang bersuara, mengundang tawa Prana yang begitu renyah.Aku menimpali juga ucapan Yani, “Iya, nih, dari kemaren gak jadi-jadi, kelamaan ah, kalian.” Tapi berbeda reaksi Prana dengan ucapan yang barusan aku ucapkan, kalo tadi, dia ketawa sama ucapan Yani, sekarang dia justru menatapku, tajam dan dalam, aku balas melihatnya, aku tantang lagi tatapan matanya, “Benar, kan, Pak Prana?” ucapku lagi. Ketika kami sedang saling tatap, terdengar suara Banun menjawab, dengan diplomatis, "Kan gak mungkin aku yang mulai duluan, Mbak Yan. Aku hanya bisa berdoa, kalo memang jodoh didekatkan. Di antara kita kan yang harusnya dapet jodoh duluan Mbak Tania. Mbak Tan sendiri, cari calon yang gimana sih, hayok lah ... Nikah lagi!" Aku diam pun kena juga. Prana berdehem, dan aku hanya senyum yang bisa kuberikan sebagai tanggapan, mereka yang belum pernah menikah, akan dengan mudah tergiur untuk mencoba jalan itu. Tapi tidak bagiku, menikah bukan lagi hal yang menyenangkan. "Maunya nyari yang bisa bahagiain aku dulu, bisa jadi imam salat, imam dunia, dan imam akhirat, bisa ngaji, akhlaknya baik. Aku pengen banget punya suami yang suaranya bisa didengar kala azan atau iqomah. Tapi, kalo ada laki-laki yang begitu, pasti gak bakal pilih aku, dia juga pasti cari perempuan yang se-level dengannya, ya, yang kayak kamu gitulah, Nun. Makanya, kayaknya emang udah jatahnya kamu duluan aja, deh, Nun. Nikah, gih," jawabku, sambil memandang nanar ke depan, memalingkan wajahku dari Prana, yang dia juga akhirnya berjalan perlahan keluar, ada denyut perih, saat mengucapkan itu. Pria sempurna, saleh, baik, pasti akan mencari wanita yang sempurna juga, yang pastinya bukan aku. Aku bisa melihat Prana mematung di ambang pintu. Lalu berlalu dengan kesal. Kuhiraukan Banun yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Perempuan itu teramat sangat bahagia dan aku tidak boleh menghentikan kebahagiaannya. Senja akhirnya datang menyapa, secangkir kopi pahit menemaniku. Banun dan Yani sudah pulang lima belas menit yang lalu, menyisakan diriku yang tengah dikoyak sepi. Banyak afirmasi yang aku rapalkan, karena hidupku tidak seburuk itu. Hanya saja hari ini lebih menguras emosi dari kemarin-kemarin, fakta bahwa besok Jumat sedikit membuatku bisa bernapas lega, setidaknya aku punya waktu untuk bermalas-malasan di kasur, scrolling media sosial sepuasku. Bukan aku yang suka posting-posting kehidupan pribadiku, tapi aku lebih suka menikmati selebriti, selebgram, bahkan artis yang banyak banget tingkah laku uniknya. Aku lumayan cukup mengikuti berita per-artis-an ini, ahahaha … Aku suka melihat mereka yang memamerkan kehidupan pribadinya, entah, aku suka aja melihat mereka jalan-jalan, foto-foto di dalam jet pribadi yang entah itu bener jet pribadi mereka sewa hanya sekedar untuk memuaskan ego dan niat pamer yang tinggi, belum lagi yang suka makan, pergi ke restoran mahal, aku yang melihat makanan yang se-uprit, jangankan mengenyangkan perut, bikin gigi ngunyah aja udah bagus, kalo gak begitu masuk mulut langsung habis dalam perjalanannya mencapai gigi geraham. Bicara soal makanan Sepertinya aku butuh sesuatu untuk mengisi perut lagi. Siang tadi selera makanku rusak gara-gara Banun berkata kalau aku terlalu subur, makanan nasi padang itu pun gak habis aku lahap, hanya beberapa suapan saja masuk ke mulutku. Seketika, aku membuka laman media sosialku, "Pengen baksoooooo, perut dingin. Berefek pada hati beku, tangan dan kaki menggigil, berefek pada kelebatan masa lalu yang mengganggu." Ketikan itu meluncur begitu saja, keluar dan menjelma menjadi rangkaian kalimat. Entah apa yang kurindukan? Lalu tulisan itu selesai dan aku tekan tombol sent dan membaginya di media sosial. Tidak, tidak ada masa lalu yang ingin kuulang, merindukan masa depan? Terlalu naif rasanya. Seketika aku tersadar, ingatanku memutar pada kejadian beberapa waktu ini, ketika Prana sering banget berinteraksi dengan Banun, dan aku juga teringat kejadian tadi siang, ketika Banun dan Prana sedang berbincang, binar mata Banun tidak bisa berbohong, dia menyukai momennya, bercengkrama dengan Prana. Ekspresi Prana sendiri sudah bisa aku tebak, dia akan memasang tampang yang sama, seperti ketika berbicara kepadaku. Aku yang kemarin merasa menjadi orang yang istimewa dalam hidupnya kini menyadari sesuatu, kepada Banun, atau perempuan mana pun dia akan berlaku sama. Aku yakin, dia sudah ditakdirkan Tuhan untuk seramah itu, hanya saja, buat perempuan yang belum paham mana perhatian, mana teman, akan merasakan sesuatu yang "spesial" dari tingkahnya. Alih-alih beranjak dari tempatku, aku terus membayangkan interaksi dan tingkah polah keduanya saat sedang bersama. Lalu keluar dengan tanpa sadar, aku menarik napas panjang, dan dari mulutku sendiri, keluar ucapan, "Ah, tapi mereka begitu cocok, yang satu Hafizah, yang satu imam salat dengan bacaan yang Tartil. Lalu siapa aku ini yang sampai berani-beraninya bermimpi tentang memiliki pria seperti Prana?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD