Ada Apa-apa

1065 Words
Sekitar pukul setengah lima sore, handphone-ku berbunyi, yak, betul sekali, itu telepon dari Rangga yang sudah sejak pukul dua siang tadi gak berehenti kirim pesan, “Ingat, setengah lima aku jemput.” Sepuluh menit kemudian ada pesan masuk lagi dari dia, “Tan, ingat, loh, ya, hari ini jangan lembur.” Setiap sepuluh menit berikutnya dia mengirim pesan yang bunyinya hampir sama, aku dibuatnya jengkel dan akhirnya hanya bisa tertawa, ya sudah, mau diapain lagi, Rangga memang se-ngotot itu kalo mau sesuatu. Setelah selesai membereskan semua pekerjaan, mematikan laptopku, lalu bergegas ke toilet sekedar untuk membersihkan wajah, mencucinya biat terlihat segar, lalu menyemprotkan sedikit bodymist yang segar, karena setelah ini pasti bakal mampir ke beberapa tempat, rencana kami hari ini adalah nonton, makan, lalu nonton lagi, lalu nonton lagi, “Aku sudah pesan tiket untuk kita marathon nonton hari ini, aku gak mau ada yang ganggu.” Begitu pesan Ranggan, aku ya setuju aja sama rencananya, karena memang sudah meniatkan hati, hari ini adalah hari khusus untuk jalan sama Rangga. Ketika aku keluar dari toilet, sekilas aku melihat bayangan yang mirip Prana masuk ke toilet pria, dalam hati bertanya, itu Prana atau bukan, tapi aku gak mau ambil pusing, bergegas pergi dari situ, daripada harus ketemu sama Prana, dan ditanya macam-macam, belom lagi sindiran-sindiran halusnya yang tajam, bakal bikin moodku rusak, jadi aku secepat kilat berjalan kembali ke ruangan, dan mengambil tasku. Saat hampir sedikit lagi mencapai lift, Prana ternyata ada di sebelahku, “Yang mau ngedate mah beda banget, gak mau lembur, gak negur lagi, gak ngajak-ngajak, ya.” aku hanya diam, ini Prana sedang dalam mode cemburu, sepertinya. Aku hanya melhat ke arah lift. “Sebenarnya, kamu nolak aku karena Rangga, ya, Tan? Kamu masih menunggu dia, cinta pertama kamu, atau kamu masih belom bisa move on dari mantan suamimu. Atau kedua alasan itu kamu utarakan hanya untuk menolakku secara halus. Kemarin, aku ngajak kamu keluar, kamu gak pernah mau, saat aku mengutarakan perasaanku gak kamu jawab dengan alasan kamu masih trauma, kamu takut kalo aku dan keluargaku gak bisa nerima kamu. Tapi sekarang, begitu Rangga datang, seolah-olah semua ucapanmu kemarin kepadaku terhapus begitu saja.” Prana tiba-tiba menghadangku untuk masuk ke dalam lift dan bertanya seperti itu. Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak terpancing emosiku, “Yang pertama, Rangga itu hanya teman yang datang dari masa lalu, aku gak pernah pacaran atau punya perasaan sama dia. Yang kedua, alasan aku kemarin tidak bisa menerimamu, memang benar selain aku masih trauma, aku juga merasa bahwa aku ini gak pantas untukmu, Prana. Sudah beberapa kali juga, kan aku bilang, cari perempuan lain, cari orang lain,” Prana menatapku, “Dan sudah berulang kali juga aku bilang ke kamu, Tania, aku gak perduli dengan masa lalumu, dengan tubuhmu, dengan keajaiban yang ada pada sikapmu, aku bisa menerima itu semua.” Aku menggelengkan kepala, se-desperate itu untuk menjelaskan ke Prana, se-bingung itu mencoba menjelaskan ke dia “Prana, aku tuh gak pantes buat kamu, gak pantes. Masalahnya itu bukan kamu, bukan Rangga, bukan sikapmu, bukan karena Rangga teman masa laluku, tapi karena aku, karena aku Tania, perempuan yang tidak sempurna, yang jauh dari sempurna.” Prana menatapku tajam, “Tapi kamu mau menerima ajakan Rangga untuk keluar, untuk makan, untuk nonton. Sementara, aku sekedar ingin mengantarmu pulang saja kamu tolak, kemarin, waktu kita ketemu di mall itu, aku sudah manggil-manggil kamu tapi kamu malah lari, pergi, dan menghindar karena mau mengabaikanku.” Aku menantang tatapan mata Prana, “KARENA KETIKA DI MALL ITU, AKU TAU KAMU SAMA BANUN!” ucapku berteriak di depan wajah Prana. Mungkin dia terkejut dengan apa yang aku lakukan, kali ini dia menyerah, menurunkan tangannya dari menghalangiku masuk ke dalam lift, dan ketika lift sekali lagi terbuka, aku buru-buru masuk, meninggalkan Prana dalam wajah yang penuh tanda tanya dan diliputi kebingungan. Setelah sampai di lobi depan, Rangga sudah menungguku di parkiran yang tidak jauh jaraknya dari pintu masuk, aku melambaikan tangan ke arahnya, lalu mobilnya maju ke depan lobi, “Rame banget, ya, Tan, kalo jam pulang gini. Tadi aku sempet tertahan, loh, di depan. Tanda dan tulisan pintu keluar masuk udah gak guna lagi.” Aku mengangguk, “Karyawan kantornya aja ada sekitar lima puluh orang, karyawan di bagian produksi ada dua ratusan, lah, belom lagi mobil bos-bos yang antri dan gak mau ngalah minta didahulukan. Tapi itu tadi maksudnya gimana, tanda dan tulisan pintu keluar dan pintu masuk udah gak guna?” Rangga menjelaskan, “Iya, tadi aku masuk ke sini lewat pintu keluar, sementara yang mau keluar pada lewat pintu masuk, petugas parkir di depan sampe kewalahan ngatur lalu lintas, lalu lintas orang, lalu lintas motor, lalu lintas mobil.” Dia menggelengkan kepala, aku menyahuti kembali ucapannya, “Itu sih belom seberapa, bakal lebih kacau lagi kalo bahan kayu datang, mobil truk pengangkut yang gede-gede itu ngehalangin kami yang pake mobil-mobil kecil ini mau keluar, belom lagi motor yang udah terkenal gak mau ngalah. Jadilah, sering banget kalo udah begitu, yang tadinya keluar kantor, sudah absen pulang teng setengah lima, harus rela kejebak macet dan ngantri di depan pintu keluar.” Rangga tertawa, “Kenapa gak dikasih jalur sendiri, sih, Tan, kalo kendaraan proyek yang angkut barang-barang gitu?” aku menggeleng, “Ya, kurang paham, ya, Ga. Aku kan hanya pegawai finance, bukan CEO apalagi pemilik perusahaan, jadi gak punya wewenang apa pun untuk ngatur hal-hal yang begitu. Kerjaanku aja udah banyak, bejibun, gak mau lagi aku ngurus hal-hal yang bukan tanggung jawabku, yang bukan job desc pekerjaanku, tengkyu deh.” Kami berdua tertawa. Lagi fokus mencari jalan agar bisa keluar dari kerumunan ini, tiba-tiba kaca mobil persis di sebelahku diketok, aku kaget, lalu menengok, dan aku lihat Prana, yang ngetok-ngetok kaca. Rangga yang keheranan, menyuruhku membuka kaca, “Tan, itu Pak Prana, kan. Dibuka atuh kacanya, tanya dia kenapa, mungkin butuh bantuan.” Seketika aku tersadar, lalu cepat-cepat membuka kaca mobil sementara mobil Rangga dihentikan lajunya, “Kenapa, Pak?” tanyaku heran. Dia tersenyum, “Bu Tania, Pak Rangga, ehm … ini, aduh, gimana ya, saya ngomongnya. Mobil saya bannya kempes, daritadi berusaha cari taksi online tapi ditolak terus. Kalo boleh saya ikut mobilnya sampai di pertigaan depan aja, mungkin, Pak?” tanpa bertanya, tanpa berpikir, Rangga langsung mengangguk, “Ya boleh banget, donk. Masuk aja, Pak.” Aku mengehela napas, entah kenapa, sepertinya ada sesuatu yang sedang direncanakan oleh Prana. Kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD