Ice coffee dan senyumannya

1280 Words
“Dah lama nunggu, Nun?” tanyaku, seraya duduk persis di sebelah Banun, sementara Yani dan Prana duduk tepat di hadapanku. “Lumayan, Mbak, yang traktir hampir nyerah karena kelamaan nunggu,” seloroh Banun. Sontak aku tersedak ice coffee, dan itu membuatku kehabisan napas. Prana tersenyum jahil seraya menyodorkan selembar tisu. Dari sudut mata aku melihat Banun dan Yani tersenyum geli, ah sungguh memalukan. “Hati-hati minumnya, Mbak,” tukas Yani. Aku mengangguk mengiyakan, sembari membersihkan sisa ice coffee yang muncrat di meja. “Iya, Tania, kemarin tetanggaku meninggal dunia lho,” ucap Prana serius. Aku tertegun dengan panggilannya yang tidak memakai embel-embel ‘Mbak’ seperti Banun dan Yani. “Innalillahi, karena tersedak?” Banun sontak bertanya, sementara Yani hanya menatap Prana, menunggu jawaban pria berkemeja hijau mint yang lembut itu. “Enggak sih, memang sudah waktunya saja, beliau sudah sepuh,” jawabnya santai. Kontan aku melotot, Prana hanya tersenyum, manis sekali. Astagfirullah, apakah aku baru saja memberikan pujian kepadanya? Suasana akhirnya mencair, kami berempat menghabiskan sisa sore hingga menjelang magrib, Prana mengantarkan Yani dan Banun, sementara aku pulang dengan mobilku sendiri. Sebelum kami berpisah, Prana sempat membukakan pintu mobilku. “Tania, nanti malam aku telpon ya?” pinta Prana sebelum menutup pintu mobilku. Belum sempat aku menjawab dia berlalu, membawa senyumnya yang lagi-lagi terlihat sangat indah. Aku kenapa, sih? Beberapa saat aku terpaku di belakang kemudi. Berusaha menenangkan diri, berusaha mengeja satu persatu rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Sepanjang obrolan di coffee shop tadi beberapa kali tatapan mata kami beradu, Prana dengan tatapannya yang meneduhkan membuat jantungku kebat-kebit. Langit semakin menggelap, semburat keemasan yang tadi menghiasi cakrawala kota Bandung kini berganti menjadi gulita. Aku pulang dengan perasaan tak karuan. Untuk pertama kali dalam hidup, aku ingin hari ini segera berganti. Menjadi esok, agar bisa melihat senyuman itu kembali.  Berkali-kali ku lafalkan Istighfar mohon ampun karena tidak bisa menjaga pandangan dengan baik. Antrean kendaraan di jalanan memaksaku untuk menepi di sebuah mesjid. Aku akan kehabisan waktu Magrib jika nekad melawan kemacetan. Kemudian berwudu, membasuh bayangan pria itu dari ingatanku. Salat berjamaah baru saja usai ketika aku memasuki mesjid, kemudian aku berdiri menghadap kiblat memasrahkan seluruh hidup kepada pemiliknya. *** “Baru pulang, Mbak Tania?” sapa salah satu penghuni indekos. Aku mengiyakan, lalu pamit setelah memasukan mobil di tempat yang sudah di sediakan. Indekos yang aku pilih terbilang cukup bagus. Bangunan berlantai tiga dengan halaman yang cukup menyejukkan mata karena ditanami aneka tanaman hias. Terdiri dari delapan kamar, empat kamar di lantai satu sisanya di lantai dua, sementara itu lantai tiga merupakan sebuah ruangan tempat cuci baju sekaligus menjemurnya. Pemilik indekos menyediakan sebuah mesin cuci yang kami gunakan secara bergiliran. Aku menempati kamar di lantai dua, posisinya persis di ujung sebelah kanan pintu balkon. Sehingga kala malam tiba, aku dapat menikmati keindahan kerlip lampu dari kota yang baru beberapa tahun aku tinggali ini. “Mbak Tania, ada paket.” Lisa, seorang teman yang menempati kamar yang terletak persis di depan kamarku. Dia menyodorkan sebuah bungkusan. “Hari libur emang ada kurir yang antar, ya, Lis?” tanyaku heran. “Itu ada, ekspedisi itu kan gak ada liburnya, Mbak.” “Baru tahu aku, makasih ya, Lis. Aku pamit, mau mandi badan rasanya lengket banget,” pamitku, memang benar, ingin rasanya aku mandi, membuang peluh yang bercucuran setelah berjibaku melawan kemacetan. “Abis malam mingguan, ya Mbak?” tanya Lisa. "Malam Senin-an, Lis. Ini kan hari Minggu," jawabku. Lisa menepuk keningnya sendiri, dia lupa rupanya. Aku hanya tersenyum, lantas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Mendengar kata malam mingguan dari Lisa tiba-tiba membuat dadaku berdesir, akan kah aku merasakan malam mingguan lagi? Seperti dahulu. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan saat gawaiku berdering, aku yang sedang duduk nyaman membaca sebuah n****+ terperanjat karena kaget. Nama Prana terpampang dalam identitas pemanggil. Angkat, jangan? Memangnya ada apa, bukankah tadi bertemu dan sudah bicara banyak?   “Assalamualaikum,” ucap Prana kala aku menjawab panggilannya. “Waalaikumsalam, ada apa Prana?” “Tania belum tidur?” tanya dia lagi, entah kenapa rasanya menjadi sangat canggung. “Baru sampai setengah jam yang lalu, ini baru selesai mandi dan bersiap mau tidur.” “Lho, tempat tinggal Tania emangnya jauh ya dari Braga?” tanya Prana, aku bisa merasakan ada keterkejutan dalam nada bicaranya. “Tadi mampir salat magrib di mesjid, sekalian salat isya. Rasanya sudah lama saya gak salat berjamaah. Maaf Prana, ada yang bisa saya bantu?” “Lain kali kita salat berjamaah ya, Tania, aku imamnya,” seloroh Prana, dia mengabaikan pertanyaanku. “Astagfirullah, ya iyalah masa saya yang jadi imam.” Jawab Tania yang disambut derai tawa Prana, terdengar merdu, tetapi aku segera menepisnya. Tidak boleh, ini salah. “Tania, maaf ya, tadi aku ajak Banun dan Yani. Aku sebenernya bingung, pengen traktir Tania minum kopi, tapi kalau aku ajak langsung Tania pasti nolak deh. Makanya aku ajak Banun dan Yani, suruh mereka buat ngajakin kamu.” “Oh, jadi kamu pelakunya?” Dia tertawa lagi, aku memang tidak bisa melihatnya. Tapi entah mengapa aku membayangkan wajahnya. “Besok makan siang bareng, ya? Kalau gak mau berduaan ajak Yani sama Banun.” “Aku gak bisa janji, ya. Hari Senin dan awal bulan, Prana tahu sendiri bagaimana sibuknya.” “Justru itu, aku ajak kamu biar tetap memperhatikan diri sendiri. Ngurus kerjaan gak akan pernah ada habisnya Tania, kerja keras boleh, tapi minimalnya kamu makan tepat waktu,” nasihat Prana. Dia kesurupan apa sih, tiba-tiba jadi baik begini. “Kamu sudah seperti Bapak saya saja, Prana. Tiap nelpon pasti nanya makan.” Lagi-lagi dia tertawa, renyah, sangat renyah. “Aku memang sudah siap jadi bapak, sekarang lagi proses pencarian ibunya. Semoga dia ngerti aku kodein.” “Ahaha, semoga ya, Prana. Maaf sudah hampir jam sembilan, kalau gak ada yang penting, aku pamit ya takut kesiangan salat subuh.” “Ah, iya, senang ngobrol bareng kamu. Sampai jumpa besok di kantor ya, Tania.” “Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan. Membuat Prana tergelak, mau tidak mau aku pun tersenyum. “Assalamualaikum, Tania.” “Waalaikumsalam, Prana.” *** Aku tiba di kantor sebelum orang-orang tiba. Hanya ada pak Dirman yang sedang mengepel lantai bagian depan. Melihat kedatanganku dengan sigap lelaki paruh baya itu membukakan pintu kaca. "Assalamualaikum, Pak Dirman." "Waalaikumsalam, ngopi, Bu? Mari saya buatkan," tawarnya. Aku tersenyum, "tidak usah, selesaikan saja pekerjaan Bapak, nanti saya bikin sendiri." "Siap, Bu. Kalau ada apa-apa panggil saja saya." Setelah meninggalkan Pak Dirman, aku lantas menuju meja dan mengumpulkan semua laporan dari tim marketing. Mulai mengerjakan tugasku satu persatu. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi, sedangkan jam kantor dimulai pukul delapan. Aku biasa datang lebih awal saat tanggal muda. Bagiku, ini lebih baik dari pada lembur hingga malam.Tiga puluh menit kemudian orang-orang mulai berdatangan. Yani datang bersama Banun, setelah mengisi presensi mereka duduk di hadapanku, seperti biasa bergosip ria. Mereka heboh karena di antar pulang oleh Prana kemarin sore. "Coba Mbak gak bawa mobil, seru, tau. Di mobil Pak Prana bikin jokes gitu, walau garing kita tetep ketawa. Asik banget pokoknya," ungkap Banun antusias. "Gak apa-apa, lagi pula tempat kita tidak searah, kasian dia harus muter-muter nganterin kalo aku ikut kemarin." "Bentar lagi gajian, moga aja Pak Prana ngajak nongkrong lagi," seloroh Yani. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya, dan menyadari bahwa orang yang mereka bicarakan tak kunjung tiba. Hingga suara yang tidak asing lagi terdengar merdu, "Boleh saja, asal Bu Tania ikut saya siap traktir kalian lagi, bukan begitu, Bu?" Aku tersenyum kecut, Banun dan Yani terbelalak kaget. Jelas malu, ketauan membicarakan orang. "Makanya, jangan suka gosip," sindirku, Prana tertawa lagi. Setelah Banun dan Yani meninggalkan mejaku, Prana berbisik, "jangan lupa, makan siang aku tunggu, ya, Tania." Yang membuatku heran, kenapa dia bicara begitu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD