Luka Sejalan Bahagia

1455 Words
Langit sore begitu indah, aku melihat semburat keemasan yang mengintip melalui celah jendela. Hanya ada satu tempat tidur ukuran single, sebuah lemari, meja rias serta rak tiga tingkat yang aku gunakan untuk menyimpan beberapa koleksi buku. Aktivitas kantor yang begitu padat membuat aku lupa untuk sekadar membersihkan debu yang menempel pada sela-sela rak. Aku memang pemalas, persis seperti apa yang mereka katakan dulu. Menjalin sebuah pernikahan adalah mimpi setiap orang namun kandasnya pernikahan tidak termasuk ke dalam mimpi itu. Begitu pun dengan diriku, belum ada mimpi yang sempurna hingga saat ini, termasuk beberapa tahun silam, saat lelaki itu melamarku. “Kita nikah, yuk,” ajak Abizar. Tidak ada lamaran romantis seperti dalam n****+ yang biasa dibaca. Cincin dan bunga hanya ada dalam angan. Tapi poinnya bukan itu, untuk perempuan sepertiku, ajakan menikah dari seorang pria adalah sebuah mimpi yang akhirnya terwujud. Ku anggukan kepala tanda setuju, aku tahu Abizar serius. Perkenalan kami berawal dari sebuah DM di i********:, dia adalah salah satu pelanggan yang selalu membeli beberapa produk yang aku jual online. “Kamu bilang sama ibu dan bapak. Nanti, kalo mereka OK, saya bawa keluarga besar buat lamaran.”  “Iya, Bi. Makasih ya,” ucapku tulus, tiba-tiba khayalanku mengembara jauh, Abizar menjadi suami dan ayah dari anak-anakku kelak. Yang terpenting aku bisa memberikan kebahagiaan untuk ibu karena selama ini selalu menjadi orang pertama yang menginginkan terjadinya pernikahanku. Siapa sangka dalam jangka waktu 3 bulan saja, pria itu benar-benar hadir. Bagai pangeran dalam kisah Sleeping Beauty yang membangunkan sang putri dari tidur panjangnya.  Semua berlangsung dengan cepat, tidak ada pendekatan dengan keluarga besar Abizar, pertemuan pertama saat keluarganya datang melamar. Lalu bertemu kembali ketika pernikahan berlangsung. Sesingkat itu hingga aku tidak dapat memprediksi masa depan seperti apa yang akan aku jalani dengan Abizar juga keluarga besarnya. Minggu pertama setelah Abizar setelah Abizar mengucapkan ijab semua terasa sangat indah. Dunia pernikahan yang selama ini diimpikan akhirnya aku alami jua. Abizar masih tetap mengizinkanku untuk meneruskan usaha, dia tidak keberatan dengan apa yang aku kerjakan. Yang paling penting Abizar bisa menerima aku apa adanya. Neraka itu mulai ku rasakan memasuki bulan kedua. Abizar mulai menuntut dengan tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal. Dia mulai mempermasalahkan segala sesuatu yang aku kerjakan termasuk protes kala aku tidak dapat membersihkan kamar mandi dengan baik. “Istri macam apa kamu, kerjakan yang seperti ini saja tidak mampu.” Dia merebut sikat kamar mandi yang sedang aku gunakan untuk menyikat lantai. Terang saja sebagai istri aku merasa tak berguna. Ribuan maaf aku ucapkan demi mendapat kembali senyumnya, demi merasakan lagi hangatnya rengkuhannya. Suatu ketika, Abizar mulai jarang pulang, dia lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya, makan di sana seolah-olah aku tidak bisa menyediakan makanan yang layak untuknya. Angin kencang mulai menggoyahkan rumah tangga kami. Lalu tanpa di duga angin yang semula menyejukkan berubah jadi badai bencana. “Makanya, jadi istri itu yang pandai urus suami, masa tiap hari numpang makan di rumah orang tua?” ejek Puspa, kakak iparku. Sejak pertama kali menikah dia memang sudah sinis, sering menyindir dan kadang ikut campur dengan rumah tangga kami. Sayangnya bak kerbau di cucuk hidungnya Abizar begitu tunduk dan takut sama Puspa, apa yang dilontarkan sang kakak selalu diiyakan dan berujung pertengkaran antara aku dan dirinya. Pernikahan yang semula aku kira akan indah, kini tak ubahnya jadi sebuah neraka yang membelenggu. Namun, gurat-gurat pengharapan dari ibu dan bapak menjadi sumber kekuatan untukku. Terbayang dengan jelas binar bahagia mereka kala itu, kala suamiku untuk pertama kali mengecup kening usai kata Sah membahana di penjuru ruangan. Ibu dan Bapak lah yang menjadi sumber kekuatan untukku bertahan. Abidzar adalah sosok lelaki idaman, itu jika di lihat kala dia sedang bersikap manis. Tapi jika tempramennya sedang kumat, maka dia tak ubahnya seorang monster, membanting barang berteriak sesukanya lalu pulang ke rumah orang tua. Membawa sumber masalah baru untukku, karena dengan begitu Puspa akan turun tangan. Lagi-lagi dia akan menyalahkan diriku, mencemooh bahkan menorehkan luka demi luka dengan mencercaku dan berkata bahwa aku adalah istri yang tidak berguna. Ah, tidak berguna hingga sikap buruk Abizar pun disebabkan karena aku yang tak berguna. Lelaki itu harus kehilangan pekerjaan karena sikapnya yang selalu tempramen. “Gue dipecat,” ucapnya kala itu. Salam yang seharusnya dia ucapkan terganti dengan gebrakan pintu. Aku terkejut tentu saja. Abizar itu seorang lelaki yang gila kerja, tidak mungkin dia melakukan kesalahan hingga membuatnya di pecat. “Lho kenapa, Bi. Setahuku kamu rajin kerja, gak pernah bolos?” Aku berusaha bertanya, sehalus dan selembut mungkin, khawatir Abizar yang sedang ‘panas’ ini akan marah. “Kenapa, lu mau ikut nyalahin Gue? Lu tenang aja, gue masih sanggup nafkahin meski gak kerja lagi di perusahaan sialan itu.” Dia mengumpat, aku membisu dan tak bisa bergerak, nyaliku menciut. Keesokan harinya, aku mendengar kabar bahwa Abizar di pecat gara-gara berseteru dengan atasannya, sikapnya yang tempramen terbawa hingga ke kantor, dia memaki atasannya seperti dia memaki istrinya. Hingga pemecatan itu terjadi dan dia harus menerima kenyataan mendapati dirinya menjadi pengangguran. “Kamu jangan belagu, Tania. jangan mentang-mentang saat ini suami kamu gak ada penghasilan lantas kamu berulah,” ujar Puspa, saat pulang dari toko aku melihat kakak iparku sedang mencuci piring di rumahku. Bertambah sudah deretan kesalahan yang membuat dia semakin menjadi-jadi membenciku. “Belum sempat, Mbak. Rencananya sepulang dari toko saya akan kerjakan semuanya. Mbak apa kabar?” “Gak usah basa-basi. Saya kesini mau ngomong sama kamu, eh liat rumah berantakan begini, kamu benar-benar gak becus jadi istri.” Aku hanya tersenyum miris, sejak Abizar tidak bekerja, terpaksa aku harus kerja lebih giat lagi agar kehidupan kami berdua tidak kekurangan. Belum lagi ibu juga mertua yang harus tetap aku kirimi uang. “Maaf, Mbak. Sudah simpan saja biar saya yang selesaikan.” Puspa mendelik. Dia tidak menghiraukan apa yang aku katakan. Di sudut ruangan, Abizar tengah asik dengan gawainya, dia tidak peduli dengan apa yang terjadi. Puspa adalah sosok kakak yang benar-benar Abizar takuti. Suasana di ruangan itu tidak enak kala Puspa sudah mengakhiri aktivitasnya. Aku sempat melirik meja makan, ada gulai kikil kesukaan Abizar, sedangkan tumis toge dan tahu yang aku masak tadi tidak tersentuh sedikit pun. “Mau makan toge sampe satu tampah pun kamu gak akan hamil kalo gak usaha, ke dokter lah Tania. memangnya penghasilan kamu tidak cukup untuk sekadar konsultasi? Ingat kalian sudah lama menikah,” cerca Puspa. Aku sengaja melirik Abizar. Dia bergeming, pura-pura tidak mendengar apa-apa. “Allah belum kasih, Mbak. Saya sih santai,” ujarku. “Santai kamu bilang? Ibu sudah gak muda lagi, dia benar-benar berharap bisa punya cucu dari Abi, kamu gimana, sih.” Puspa beranjak, dia meninggalkan aku termenung seorang diri. Seolah-olah aku yang paling banyak bersalah dalam hal ini. Air mata adalah teman setiaku, tidak peduli pada akhirnya aku harus merasakan sakit kepala karena semalaman menangis. Terkadang, Abi bersikap sangat manis. Kala aku tengah dirundung sedih karena ucapan ibu mertua dia memeluk tubuhku dari belakang, membiarkan tangisan tumpah, menenangkan hingga aku terlelap sampai pagi. Berkali-kali aku meyakinkan diri untuk tidak baper dengan perkataan ibu mertua, perkataan yang tidak sengaja aku dengar saat ada sanak saudara berkunjung ke rumah orang tua Abi. “Aku sebenarnya malu, punya menantu gendut begitu. Hanya saja si Abi minta langsung dia sampai memohon untuk menikahi Tania,” ucapnya pada sanak saudara, aku yang tiba dari arah dapur berhenti seketika. Tangan yang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dengan kudapan bergetar hebat. Rasanya ingin membanting benda itu, tetapi Allah masih memberikan kesabaran. “Belum lagi dia gak hamil-hamil, coba deh inget-inget berapa tahun mereka menikah?” Perkara itu lagi, sudah berkali-kali aku dan Abizar berdebat masalah anak. Sudah hampir habis rasa sabar yang aku miliki.  Mereka bungkam saat aku tiba, ibu mertua mendelik sinis dan aku buru-buru pergi sebelum mendengar ucapan mereka yang mungkin akan menusuk hingga membuat perasaanku kembali terkoyak. Masih teringat jelas, aku menangis pilu bersandar pada lemari makan yang tersimpan di dapur. Hingga tangan kokoh itu kembali merengkuhku, membawaku ke dalam hangatnya pelukan. Tapi tiba-tiba gawaiku berdering, membangunkanku dari lamunan panjang tentang masa kelam pernikahan antara aku dan Abizar. Nama Banun tertulis di caller id.  “Assalamualaikum, Nun,” sapaku setelah menggeser tombol hijau pada layar. “jalan-jalan, yuk, Mbak. Ke Braga. Gak asik ah liburan mager aja,” selorohnya. Setelah mengiyakan ajakan Banun, aku bergegas mengganti gamis rumahan dengan gamis polos berwarna lavender dan khimar bunga-bunga warna senada. Keluar dari Indekos memang ampuh dari pada meratapi masa lalu dan berujung mengorek luka. Setengah jam kemudian aku sudah sampai di Jl Braga. Dari kejauhan aku melihat Banun dan Yani melambaikan tangan keduanya terlihat begitu sumringah, tetapi ada yang aneh. Ada sosok lain yang ikut melambaikan tangan di belakang mereka, dia tersenyum tak kalah lebar. Sosok aneh itu bukan makhluk dari dunia lain, melainkan Prana, si anak baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD