Hari Pertama

1125 Words
Seminggu pertama pernikahan kami, setelah tinggal di rumah yang sudah dibeli Abizar, sebelum kami menikah, Abizar bilang bahwa Ibu dan Kak Puspa meminta kami, aku dan Abizar sepakat untuk tinggal di rumah besar keluarga Abizar. Kebetulan, tidak lama lagi bulan puasa tiba, “Kak Puspa dan Ibu, pengen kita tinggal di rumah besar, Tan. Biar puasa pertama kita di sana, sama-sama, mau, ya.” aku hanya mengangguk, setuju dengan permintaan Abizar, toh gak ada salahnya, puasa pertama di rumah mertua. Pasti beda suasananya dari sebelumnya. Hanya saja, karena aku sudah pernah masuk ke kamar Abizar, kamar itu berdekatan dengan dapur, jadi, kalo ada kegiatan masak, baik asap, bau anyir ikan, atau bau masakan, pasti masuk ke dalam kamar, jadi aku mengajukan beberapa permintaan ke Abizar, “Tapi kamarnya siapin AC, terus aku gak mau kamarnya kotor, suka sesak aku, Bi, kalo kamar kotor dan banyak debu. Minta tolong dibereskan dulu, sebelum kita ke sana, ya.” Abizar memenuhi permintaanku. Walaupun sebenarnya ada sedikit kekhawatiran yang aku rasakan, adaptasi lagi, tidak hanya dengan keluarganya, dengan ponakan Abizar, dengan lingkungan di tempatnya tinggal, dan kehamilanku yang belum diketahui keluarganya. Beragam perasaan sekarang jadi campur aduk. Tapi aku yakin Abizar pasti akan melindungiku, jadi bismillah, aku ikut apa katanya. Kan suami memang harusnya ikut apa kata suami. Jadilah, hari ini kami boyongan ke rumah besar keluarga Abizar. Kamar sudah dipasang AC, sudah bersih dan wangi juga. “Sesuai permintaanmu, sayang. Udah bersih, kan, kamarnya. Wangi dan nyaman lagi.” Aku mengangguk dan meng-iya-kan. Nanti subuh adalah sahur pertama, jadi di rumah itu udah seperti mau ada acara pesta, daging lima kilo dibuat rendang, belum lagi sambel goreng ati dan kentang yang ditambah pete, dapur udah seperti produksi katering untuk kasih makan seribu orang. Aku yang kaget keadaan ini, langsung pusing dan mual. Aku melihat ke arah Abizar, ngasih kode ke dia, kalo aku pusing, “Bi …” Abizar menengok ke aku, aku langsung bilang, “Mual.” Rupanya ucapanku terdengar oleh ibunya, “Kamu udah isi, Tan?” aku terkejut, mencoba mencari alasan untuk menutupi ini, tapi Abizar yang sudah menyahuti duluan, “Iya, Bu. Tania sudah isi.” Ibu Abizar menatapku, “Kamu hamil duluan, ya? kok cepet banget hamil?” aku terperanjat, Abizar yang melihat keadaan ini segera mengajakku ke kamar, “Aku antar Tania ke kamar dulu, Bu.” Setelah di dalam kamar, aku ketakutan, bukan karena apa-apa, hanya saja khawatir akan ucapan dan tanggapan buruk keluarga Abizar terhadapku, “Bi, gimana ini?” keluar keringat dingin di tanganku, aku merasakan mual yang luar biasa, “Tenang aja, gak akan kenapa-kenapa. Bilang aja baru beberapa minggu, belum satu minggu kandunganmu.” Aku mengangguk, “Kamu bantuin aku donk, Bi, jangan diam aja. Aku kan takut.” Abizar mengangguk, “Iya, tenang aja. Gimana, sekarang masih mual?” tanya Abizar sambil mengelus perutku. Aku hanya diam, sambil menahan muntah, “Mungkin si adek minta diperhatiin sama papanya, nih.” Kerlingan mata Abizar, sesuatu yang sudah sangat aku hapal, tidak bisa ditolak. Maka dia dengan pelan-pelan, tanpa mau menimbulkan bunyi, mengunci pintu kamar, mendorongku lembut ke ranjang, “Pasti setelah ini, kamu gak akan mual lagi.” Aku hanya bisa menurutinya tidak bisa menolak apalagi membantah. Karena pernah, sekali waktu, aku beneran udah gak sanggup lagi melayaninya, dia ngamuk, membanting telepon hotel hingga rusak, sehingga ketika check out, kami harus membayar kerugian akibat barang yang rusak tersebut, sambil dia bicara ke arahku dengan nada mengancam, “Jangan sekali-kali lagi kamu berani menolakku seperti tadi. Paham?” aku terdiam, mengangguk seperti orang yang terhipnotis. Maka, setelah sekitar setengah jam kami di dalam kamar, pintu kamar kami diketuk, “Hei, masih siang, keluar dulu atuh. Mentang-mentang pengantin baru.” Suara Kak Puspa di depan pintu terdengar seperti sengaja dikeraskan. Abizar yang baru saja selesai menuntaskan hajatnya terhadapku, menyahut, “Iya, sebentar, pake baju dulu.” Aku mencubit pinggang Abizar, “Ih, apaan sih. Malu, tau.” Setelahnya, aku membereskan rambutku dan memakai kembali pakaian yang sudah berhamburan ke penjuru ruang. “Jangan sering ditengokin kalo hamil masih muda, nanti keguguran. Itu hamil beneran setelah nikah atu udah di DP dulu nih, sebelom nikah?” ucap seseorang yang aku tidak kenal, diiringi dengan gelak tawa yang lain. Dia, belakangan aku ketahui sebagai adik sepupu dari ibunya Abizar. Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut, hanya diam, “Nih, kupas petenya. Mual dilawan, jangan manja. Semua, ya. Jangan ada yang tersisa. Jangan sok jijikan gitu.” Kak Puspa datang dengan membawa beberapa ikat pete yang baunya sudah kita tau, sungguh tidak menyenangkan. Seumur hidup pun, aku tidak pernah memakannya, karena di rumah, Ibu dan Bapak juga gak pernah masak apalagi makan ini. Maka dengan terpaksa, sambil menahan mual, aku mengupas dan mengumpulkannya. Sejak pukul setengah delapan pagi kami sampai di rumah ini, dijeda tadi aku menjalankan tugasku sebagai istri melayani Abizar di kamar, sampai hampir mendekati magrib, aku masih duduk di sini, di tempatku, berkutat dengan semua bahan masakan ini. Tidak ada makanan yang bisa masuk ke mulutku, mual, pusing, dan sekarang ditambah mataku berair. Sungguh tersiksa aku berada di kondisi seperti ini. Setengah tujuh malam, Kak Puspa, suaminya, anak-anaknya, dan Ibu memutuskan untuk pergi ke rumah saudara yang lain, “Kita mau nganterin makanan ini ke rumah saudara dulu, ya. Tolong itu bekas-bekasnya dibersihkan, Tan, Bi. Bisa, kan? Sebentar kok itu, kalo emang cekatan dan cepet kerjanya, gak susah.” Aku ditinggalkan di rumah dengan keadaan rumah yang seperti kapal pecah, piring yang numpuk, wajan, dandang, belum lagi sampah yang berserakan. Sepeninggalan mereka, aku menangis, awalnya hanya terisak, tapi lama-kelamaan jadi histeris, “Abizar, aku gak sanggup. Ini kakiku udah sakit banget, bokongku pegel. Dan sekarang aku …” tertahan ucapanku, karena harus lari ke kamar mandi, muntah. Yang tidak ada isinya kecuali air, pahit dan asam rasa mulutku. Abizar memulai untuk membereskan bagian dalam rumah, yang juga acak-acakan ulah keponakan-keponakannya, aku memulai untuk mencuci satu per satu peralatan yang kotor. Sudah hampir jam sembilan malam, rombongan itu belum juga pulang, aku memutuskan untuk mandi, karena dari pagi, belom sempat mandi sama sekali. Setelah mandi, aku rebahan di kamar, sementara Abizar tadi pamit keluar, “Aku ke depan, ya. Itu di rumah Pak Bagus, mereka lagi ada kumpulan juga, buat bagi-bagi jadwal untuk bangunin masyarakat daerah rumah kita ini sahur. Kalo perlu apa-apa, telepon aja.” Aku mengangguk. Sepertinya aku telalu kelelahan, hingga terbangun saat Abizar membuka kamar, dan tangannya bergerak menyusuri inci demi inci tubuhku. Aku tidak menolak, hanya ngomong “Bi, aku lelah banget, gak bisa digerakin ini badannya, kaki juga sakit.” Dia tidak membalas tapi terus melancarkan aksinya, “Diam aja juga gak apa-apa, biar aku yang kerja keras.” Dan begitulah, terjadi lagi, padahal tadi, dia sudah meminta jatahnya, dan sekarang Abizar melakukannya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD