Curigesyen

1060 Words
Hari kedua kami menginap di rumah besar, dua hari itu juga aku harus dua kali masak untuk makan aku dan Abizar, masak untuk keluarga Kak Puspa, dan juga masak pesanan dimsumku. Aku gak bisa memberhentikan pesanan dan menolak orderan, karena itu adalah sumber pemasukan aku sekarang. Kalo istirahat satu atau dua hari, nanti mereka yang sudah jadi langganan malah pergi cari tempat dagang dimsum lain, padahal tidak mudah untuk mencari langganan. Dan dua hari itu juga, Sofia, yang katanya teman SMA Abizar bolak balik, alasannya mau ngecek luka-luka Abizar. Padahal untuk ukuran luka, sebenarnya luka Abizar hanya memar saja, tidak ada luka dalam berupa sayatan, atau sesuatu yang harus dicek dan diperiksa setiap hari. Dan hari ini, Sofia ini datang lagi. Aku yang mau belanja ke warung hanya senyum ke dia, melanjutkan langkahku ke warung. Ketika sampai di warung sayur, bude yang punya warung nanya-nanya gitu, ngajak ngobrol, tapi buatku obrolannya lebih ke kepo dengan urusan rumah tangga orang, “Neng, pindah ke sini lagi?” aku hanya senyum, mencoba menjawab pendek “Nginep aja, Bude, beberapa hari.” Untuk menghindari pertanyaan yang lebih panjang lagi. Rupanya dia masih saja ngajak ngobrol, aku melayani sekedarnya saja. Dan ketika aku sudah selesai belanja, mau bayar belanjaanku, ketika dia memberikan uang kembalian dari belanjaanku, bude ini ngomong, “Neng, itu Sofia beberapa hari ini lagi sering bolak balik ke rumah? Hati-hati, loh, nanti mereka CLBK, cinta lama belom kelar. Karena mereka itu jaman sekolah, ada hubungan, pacaran gitu. Putusnya karena si Sofia nerusin sekolah ke Jogja, kalo enggak mah mungkin yang jadi istrinya Abi bukan si eneng, tapi si Sofia.” Deg, hatiku mencelos. Rupanya Abizar dan Sofia pernah ada hubungan, rupanya Sofia adalah mantan pacarnya Abizar, tapi kemudian aku berpikir, masa iya sih aku harus percaya sama omongan orang. Aku gak bisa kan, serta merta nanya ke Abizar hanya karena dapat informasi yang belum tentu betul dari orang luar. Ah, sudahlah, selama kelakuan dan tindakan Abizar juga Sofia tidak macam-macam, biar saja. Sesampainya di rumah, rupanya Sofia belum juga pulang, begitu masuk ke ruang tamu, secara sengaja aku tanya ke Sofia, “Eh, belom pulang? Emang luka suami saya parah banget, ya, Mbak, harus diperiksa setiap hari?” wajah Sofia tiba-tiba mendadak berubah gak enak, “Iya, Mbak, harus dicek secara rutin, takut ada luka dalam.” Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam untuk membereskan belanjaanku. Ketika sedang memotong bawang-bawang dan cabe, aku mendengar Kak Puspa dari depan ketawa besar banget, diikuti dengan tawa yang seperti dibuat-buat dari Sofia, “Ah, gak lah, Mbak. Kan Abi udah punya istri, gak mungkinlah aku berani.” Omongan itu terdengar sampai ke kupingku. Aku yang penasaran, mencoba untuk lebih dekat ke ruang tamu, agar bisa menguping pembicaraan mereka, “Loh, sunahnya kan empat istri. Kalo hanya nambah satu mah gak apa-apa. Nanti kamu yang tinggal di sini bantuin Mbak dan ngurus Abi. Istri pertamanya biar dicarikan aja nanti kontrakan sepetak, yang penting kewajiban Abi untuk memberikan nafkah, adil dan merata, gimana?” aku sedang berpikir keras, mereka ini lagi ngomongin apa sih, sunah beristri empat? Apa maksdunya Sofia mau dinikahkan dengan Abizar? Aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu, kembali ke dapur. Aku gak mau lebih sakit hati, aku menganggap ucapan dari obrolan mereka hanya sebatas candaan dan gurauan saja. Aku fokus untuk memasak makan siang hari ini, lalu membuat adonan dimsum pesanan langgananku, sekalian menyiapkan bumbu untuk masak makanan nanti malam, karena di rumah ini dalam satu hari masak itu tiga kali, karena menu sarapan, menu makan siang, menu makan malam berbeda, belum lagi kalo sore suka aja bikin makanan untuk kudapan sore. Dapur di rumah ini tidak pernah berhenti ngebul kecuali malam hari ketika semua orang sudah tidur. Setelah selesai membungkus pesanan dimsumku, aku pamit ke Abizar untuk keluar sebentar nganterin pesanan itu, hari ini rutenya agak jauh-jauh, jadi aku butuh waktu lumayan lama untuk keluar, “Bi, aku izin keluar, ya, mau nganterin dimsum pesanan pelanggan. Kayaknya agak lama, soalnya ada enam tempat yang mau aku tuju dan arahnya beda-beda. Aku pake motor, ya.” Abizar hanya mengangguk, “Jangan lupa bensinnya diisi lagi yang penuh.” Aku mengangguk dan melajukan motorku ke alamat pengantaran yang pertama. Keluar tadi habis zuhur sekitar pukul setengah dua siang, lalu sekarang sudah hampir magrib aku sampai di rumah dengan keadaan rumah gelap gulita, tidak ada tanda kehidupan. Beberapa kali aku mencoba untuk menelepon Abizar, tidak ada jawaban, lalu ke nomornya Kak Puspa, beberapa kali dering baru dijawab, “Kak, rumah kosong? Lagi pada kemana?” Kak Puspa hanya menjawab, “Iya, kami lagi keluar. Paling setengah jam lagi pulang, tunggu aja.” Aku menanyakan kunci rumah ada di mana, biar aku bisa masuk, karena sebentar lagi hujan, langit sudah gelap banget, “Kunci rumah ditarok di mana, Kak, biar aku bisa masuk.” Tidak ada jawaban, tapi terdengar suara ramai yang melatarbelakangi panggilan teleponku dengan Kak Puspa, dan terdengar suara yang tidak asing, “Abi, ini aja yang bagus, ya. Cocok di jariku.” Lalu seketika telepon terputus. Tidak lama kemudian pesan dari Kak Puspa masuk, “Kunci saya bawa, tunggu aja dulu di teras.” Sungguh keterlaluan mereka ini. Setengah jam itu lama, dalam keadaan lampu teras yang gak dihidupkan, sebentar lagi magrib, dan sekarang sudah hujan. Handphoneku juga sudah lowbat. Benar-benar nikmat. Lima belas hingga setengah jam aku menunggu mereka pulang, azan magrib sudah berkumandang jauh, tapi belum ada tanda-tanda mereka sampai di rumah. Ketika aku hampir menangis, terdengar bunyi deru mobil mendekat, aku tau ini suara mobil Kak Puspa. Dan benar saja, akhirnya mereka sampai, gerbang dibuka sama anak lelaki Kak Puspa yang turun duluan, lalu ketika mobil masuk, satu persatu penumpang turun, Kak Puspa, Celine, ada wanita tua, aku gak tau siapa, terakhir yang keluar adalah Sofia, iya, Sofia, ngapain perempuan itu ikut di mobil ini. “Kami langsung pulang ya, Puspa. Besok kita ke sini lagi.” Perempuan tua tadi pamit pulang ke Kak Puspa diikuti Sofia yang tidak menyapaku sama sekali. Kak Puspa menyalami dan mencium pipi kiri dan kanan perempuan tua itu, lalu bilang ke Sofia, “Cie, calon pengantin mah beda ya, auranya.” Aku mau berpikir positif tentang apa yang sedang terjadi di depanku, tapi setan lebih bisa menguasai isi kepalaku, aku curiga, apa benar akhirnya Abizar akan menikah dengan Sofia dan aku harus menerima kalo Abizar menikah lagi? Ini benar-benar di luar nalarku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD