Penjelasan Prana

1075 Words
“Yang pertama, bubur ayam tadi pagi itu gak ada hubungannya sama Banun. Aku sebenarnya mau ngajak kamu sarapan berdua, karena setelah melihat story w******p-mu, aku bangun lebih pagi, berangkat ke kantor lebih pagi, rela antri ke warung bubur yang enak langgananku, demi kamu. Yang kedua, ada hubungan apa antara kamu dan Pak Airlangga, well … selain hubungan kerja dan teman masa lalu.” Prana nyamperin aku di jam makan siang, ketika semua orang, hampir semua orang maksudnya, yang ada di kantor ini keluar untuk cari makan. Begitu masuk ke ruanganku, dia tidak ngomong apa-apa, tanpa ba bi bu, langsung aja gitu duduk di depanku. Aku yang kaget, iya, ini udah beberapa kali hari ini aku dibuat terkejut sama ulang mereka, aku diam. Mencoba mencerna semua ucapan yang diomongin Prana. Dengan hati-hati, aku mencoba menjawab, “Well … aku dan Rangga, Pak Airlangga maksudku, tidak ada hubungan apa-apa selain hubungan yang tadi kamu sebutin, partner bisnis dan teman masa lalu. That’s it. Ada yang salah?” Prana membetulkan posisi duduknya, lalu maju mendekat ke arah meja, dan ngomong “Kalo hubungannya seperti itu, sepertinya apa yang dia lakukan ke kamu itu berlebihan. B.E.R.L.E.B.I.H.A.N” Prana mengeja kata berlebihan dan menekankannya pada setiap hurup. Aku garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal, berlebihan? “Apanya yang berlebihan? Dia ngajak aku jalan sepulang kantor, itu berlebihan? Dia beliin aku bubur untuk sarapan dan nganterin bubur itu ke sini, berlebihan? Atau yang mana yang berlebihan, karena sejauh yang aku alami, sepanjang pengetahuanku apa yang dilakukan Rangga itu normal, biasa aja. Seperti kamu sama Banun kemarin, kan. Kamu nganterin dia ke mall, nyari sesuatu, itu berlebihan, gak?” wajah Prana memerah, “Jangan mengalihkan pembicaraan, Tan. Aku lagi bahas urusanmu sama Airlangga itu,” omongan kami terhenti karena Pak Dirman masuk, “Punten, Pak Prana, Bu Tania, ini nasi padang pesenan Pak Prana, ini kembaliannya.” Aku diam, Prana kemudian memberikan uang kembalian tadi ke Pak Dirman, “Ini uang kembaliannya untuk Pak Dirman aja, makasih, ya.” lalu menyerahkan satu bungkus yang bertuliskan ayam panggang d**a dan perkedel kentang ke aku, lalu menyimpan bungkusan miliknya, “Makan, jangan ditunda, nanti kamu sakit.” Lalu dia bangkit, mungkin mau kembali ke ruangannya, tapi aku masih belum bisa terima dengan ucapannya tadi, maka setelah aku diam beberapa saat, aku kembali bertanya, “Jadi, di bagian mana, yang dilakukan Rangga yang itu adalah hal yang berlebihan di matamu? Percakapan kita belum selesai, jangan meninggalkan medan perang sebelum perang berakhir.” Ucapku dengan nada suara yang dalam dan tegas. Prana yang tadinya sudah bangun dan mau keluar dari ruangan ini, mengurungkan niatnya dan kembali duduk, “Sikap Airlangga, dia antar jemput kamu, dia ajak kamu makan, dia nganterin kamu sarapan, itu berlebihan. Tan, kita sama dia itu ada hubungan bisnis, gak etis rasanya kalo kamu sama dia terlalu dekat seperti itu.” Aku meradang, aku membalas kembali ucapannya, “Terus menurutmu, hubungan dan interaksi kamu dengan Banun itu etis, hubungan kalian profesional? Kamu dan Banun juga memiliki hubungan pekerjaan, loh. Itu normal buatmu?” Prana menggeram, “Kamu gak paham, Tan.” Aku gak mau kalah, udah kadung sebel banget hari ini, sekalian aja deh aku terusin, “Jangan mengatasnamakan pekerjaan dalam hal ini, jangan berlindung di balik kata profesionalisme dalam hal ini. Gak bijak rasanya, kalo kamu menegurku atas hubungan dan kedekatanku dengan Rangga, sementara kamu berdua-duaan sama Banun, pergi ke mall. Bagaimana menurutmu pandangan orang tentang hal itu, apa kamu gak khawatir akan muncul gosip yang enggak-enggak karena melihat kalian jalan berdua, apa kamu gak takut dikira ada apa-apa sama Banun. Atau, kamu memang sengaja, Prana, jalan berdua dengan Banun karena memang mau menciptakan kabar-kabar itu?” Prana bangkit dari duduknya, tidak berkata apa-apa, kecuali menyuruhku makan, “Sudahlah. Kita hentikan obrolan ini, lekas makan nasinya, sebelum kuahnya kering, aku hanya ingin kamu hati-hati. Aku gak mau melihatmu terluka lagi, terluka sama orang-orang yang datang dari masa lalumu, dan sekali lagi, aku gak ada hubungan apa-apa sama Banun, tolong jangan salah paham.” Dan setelahnya dia berjalan keluar ruangan, menghilang seketika, meninggalkan aku yang kesal dengan sikapnya. “Pak Dirman, ini nasi bungkus padangnya untuk Pak Dirman aja, saya masih kenyang tadi sarapan bubur.” Aku kasih nasi bungkus yang tadi dibelikan Prana ke Pak Dirman, selain memang masih kenyang, aku udah males banget makan. Udah gak selera. Kemudian aku bergegas ke kamar mandi, karena belum salat zuhur, bener-bener hari yang chaos. Ketika selesai salat, aku mendengar Yani dan Banun yang sedang ngobrol, aku sengaja tidak segera mengakhiri salatku, karena ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang diobrolin mereka berdua, “Mbak Tania itu kayaknya bakal diangkat jadi manajer keuangan deh, Mbak Yani.” Aku mendengar Banun membuka percakapan, “Ya, bisa jadi. Karena emang kinerja Mbak Tania itu gak perlu diragukan lagi, datang sebelum karyawan yang lain sampe, pulang setelah semua karyawan sampe di rumah. Tapi, kamu ngomong gini ini tau dari mana, Nun?” Banun bicara seperti berbisik, “Aku tadi sekilas mendengar omongan Bu Arini dan Pak Anhar di pantry. Tapi gak sempet denger banyak, karena mereka keburu tau kehadiranku.” Yani menepuk pundak Banun, “Jangan kebiasaan nguping. Kamu itu, sering denger Pak Prana dan Mbak Tania ngobrol, barusan dengerin Pak Anhar dan Bu Arini ngobrol, kepo banget sama urusan orang.” Banun merajuk, “Da aku mah kan gak sengaja denger, bukan disengaja. Kalo disengaja, baru deh namanya nguping.” Yani lalu bertanya lagi ke Banun, “Terus, sebenarnya hubunganmu sama Pak Prana itu apa?” Banun terkekeh, sepertinya dia sedang tersipu malu, “Entah, Mbak. Pak Prana belum ngomong apa-apa, tapi semakin hari dia semakin perhatian sama aku,” aku yang mendengar obrolan mereka, buru-buru bilang “Aamiin,” agak kencang, agar mereka tau kalo aku udah selesai salat. Ingin rasanya aku bilang ke Banun jangan ke-GR-an. Bubur yang tadi dikasih Prana itu sebenarnya awalnya untuk aku dan Prana makan bareng, tapi karena insiden bubur ayam tadi, akhirnya bubur ayam itu dikasih ke Banun. Hanya kemudian aku sadar, untuk apa gnomon begitu ke Banun, gak ada gunanya justru malah berpotensi bikin muka anak ini cemberut, yang udah pasti aku gak suka lihat muka orang cemberut dan ditekuk. Demi menetralisir keadaan canggung, aku basa-basi ke mereka, “Lagi ngobrolin apa, sih, seru banget, Yan, Nun?” mereka berdua saling adu pandang beberapa detik, kemudian Yani berinisiatif menjawab, “Gak, Mbak, kita lagi ngomongin makan siang barusan.” Dan keduanya kompak berbalik badan menghadap ke depan laptop masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD