Sehari Semalam Di Neraka

1200 Words
Ketika sahur pertama ini, aku bangun sekitar pukul setengah empat subuh, dan berniat untuk langsung mandi sehabis menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri, semalam. Tapi rupanya, Kak Puspa dan Ibu sudah ada di dapur, “Haduh, siang banget bangunnya. Kalo di rumah kalian berdua aja begini, bisa-bisa anak saya gak sahur, deh.” Begitu ucap Ibu yang ditimpali Kak Puspa, “Gak butuh makan mereka ini mah kayaknya. Cukup gituan aja juga udah kenyang.” Aku terdiam, langsung melihat ke meja makan, apa yang bisa aku bantu. Piring belum siap di sana, lalu Abizar juga tadi minta dibuatkan kopi, “Aku dibuatin kopi aja, Tan. Masih kenyang, semalam habis makan nasi goreng sama bapak-bapak di depan.” Dan ketika aku memasak air, Ibu bertanya, untuk apa, “Ngapain masak air, Tan? Itu termos di meja makan airnya masih panas. Sayang gasnya, bolak balik diidupin.” Aku menjawab bahwa Abizar minta dibuatkan kopi, “Abizar tadi minta dibuatkan kopi, Bu. Dia kan kurang suka kalo kopinya dari air di termos, kurang panas dan kurang mendidih.” Ucapanku disahuti lagi sama Ibu, “Aneh, subuh-subuh suaminya kok dikasih kopi, dikasih makan nasi, sayur, digorengin ayam atau ikan gitu. Gak boleh, Abizar ngopi subuh-subuh gini.” Aku akhirnya nurut aja dengan apa yang diucapkan Ibu lalu mematikan kompor. Ketika aku mau masuk ke kamar mandi, Kak Puspa bertanya kepadaku, “Loh, kamu gak masak apa-apa, Tan, untuk sahur kamu sama Abizar?” aku kaget, kok aku harus masak lagi, bukannya tadi Ibu sama Kak Puspa udah nyiapin masakan dan angetin sayur? Ketika aku masih berkutat dengan pikiranku, Kak Puspa menyambung ucapannya, “Oo … dipikir sayur sama lauk yang tadi aku masak, untuk kalian juga, ya? Tan, kalian emang tinggal di sini, tapi urusan masak sama makan, ya kalian sendiri donk yang mikirin. Masa iya, harus aku dan Ibu lagi yang ngurus makan, minum, dan urusan Abizar, kalo begitu, apa gunanya dia nikahin kamu?” sungguh, hatiku benar-benar sakit juga terkejut dengan ucapan Kak Puspa. Padahal aku lihat tadi, masakan, sayur, dan lauk yang dihidangkan di atas meja banyak banget, kalo hanya untuk aku dan Abizar ya cukup. Tapi karena Kak Puspa sudah ngomong begitu, akhirnya aku bilang ke Kak Puspa, untuk minjem dulu telur dan mi yang ada di lemarinya, “Kalo gitu, aku pinjem telor dua butir dan mi rebusnya satu bungkus, Kak. Besok aku ganti, aku gak tau, kalo ternyata harus masak dan makan sendiri, jadi aku belom belanja.” Dia tertawa, menanggapi perkataanku, “Boleh aja, tapi jangan lupa, itu gantinya telor satu kilo dan mi satu kardus, ya.” aku hanya diam. Bergegas untuk menggoreng telor tersebut dan masak mi. Telornya aku dadar saja, biar cepat. Ketika sudah tinggal setengah jam lagi akan masuk waktu imsak, aku bangunkan Abizar, “Bi, bangun, sahur dulu.” Lama banget ni orang kalo dibangunin tidur, “Bi, bangun. Udah mau subuh. Keburu kamu gak sempet sahur.” Setelah dia melek, aku tinggalin dia keluar. Dan melihat kenyataan bahwa Kak Puspa, kedua anaknya, beserta suami, dan Ibu, sudah selesai makan. Meja makan masih berantakan, ditambah tempat cucian piring sudah penuh dengan piring, gelas, mangkuk, bekas mereka sahur. Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu masuk ke kamar mandi, dan menangis. Setelah selesai mandi, aku keluar, dan melihat Abizar sedang makan telor d**a, mi rebus, dan juga nasi yang tadi aku sediakan. Aku duduk di depannya, hanya membawa segelas air putih, “Kamu gak makan? Puasa gak, besok? Kopiku mana?” aku hanya mengangguk, “Insyaallah, puasa.” Rupanya dia masih belom puas dengan jawabanku, dia masih menuntut aku menjelaskan kemana kopinya, kenapa tidak dibuatkan, “Kopinya mana? Kok gak dibikinin? Terus, ini sahur lauknya gini banget, hanya mi rebus, telor dadar,” aku dengan menekan emosi, agar tidak terdengar kesal dengan ibunya, mencoba menjawab, “Kata Ibu, kamu gak boleh minum kopi subuh-subuh, nanti sakit. Terus kenapa lauknya hanya ini, ya, karena kita kan belum belanja bahan makanan. Karena kata Kak Puspa, lauk dan sayur yang dia masak, itu gak akan dikasih ke kita, kita harus masak sendiri.” Dia diam, tidak menjawab lagi. Setelah minum, aku langsung mencuci semua peralatan makan bekas tadi keluarga ini sahur. Perutku sakit banget, sepertinya karena tadi mondar mandir di dapur, nyiapin piring, gelas, dan bangunin Abizar. Jadi aku duduk sebentar di kursi yang ada di dapur. Ketika sedang menarik napas panjang, mencoba untuk meredakan sakit, Kak Puspa ke dapur, entah ngapain, hanya ngeliat sebentar, lalu pergi lagi. Tidak lama, Ibu yang ke dapur, “Kenapa, Tan?” aku hanya menggeleng, “Gak kenapa-kenapa, Bu. Perutnya agak keram.” Ibu mendengkus pelan, tapi terdengar oleh kupingku, “Manja. Jangan dibiasain dirasa-rasa gitu. Harus kuat, masa hanya bantu masak, cuci piring, sama nyiapin makan untuk suami aja sakit, lemah banget. Untung tinggal di sini, ada yang nemenin, ada yang bangunin, lah, kalo kalian tinggal berdua aja, apa gak si Abizar bisa-bisa gak sahur, gak puasa dia. Jadi istri tuh harus tau tugas, gak boleh lemah, harus kuat. Baru segitu aja udah sakit, inilah, itulah, banyak alasan, gak sesuai sama badan kamu yang gendut itu.” Lalu dia pergi. Hatiku benar-benar sakit. Aku bangkit untuk meneruskan mencuci piring yang masih banyak, dengan air mata yang berlinang. Tidak lama kemudian terdengar azan subuh, aku bergegas menyelesaikan semua, dan berniat untuk ngambil air wudu. Ketika mau masuk ke kamar mandi, Kak Puspa dari depan teriak, “Hei, Tania. Tan, hei, Tania,” Kak Puspa menjerit dari luar, seperti sedang memanggil pembantunya saja, “Ini pintu dikunci, kami mau salat subuh berjamaah, jangan tidur lagi. Teras depan ini disapuin, terus baju yang masih belum kering di jemuran, dibawa ke depan, biar kering.” Aku dengan enggan menjawab, “Iya.” Dan setelahnya terdengar pintu yang dibanting. Ada Abizar di sana, dia hanya diam. Dia tau, dia mendengar apa yang diucapkan kakaknya barusan, tapi diam. Aku yang udah keburu kesal, langsung ke depan, nyapu teras, lalu mengeluarkan jemuran dari garasi, sendirian. Aku tidak jadi salat subuh, setelah membereskan semua itu, aku cuci kaki, dan naik ke ranjang. Kakiku sakit, hatiku teriris, dan kepalaku berat banget. Mencoba memejamkan mata, agar bisa beristirahat. Belum lama mataku terpejam, Abizar sudah membangunkanku, “Tan, aku mau berangkat kerja, baju mana yang buat hari ini?” dengan sangat pelan, aku bangun dari kasur, mencari baju seragam Abizar, lalu memberikan kepadanya, “Ini, Bi. Nanti pulang kerja, beli lah beras, telur, mi rebus, mi goreng, kopi, gula, minyak. Kayaknya harus beli kulkas juga, tarok di kamar.” Abizar tidak menyahut, “Bi, dengerin aku, gak, sih.” Akhirnya dia menyahut, “Iya, denger. Gak usah beli kulkas, lah. Sayang duitnya, kamu belanja aja tiap hari ke warung sayur depan. Hemat, kan kita harus nabung juga.” Aku diam, tidak membalas ucapannya. Dia berangkat ke kantor tanpa pamit kepadaku. Aku kesal, sedih, baru sehari semalam aku di rumah ini, sudah seperti neraka saja keadaannya. Ketika aku sedang membereskan baju, terdengar teriakan Kak Puspa dari luar, “Hei, Tania. Keluar, jam segini masih di kamar aja, nelor, kamu? Ini loh, masak, jangan di kamar aja.” Aku membatin, ngapain aku bantuin masak, toh yang aku masak itu bukan untukku. Tapi, mau gak mau, aku akhirnya menjawab, “Iya,” dan keluar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD