The Wedding Day

1210 Words
Besok adalah harinya. Hari di mana Abizar akan mengucapkan ijab, janji sehidup semati untuk menjagaku, menafkahiku lahir dan batin, menjalankan rumah tangga sesuai dengan tuntunan agama, yah, walaupun kami memulai semua ini dengan salah, tapi dengan menikah, semoga saja Allah mengampuni kesalahan dan kekhilafan kami berdua. Aku tidak bisa tidur, sejak semalam. Dadaku deg-degan, belum lagi aku masih ngecek sendiri semua persiapan yang diadakan. Besok, ijab qobul akan diadakan di rumah ini, setelah selesai, maksimal pukul sepuluh pagi, aku dan Abizar akan berangkat langsung ke hotel, untuk mulai make up dan melakukan persiapan resepsi di siang harinya. Intensitas dan sensitifitasku meningkat. Ada yang salah ngomong sedikit, aku jawab, ada yang tidak sesuai sedikit, aku marah, sampai Ibu menegurku, “Tan, calon pengantin, gak boleh ngomong yang kasar dan jelek-jelek gitu, pamali. Banyakin istighfar aja Tan, mendingan kamu di kamar, gih. Sebentar lagi yang mau masang pacar datang, mendingan kamu ambil air wudu dulu, biasakan berwudu kalo sudah batal, biar tetap dalam keadaan suci. Biar semuanya lancar, banyak berdoa.” Aku hanya mengganggu dan menuruti ucapan Ibu. Aku tidak bisa menghubungi Abizar, karena kami, aku dan dia berjanji untuk tidak saling menghubungi selama tiga hari ini, “Biar kita kangen, jadi nanti waktu ketemu, tetep merasakan deg-degan sebagai penganti baru, meskipun gak baru-baru banget, ya, Tan.” Dia mengerling ke arahku. Aku mengangguk, setuju. Aku tersenyum demi mengingat kejadian itu, aku dibuatnya benar-benar jatuh cinta, tidak hanya pada perlakuannya, sikap manisnya, tapi juga yang sudah dia lakukan, yang sudah kami lakukan, walaupun belum halal, hal tersebut selalu teringat, kadang membuatku lebih banyak tidak fokus mengerjakan apa pun. * “Iring-iringan pengantin udah di depan, Bapak dan Ibu, silakan berdiri di depan pintu, menyambut keluarga besar Abizar, diikuti dengan Pakde dan Bude Tania, ya, untuk menerima bawaan dari keluarga calon besan.” Begitu pembawa acara mengumumkan, perutku langsung mules, berasa mual, aku mengelus perutku, sambil bilang di dalam hati, “Tenang ya, Nak. Sebentar lagi kamu bisa bebas mau ngapain aja,” lantas aku terkejut ketika tukang riasku ngomong, “Udah berapa bulan?” sambil berbisik. Aku terkejut, kok dia bisa tau, atau hanya menebak, “Apanya yang berapa bulan, Mbak? Kenalan sama Abizar atau mempersiapkan pernikahan ini?” begitu jawabanku, untuk mengelak dari tatapan dan pertanyaan aneh yang merias. Dia tersenyum, aku mengerti, arah pertanyaannya, tapi aku tidak mau ada orang yang tau. “Itu, hamilnya udah berapa bulan?” aku melotot, di satu sisi kaget, di sisi lain takjub, kok dia bisa tau. “Kok hamil, nikah aja barusan ini, Mbak. Ngaco sih, Mbak.” Sungutku, lalu diam dan cemberut, menunjukkan wajah tidak suka. Tidak suka karena dia main tebak gitu, ya, meskipun benar, tapi tidak seharusnya dia ngomong gitu. Kan kesannya kepo dan pengen ngurus urusan orang. Aku mencoba mendengarkan dengan seteliti mungkin, acara yang sedang berlangsung di luar, karena aku tidak boleh hadir di sana, satu meja dengan Abizar sebelum kata sah terdengar. Pembawa acara membuka acara dengan resmi, lalu lantunan ayat quran terdengar. Dan tiba saat yang dinanti, semoga Abizar berhasil mengucapkan kalimat ijab qobulnya dalam satu tarikan napas, tepat, dan tidak salah menyebutkan namaku, karena katanya, kalo ada kata atau kalimat yang salah, ijab qobul akan diulang, maksimal sampai tiga kali, jika lebih, entah apa yang terjadi, menurut orang-orang, kalo sampai lebih dati tiga kali salah, rumah tangganya akan bermasalah, calon pengantin harus meminta maaf ke orang tua, dan masih banyak lagi deh, omongan-omongan orang berkenaan dengan ijab qobul ini. “Saya terima nikah dan kawinnya Tania …” suara Abizar terdengar dan tidak lama terdengar, suara petugas KUA yang bertanya, “Bagaimana, saksi, sah?” lalu diiringi dengan suara sah yang membahana. Lega, lewat sudah apa yang ditakutkan. Dan perias pengantinku, membetulkan make up-ku sedikit, lalu aku dijemput Ibu dan ibunya Abizar ke kamar, “Tan, ayok, keluar. Udah sah, Nak.” Ada binar haru di mata Ibu. Tidak dengan ibunya Abizar, wajahnya kaku, seperti tegang. Orang lain yang melihatnya, mungkin berpendapat bahwa dia tegang menghadapi acara ijab qobul, tapi aku pribadi yang melihat, terpeta jelas di wajahnya bahwa dia masih kurang suka denganku. Terserah, deh, yang penting anaknya sekarang udah sah jadi suamiku. Setelah diiringi Ibu dan ibunya Abizar keluar, aku dibawa untuk duduk di sebelah Abizar. Kami mendengarkan nasihat pernikahan, lalu ada prosesi sungkem, juga saling suap. Bahagia, akhirnya aku bisa menjalani dan merasakan juga prosesi ini. Wajah Abizar juga tidak lepas dari senyum, “Sah juga, Tan. Siap-siap, ya, nanti malam.” Begitu bisik Abizar di telingaku, aku mencubitnya pelan, “Sstt … nanti didengar orang, malu.” Dia mengerling ke arahku. Setelah melakukan prosesi ini dan itu, aku, Abizar, beserta tim make up, Bapak, Ibu, dan keluarga Abizar, langsung menuju ke gedung tempat resepsi diadakan. Di sana aku kembali ganti baju, lalu di make up ulang sesuai dengan tema baju pengantin. Sementara, Abizar, yang sudah sah jadi suamiku, sedang rebahan di kasur, “Kepalaku sakit, aku rebahan sebentar, ya. Make up aku kan gak seribet kamu, Tan, gak perlu lama dan tebal.” Akhirnya tukang make up mengalah dan memfokuskan pekerjaan semua ke aku, Ibu, Bapak, dan keluarga aku juga keluarga Abizar, karena semua panitia yang dari anggta keluarga juga dari sahabat aku dan Abizar, sebagian besar di make up juga sama tim make up ini. Setelah aku selesai di make up, Abizar baru bangun, ternyata dia beneran tidur, ya ampun. Setelah dibangunkan beberapa kali, akhirnya Abizar bangun juga lalu, sekitar setengah dua belas siang, kami mulai bersiap untuk memasuki ruangan resepsi, ketika pembawa acara mempersilahkan kami masuk, diiringi Bapak dan Ibu dari pihakku, dan ibunya Abizar beserta kakaknya, para tamu mengiringi kami dengan senyum yang merekah, se-merekah itu juga hatiku dan Abizar tentunya. Ketika sampai di pelaminan, perutku bunyi, “Bi, aku lapar.” Dia ketawa, “Dasar bumil. Sabar sebentar sayang.” Aku hanya mengangguk, tersipu, dia memanggilku bumil, aku merasa diakui sebagai istrinya, anak di dalam kandungan ini diakuinya sebagai anaknya, betapa hari ini menjadi hari paling bahagia untukku, seakan dunia hanya milik aku dan Abizar, serasa semua yang hadir hari ini ikut berbahagia atas apa yang kami rasakan. Ketika para tamu sudah mulai menyantap hidangan makan siang, aku memanggil Dede, yang kebetulan memang selalu ada di depanku, karena tadi aku berpesan padanya, “Jangan hilang dari pandanganku, ya. Aku butuh kamu, De. Bantu aku, ya.” aku bilang ke dia, “Aku laper. Laper banget, minta tolong ambilin makan, boleh? Lauknya aja, yang pedes, gak usah pake nasi.” dia mengangguk, “Boleh, sebentar aku ambilkan, Abizar mau makan juga?” Abizar menggeleng, “Gak usah, untuk Tania aja. Makasih, ya, De.” Lalu dia bergegas turun, dan sekitar sepuluh menit kemudian naik ke panggung dengan membawa fillet ikan saos padang, dengan cah brokoli yang ada jamur tiram juga bakso dan sosis di dalamnya, serta acar timun, wortel, dan cabe rawit. Aku menyambut sepiring kebahagiaan itu dengan gegap gempita, “Kita makan, ya, Nak.” Aku bicara begitu di dalam hati, sambil mengelus perutku. Dede mengernyitkan dahinya dan berbisik kepadaku, “Tan, kamu hamil?” aku hanya senyum, tidak menjawab tidak, tapi tidak juga meng-iya-kan, dan aku melihat dia menggeleng-gelengkan kepalanya keheranan. Aku tidak perduli dengan omongan atau pendapat mereka, toh sekarang aku udah sah jadi istri Abizar, meskipun ya, emang sih, nyolong start dengan hamil duluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD