Mengeja Rasa

1548 Words
“Mbak Tania, data yang diminta pak Anhar sudah selesai?” Prana bertanya sambil berjalan mendekati mejaku. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu, mataku menangkap benda kecil yang dia pakai di jemarinya. Bukan cincin, melainkan tasbih digital. “Bukannya sudah aku email ya kemarin sore? Atau ada data lain lagi?” Aku berusaha memutar ingatan, semua data yang seharusnya dikirim sudah diselesaikan tepat waktu, bahkan tidak perlu repot-repot lembur untuk menyelesaikannya. Jari-jari Prana mengetuk meja, menimbulkan suara berisik yang mengganggu. Dia baru berhenti dan meminta maaf setelah Yani protes karena kelakuan isengnya. “Sudah ya, sukur deh kalo sudah.” Kemudian Prana pergi. Aku dan Yani saling bertatapan. Hari ini pria itu benar-benar aneh. Usai makan siang aku, Banun dan Yani berbincang bersama. Pernikahan selebritis adalah salah satu topik yang kami bicarakan, baru-baru ini pemberitaan pernikahan megah tersebut santer diberitakan di seluruh media sosial. Bahkan menjadi tranding topic selama beberapa hari di Twitter. “Aku sih kalau nikah gak usah mewah-mewah begitu, kalau kata orang Bandung, siduru isuk yang penting kan keberkahan dari pernikahan itu sendiri, ya kan Bu Tania. Ibu nih sudah pernah ngalamin.” Banun berseloroh, Yani menanggapi dengan antusias sementara aku tiba-tiba merasa enggan membahas pernikahan. Benar, aku pernah berdiri di pelaminan bersama Abizar. Meski usiaku bisa di bilang sudah cukup untuk menjadi seorang istri, nyatanya aku tidak bisa. Usia tidak dapat dijadikan patokan siap tidaknya menjalani kehidupan rumah tangga. Aku mengira masalah akan selesai ketika pria itu usai mengucapkan ijab kabul. Nyatanya pernikahan tidak sekedar menyatukan dua insan dengan akad yang sakral kemudian melanjutkannya dengan aktivitas pribadi di bilik penuh cinta dan romansa. Aku salah, ada banyak kepala yang harus kita satukan, ada keping-keping hati yang harus kita luluhkan. Terutama ibu mertua, perempuan yang sudah sepatutnya aku hormati sebagai surga dari lelaki yang saat itu menjadi imamku. Pernikahan impian itu tidak lebih menjadi neraka dunia yang menyiksa batin. Hari demi hari hingga lima tahun lamanya sebelum akhirnya aku menyerah. Penyiksaan verbal yang kerap aku terima dari Abizar dan orang tuanya perlahan membekukan hatiku. Membuatku enggan untuk memulai kembali menjalani ibadah mulia tersebut. Sendiri lebih baik, aku bisa fokus membahagiakan ibu dan bapak tanpa ada yang protes seperti dahulu kala. “Mbak, melamun, ya?” Aku terperanjat. “Ah, lagi kepikiran sesuatu aja, kenapa, Yan?” “Tuh, kan, ibu sampe gak tahu kita tadi ngobrol apa,” protes Banun dengan suaranya yang renyah dan manja. “Sampai gak sadar juga saya ikutan ngobrol,” ujar Prana, benar aku tidak menyadari dia sudah ikutan duduk di antara kami. “Maaf, sebaiknya kita lanjut kerja, wan kawan, ketahuan Pak Anhar tahu rasa, lho.” Yani mengiyakan, lagi pula jam istirahat memang sudah habis. Sayangnya Prana menunjukkan seraut wajah kecewa lantas dia meninggalkan meja kami dengan langkah gontai. Sisa hari itu tidak sama lagi. Ingatan tentang pernikahan selalu membuat mood anjlok. Aku merentangkan tangan, meregangkan otot-otot yang kaku karena terlalu lama duduk. Dan aku butuh kopi, aromanya yang menenangkan semoga dapat mengembalikan semangatku di sisa hari itu. Belum sempat melangkah menuju Pantry secangkir kopi yang masih mengepul sudah tersaji di mejaku. “Kopi, Bu Tania.” Prana tersenyum memamerkan sederet giginya yang rapi dan bersih. “Lho, pak ngerepotin. Makasih, ya,” ucapku, lelaki muda itu mengatakan tidak apa-apa lantas pergi menuju mejanya. Tumben banget anak itu, tapi tidak apa-apa, aku jadi gak perlu repot-repot jalan ke dapur dan membuat kopi. Dia juga tahu betul cangkir merah ini adalah cangkir yang biasa aku pakai. Ah ... aroma kafein selalu menenangkan. Ada yang aneh dengan Prana, entah kenapa hari ini dia bolak-balik seperti setrikaan. Kalau saja lantai yang dia pijak adalah sehelai kemeja, maka itu sudah licin dari tadi. Dia mondar mandir gelisah, seperti ada sesuatu yang ditahan. Kebelet pipis misalnya, sementara WC penuh. Dan aku baru menyadari entah sejak kapan dia duduk di meja sebelah, tempat Rahayu yang hari ini tidak masuk karena sakit. "Pak Prana, ada apa?” tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum. “Aneh banget, lho Pak. Meja bapak di pojokan sana, jauh-jauh duduk di sini. Ada kerjaan yang gak dimengerti?” Prana memiringkan kepalanya lalu tersenyum seraya menjawab dengan intonasi yang lembut, "entah, hanya perasaanku saja atau udaranya emang panas banget. Tapi tadi, waktu aku lewat sini, rasanya kok adem banget, begitu, Bu Tania." Aku tidak tahu apa maksudnya, termasuk senyumnya yang tidak dapat aku artikan. "Maksud Bapak, gimana? perasaan saya, bukannya ruangan di sana malah lebih dingin, ya AC nya? karena cuma bapak berdua dengan pak Andri?" Aku manatapnya heran, tetapi dia hanya tergelak, eh ... cara dia tertawa mengingatkanku pada tawa renyah seseorang, indah. Namun aku tidak suka. "Berarti ruangan kita sebenarnya sama-sama adem, cuma karena kita dipisahkan, makanya kok rasanya ada yang kurang, gitu mungkin ya, Bu?" Aku yang sedang membaca laporan keuangan dari Yani, mengiyakan, tanpa melepas mataku dari laptop. "Iya, kan, Bu. Dijawab, dong!" desak Prana. "Bisa jadi, pak. Ato emang sebenarnya cuaca emang gerah. Tapi ya, karena saya yang selalu bikin nyaman, jadi bikin Bapak adem, gitu kali." Prana ketawa lagi, entah apanya sih yang lucu, hari ini dia kenapa? Dan rasanya aku ingin menghentikan tawa itu. Prana lebih manis jika hanya tersenyum saja. Toh yang aku bilang bener, kalo dia emang bolak-balik karena ngerasa di ruangan ini adem, ya berarti karena ada aku, gak salah, kan? Karena memang biasanya teman-teman yang lain juga merasa nyaman duduk denganku. "Udah ah, bu. Saya bisa-bisa punya rasa lain karena begini" Aku hanya sekilas melihatnya "Iya deh, Pak. Emang lebih baik Bapak balik ke meja trus lanjut kerja. Kacau dunia persilatan kalo pak Anhar ngeliat Bapak cuma ngobrol aja di sini. Bisa-bisa saya kena semprot juga nanti." Dia berdiri kemudian menjauh dari mejaku. Sambil berlalu pria itu bersenandung, "We keep this love in photograph ...." Lah ... tumben itu Prana, biasanya diem-diem aja, boro-boro bersenandung, denger anak-anak dengerin musik kadang dia protes, kenapa orang itu? Lagi, pekerjaan yang menumpuk membuatku tertahan di kantor. Ku lihat Banun, Yani dan yang lain bersiap-siap untuk makan siang di luar. Cacing dalam perut sebenarnya sudah meronta, berlomba menabuh genderang memberi peringatan bahwa sebenarnya sudah waktunya untuk di isi. "Ayo, Bu," ajak Banun. Dia berdiri dengan anggun tepat di hadapanku. "Nitip aja, lah, Nun. Aku mau nasi rames ya, lauknya ayam serundeng." Selembar uang lima puluh ribu aku serahkan pada Banun. Namun, gadis berkerudung merah marun itu bergeming, dia tidak menerima uang itu. Malah gelisah melirik ke arah Yani. "Kenapa?" tanyaku. "Kita gak lewat sana, Bu. Mau makan Mie ayam di belakang gedung. Maaf," ujar Yani. Ku lihat Banun tersenyum. "Ikut aja, Bu. Kan belum makan siang," ajak Banun. Aku memberikan penolakan, jika aku keluar maka pekerjaan tidak akan selesai dan dipastikan aku akan lembur lagi. Sementara cucian yang numpuk di Indekos harus segera di antar ke binatu. Jangan sampai kemalaman lagi dan tempat itu keburu tutup. Mereka pergi, aku menatap laptop dengan segunung pekerjaan yang harus segera selesai. Kuhalau rasa lapar, tidak salah, kan jika aku nunda makan hingga sore tiba? Setidaknya siang ini aku masih bisa nyemil biskuit gandum dengan kopi. Aroma musk dan campuran woody tercium kala Prana dan Andri lewat dan mengacaukan konsentrasi. Parfumnya tidak menyengat, tetapi tawa mereka yang membuatku menghentikan pekerjaan. Lantas keduanya pamit, menyisakan aku di ruangan kosong ini sendirian. Semua berkas sudah selesai aku periksa kala satu per satu memasuki ruangan. Aku melihat Yani dengan ekspresi wajah kepedasan. Begitu pun dengan Banun. Berkali-kali dia menyeka wajahnya yang berkeringat dengan tisu. "Mau kemana, Bu?" tanya Banun kala melihat aku berdiri. "Pantry, mau ngopi. Kamu mau?" tawarku. "Ih ibu, sejak kapan aku suka kopi," protes Banun disusul dengan tawa cekikikan Yani. Sebelum menyeduh kopi, terlebih dahulu ku cuci mug merah kesayangan, sambil menunggu air panas. Ku raih toples kopi, kali ini aku tidak menambahkan gula. Sesuatu yang pahit bisa membantu agar tetap waras dan dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Namun, tiba-tiba Prana datang, dia merebut gelas kopi yang belum sempat aku seduh. "Apaan sih, Pak." Aku protes tentu saja. "Jangan dulu minum kopi, ini makan dulu." Dia menyerahkan sebungkus makanan, masih hangat. "Ini ...." "Aku belikan buat ibu, abis itu baru boleh ngopi. Ini, kursinya makan sambil duduk jangan lupa baca bismillah." Aku masih tidak bisa berkata apa-apa. Pria itu berlalu begitu saja. Makanan yang dibungkus dengan kertas nasi dalam kantong kresek bening itu berisi nasi rames dengan lauk ayam serundeng. Persis seperti apa yang aku pesan pada Banun tadi. "Terima kasih, Pak, makan siangnya. Berapa harus saya ganti?" Setelah selesai makan dengan sangat lahap aku menemui Prana. Dia hanya tersenyum seraya berkata," emangnya Ibu mau ganti berapa, coba?" Aku mengernyitkan dahiku, keheranan ... "Ya ... mana saya tau, Pak. Kan Bapak yang membelikan. Makanya saya nanya, kalo saya tau, ya saya gak nanya." Dia tersenyum lagi, hari ini dan beberapa hari ke belakang senyum itu tampak sering bertengger di wajahnya. "Bu Tania, kenapa?" Lah ... Anehnya ini orang, ditanya malah bertanya balik. "Apanya yang kenapa? Saya nanya berapa harga nasi nya, Bapak malah tanya saya kenapa, aneh deh!" "Itu nasi, spesial buat Ibu. Gak perlu dibayar, cukup dinikmati." Setelah mengucapkan terimakasih aku berlalu, sembari berbisik, "Baiklah, tapi jangan sering-sering, nanti bikin salah paham." Sebelum meninggalkan ruangan aku melihat raut wajah Prana sekilas. Pria itu mematung, bengong seperti sedang kebingungan. Iya ... Aku tidak mau ada salah paham. Jangan sampai ada rasa yang salah pada hati yang tidak tepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD