Tidak Perlu Cantik Cukup Menggatal Saja Untuk Jadi Pelakor

1310 Words
Ini hari ketiga aku tinggal di rumah besar, entah kenapa Sofia itu pagi-pagi sudah ada di rumah ini. Aku yang rencananya hari ini mau pulang dulu, untuk membereskan rumah dan sekedar istirahat sebentar, jadi sepagi ini, sekitar pukul setengah enam sudah nangkring di warung sayur. Ketika di ruang tamu, aku melihat Sofia sedang ngobrol dengan Kak Puspa, ketika aku melintas di ruang tamu, senyap, Kak Puspa dan Sofia tidak saling bicara, padahal sebelumnya aku mendengar mereka berisik sekali. “Mau kemana, Tan, pagi-pagi udah mau ngelayap aja. Bukannya beberes rumah, nyuci baju, atau apa gitu.” Kak Puspa menyapaku dengan kata-kata yang tidak menyenangkan tapi seperti sudah jadi sarapan dan makanan sehari-hari untukku, dengan wajah datar, aku menengok ke arah Kak Puspa, dan menjawab ucapannya, “Mau ke warung sayur dulu, aku harus masak pagi-pagi, karena mau pulang dulu sebentar mau beresin rumah. Lagian, saya sih pagi-pagi bukan ngelayap, ya, memang tujuannya mau ke warung sayur, daripada pagi-pagi udah ngelayap ke rumah orang, gak jelas lagi apa tujuannya.” Tatapanku kuarahkan ke Sofia. Dia tidak berani melihatku, tetapi wajahnya menunduk, malu, mungkin, karena ucapanku tepat sasaran. Rupanya tidak senang dengan jawaban sengitku, Kak Puspa menanggapi perkataanku dengan sesuatu yang akhirnya membuatku berpikir, “Lah, Sofia pagi-pagi ke sini sih tujuannya jelas banget, ada sesuatu yang istimewa yang akan terjadi di rumah ini, dan Sofia adalah salah satu bagian dari hal istimewa tersebut.” Tidak mau memperpanjang urusan dengan perempuan satu ini, aku langsung pergi saja keluar. Warung sayur bude ini memang sudah mulai ramai sejak setelah salat subuh tadi, perempuan-perempuan dan ibu rumah tangga yang memiliki anak kecil atau suami, sengaja belanja subuh selain karena sayur-sayurannya memang masih segar, pilihan sayuran dan lauknya juga masih banyak, jadi para istri ini bisa memasakkan bekal untuk suami dan anak-anak mereka sekaligus untuk sarapan. Aku yang memang baru pertama ke warung ini se-subuh ini, mungkin jadi sorotan beberapa tetangga, termasuk Ibu Danang, tetangga sebelah rumah, “Eh, Bu Abizar, belanja sayur, Bu?” aku tersenyum, dalam hati menjawab, gak, aku bukan belanja sayur, aku mau cari keributan di sini. Tapi tentu tidak donk, jawaban yang keluar dari mulutku bukan itu, “Iya, Bu Danang.” Sambil memilih beberapa sayur, tahu dan tempe, juga ada udang. Rencananya aku akan masak udang sambel goreng kentang untuk Abizar, dia suka sekali sama masakan ini. Ketika sedang memilih-milih sayuran yang lain, tiba-tiba Bu Danang ngomong, “Itu si Sofia, beberapa hari ini sering banget mampir ke rumahnya, ya, Bu Abizar, barusan ini juga, setelah salat subuh lalu saya keluar, saya mendlihat Sofia dan Mbak Puspa sudah ngobrol, lagi ada bisnis, ya, Mbak, suaminya Mbak Tania sama Sofia?” aku diam, mencoba mencari jawaban agar tidak jadi blunder dan akhirnya malah membuat orang-orang di warung sayur ini pulang dengan membawa berita yang lebih seru untuk digunjingkan, “Sofia-nya sih hanya teman, Bu, kalo ke Mas Abizar. Tapi sepertinya memang sedang ada urusan sama Kak Puspa.” Tidak ada lagi obrolan, karena Bu Danang dan beberapa ibu-ibu lain yang tadi ada di sini, walaupun tidak ikut nimbrung, tapi aku tau, mereka mendengarkan dengan seksama obrolanku dengan Bu Danang, kembali sibuk memilih sayuran dan menuntaskan acara belanja mereka. Karena memang antrian agak banyak, untuk membayar sayuran dan belanjaanku ini, sekitar tiga orang di depanku yang masih antri membayar, membuatku memikirkan kembali kata-kata Kak Puspa tadi, acara istimewa, acara istimewa apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan, apakah ini ada hubungannya dengan Abizar? Atau ehm … Sofia dijodohkan dengan Abizar? Pikiran itu secara otomatis membuatku langsung menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba untuk mengusirnya, “Ih, kenapa aku, sih, punya pikiran seperti itu, astagfirullah,” lalu bude yang jualan sayur memanggilku, “Mbak Tania, udah belum belanjanya, udah mau dihitung?” aku mengangguk, “Iya, Bude.” Setelah menjumlah semua totalan belanjaanku, aku menyerahkan uang seratus ribuan, dan ketika bude ini menyerahkan uang kembalian, dia ngomong, “Suaminya dijaga, Mbak. Hati-hati, perempuan muda sekarang ini marak kasusnya mereka ngerebut suami orang.” Aku yang sebenarnya gak paham dengan ucapan bude ini, tapi entah kenapa ucapannya seperti memperkuat dugaanku akan hubungan Abizar dan Sofia. Ketika sampai di rumah dan masuk ke dalam, di ruang tamu Abizar dan Sofia sudah duduk bersebelahan, cekakak cekikik, dan terlihat adegan Sofia sedang menyuapi Abizar, aku risih, mereka ini bukan mahrom, hanya kenalan sebagai teman sekolah dulu, dan Abizar juga sudah punya istri. Karena hal tersebut juga, akhirnya aku tarok belanjaanku, dan berjalan ke arah mereka berdua, lalu duduk di antara keduanya, “Misi-misi, yap, saya duduk di sini, ya. Oiya, Sofia, sebenarnya say tuh dari kemarin penasaran, kamu ke sini, ngurusin suami saya, ngecek keadaannya, terus sekarang nyuapin dia makan, sebenarnya dia ini sakit karena digebukin orang atau mengarah ke kelumpuhan total di tubuhnya? Apakah ada potensi dia lumpuh, Sofia, karena dipukulin orang kemarin?” Abizar terksesiap, Sofia juga seperti kaget dengan pertanyaanku, “Kamu apaan, sih, Tan. Kok nanya gitu, seolah ngedoain aku lumpuh, ngaco.” Aku tidak menjawab ucapan Abizar, aku melihat Sofia dan menatapnya, sambil menunggu jawaban dia atas pertanyaanku tadi, “Gimana, Sofia, apakah suami saya memang berpotensi lumpuh?” dia menggeleng, “Enggak, Mbak. Mas Abi sudah semakin membaik keadaannya.” Aku mengangguk, "Sepakat. Berarti sekarang ini suami saya, Mas Abizar ini sudah semakin membaik, ya, keadaannya, jadi menurut saya, kamu, perempuan yang bukan mahrom Maz Abizar, sebaiknya tidak perlu terlalu sering datang ke sini, apalagi seperti tadi, pagi-pagi buta sudah nangkring di rumah orang …” ucapanku diselang Abizar, “Kok pake bahasa nangkring gitu, sih, Tan, gak sopan.” Aku tidak menanggapinya, “Pagi-pagi sudah nangkring di rumah orang, berdua-duaan sama suami orang, apalagi sampe suap-suapan, itu menurutmu etis atau gak?” aku bertanya lagi ke Sofia, dia diam, menunduk, “Menurut kamu, etis, gak, Sofia? Dijawab loh, saya nanya, tadi cekakak cekikik sama suami saya, giliran saya nanya, kamu diam. Tadi tuh lancar banget ngobrol sama suami saya.” Aku mencecar dia dengan bertanya terus. Sofia menggeleng, “Good, now you get the point, right?” dia menatapku, “Maksudnya, Mbak?” aku mengibaskan tanganku di wajahnya, “Lah, gak tau toh, artinya. Maksud saya, karena suami saya gak ada potensi lumpuh, sekarang kamu tau, kan, kalo kelakuan kamu ini gak wajar. Udah kelewat batas. Atau …” aku menatapnya lekat, “Atau apa, Mbak?” tanya Sofia, “Atau kamu memang sudah biasa, bebas dan sedekat ini dengan lelaki mana saja, mungkin ini wajar menurutmu, dekat-dekat dan berinteraksi seperti ini dengan banyak lelaki?” Sofia, perempuan ini tidak menjawab, hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya, lalu terdengar isak, dia menangis. Abizar yang mendengar Sofia menangis, menarik tanganku, “Tania, kamu itu sudah benar-benar keterlaluan. Sofia di sini kan tujuannya memang untuk memeriksa luka-luka di tubuhku, memastikan keadaanku sudah membaik.” Aku menepis tangan Abizar, tidak menggubrisnya, lalu meneruskan ucapanku ke Sofia, “Jadi, sesuai dengan ucapanmu tadi, bahwa hal ini tidak normal, kan, dan kamu juga sudah mengakui itu. Pastikan, mulai sekarang kamu tidak usah sering-sering ke sini, dan sekarang kamu bisa pergi.” Aku berdiri, berjalan ke arah pintu, mempersilakan Sofia keluar, “Ini pintunya, silakan.” Dengan enggan, dia melihat ke arah Abizar, seperti meminta persetujuan, “Loh, nunggu apa? Masih ada pemeriksaan yang harus diselesaikan?” terlihat Abizar mengangguk kecil, seperti tidak ingin terlihat olehku, baru Sofia ini bangun berdiri dan keluar lalu menghilang setelah keluar pagar. Setelah Sofia tidak terlihat lagi batang hidungnya, Abizar langsung mengkonfrontasi aku, “Kamu gak seharusnya begitu ke Sofia, maksud dia kan baik, Tan. Dia hanya mau memeriksa keadaanku.” Aku menatap tajam Abizar, “Memeriksa keadaanmu atau memeriksa hati kalian, mungkin, perasaan kalian yang lama masih ada, kalian masih saling mencintai, apakah itu yang harus diperiksa, Bi? Karena kalo aku lihat-lihat, semua anggota tubuhmu sehat-sehat aja, hanya tinggal lebam sedikit di beberapa bagian, kecuali hatimu, mungkin, yang masih butuh diobati, sama Sofia?” Abizar hanya menjawab, “Ngaco kamu, Tan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD