Gelagat Rangga

1100 Words
"Maaf, loh, Pak Rangga. Saya jadi ganggu waktu kencan Pak Rangga sama Bu Tania.” Ucap Prana ketika sudah duduk di dalam mobil, Rangga yang mendengar hal itu tertawa dan menanggapi ucapan Prana dengan berseloroh juga, “Gak apa-apa, Pak. Kan Pak Prana hanya sebentar ini, cuma sampe depan aja, kan? Gak bakal bikin kami jadi kenapa-kenapa. Udah terpisah belasan tahun aja masih ketemu, kok.” Aku tertawa, asem banget ini si Rangga. Aku hanya diam, tidak banyak bicara, Prana dan Rangga yang lebih banyak berbincang, “Pak Rangga dan Bu Tania ini teman dari taman kanak-kanak, ya?” tanya Prana lagi, sepertinya aku sudah bisa menebak ke mana arah Prana, dia mau tau sejauh apa aku dan Rangga berhubungan, seperti apa hubungan kami. Rangga mulai menceritakan awal kami, aku dan Rangga kenalan, “Kami itu ketemu waktu kelas lima SD, ya, kan, Tan. Terus sejak saat itu, seperti jodoh, kami selalu sekelas, dan selalu didudukkan dalam satu meja. Selalu diatur seperti itu sama guru-guru kami, baik guru di sekolah dasar, sampai di sekolah menengah pertama. Jadi, cantiknya Tania, ngambeknya dia, marahnya, keselnya, yang jelek-jeleknya, saya sudah paham banget.” Aku yang merasa dipojokkan dengan kalimat Rangga barusan angkat bicara, “Itu, yang diomongin barusan kenapa hanya jeleknya aja, ya. Memangnya aku gak ada kelebihan lain, gitu yang bisa dibanggakan, ish, kamu tuh,” Rangga dan Prana tertawa, “Nah, ini contohnya kalo Tania ngambek. Dia akan ngambek sama segala hal yang tidak sepaham sama dia, saya tim bubur yang gak diaduk, Tania ini tim bubur diaduk. Kalo kami makan bubur bareng dia pasti bakal bilang saya aneh, selalu, setiap kami makan. Dan dengan ending mangkok bubur saya pasti bakal berakhir dengan kekacauan karena wanita yang di sebelah saya ini berhasil mengaduk-aduknya.” Aku tertawa, jadi inget kalo kami sarapan bubur, sebelum berangkat sekolah, pasti begitu. Dan jadi ingat peristiwa bubur tadi pagi, aku mendadak mules. Bubur-bubur, kenapa jadi panjang cerita mengenai bubur ini. “Wah, pantesan, Bu Tania seperti ketemu pacar lama, bahagia banget gitu waktu ketemu Pak Rangga lagi, kemarin waktu meeting, betul, kan, Bu Tania?” Prana tiba-tiba ngomong begitu ke aku. Aku yang bingung hanya diam saja, sambil menunggu antrian mobil kami diberi jalan untuk keluar dari parkiran ini, obrolan terus mengalir, demi menanggapi ucapan Prana tadi Rangga terkekeh, “Sama, saya juga bahagia banget. Selama ini mau ngedeketin Tania tuh apa, ya, kharismanya itu loh. Keren, pinter, mandiri, kuat. Lelaki beruntung aja yang bisa dipilih sama dia untuk ngedampinginnya. Saya sampe sekarang kalo hadap-hadapan gitu, tatap-tatapan masih suka grogi, mata Tania itu loh. Dia hanya butuh menatap lawannya untuk menjatuhkan mereka tanpa harus menghunuskan pedang. Pak Prana tau gak, kalo Bu Tania ini waktu sekolah menengah juara debat bahasa inggris. Jago banget loh, Bu Tania ini.” Aku kaget, kok Rangga bisa tau, “Loh, emangnya kamu tau, Ga? Kita kan pisah sejak kamu pindah ke Bogor, kok info itu kamu bisa tau?” Rangga menjawab dengan bangga, “Aku tuh hanya pindah sekolah, Tan. Tapi hati dan pikiranku masih di kamu, semua info tentang kamu gak ada yang terlewat termasuk pernikahanmu yang dulu itu, aku tau.” Suasana berubah murung, Rangga mengingatkan lagi padaku kejadian paling menyedihkan dalam hidupku. Mungkin Rangga sadar kalo ucapannya barusan membuatku ingat akan masa-masa tidak menyenangkan itu, “Eh … sorry, Tan. Jangan sedih, ya. Itu kan udah jadi masa lalu, gak perlu diinget-inget lagi. Kan ada aku, ada Pak Prana, ada teman-teman yang lain, semnagat, ya.” aku hanya mengangguk, moodku tiba-tiba berantakan. “Pak Rangga, saya berhenti di depan saja, Pak.” Ucap Prana setelah kami keluar dari pelataran parkir. Dan Rangga mengehentikan mobilnya tepat di depan halte bus. “Terima kasih, Pak Rangga, Bu Tania atas tumpangannya, maaf ya, menggangu waktunya berduaan. Selamat bersenang-senang, ya. Selamat bernostalgia.” Rangga hanya mengangguk, lalu menjalankan kembali mobilnya. Aku bisa melihat sosok Prana yang perlahan mengecil dan menghilang secepat mobilnya Rangga jalan. “Pak Prana itu sepertinya ada rasa sama kamu, Tan. Memangnya kamu gak ngerasa?” aku menggeleng, menyembunyikan apa yang sudah aku tau, sungguh, aku gak mau obrolan dengan Rangga, sesi ngobrol dan nonton kami malah jadi terkontaminasi sama hal-hal yang begini, “Aku gak tau, aku gak mau tau, dan aku gak mau bahas mengenai masalah itu sekarang. Aku pengen kita enjoy the moment aja, bisa, kan? Udah lama kita gak ngobrol, aku seneng banget bisa ketemu sama kamu, Ga, aku pengen kabur dari duniaku yang ruwet sebentar aja, pengen nikmatin gitu.” Rangga mengangguk, “Siap. Maaf, ya, aku jadi terkesan ikut campur urusanmu, Tan. Mari kita nikmati mala mini tanpa ada campur tangan kerjaan, lemburan, target, dan lainnya, janji?” aku menganggukkan kepala dengan semangat, “Janji banget.” Lalu Rangga melajukan mobilnya dan memutar lagu-lagu Base jam, “Band kesukaanmu, nih, Tan, kamu inget gak, waktu mereka manggung di sekolah kita, kamu sampe rela nabung uang jajanmu dan sampe rela ngabisin uang tabunganmu, hanya untuk beliin mereka oleh-oleh, loh.” Aku ketawa ngakak, “Ya ampun, Ga. Kamu masih inget aja, cinta banget aku tuh sama band ini, apalagi Adon, vokalisnya, yang suaranya bikin meleleh, mana orangnya cool.” Rangga juga tertawa, “Aku tuh heran, padahal ada kan satu lagi tuh, vokalisnya, siapa, Sigit, ya, itu kan ganteng, lebih ganteng maksudnya, tapi kamu malah ngidolain Adon.” Aku menimpali ucapan Rangga, “Iya, Sigit. Ah, ganteng mah udah biasa, kalo Adon itu meskipun gak ganteng tapi suaranya bisa mengalahi kegantengan Sigit, orangnya kalem, cool gitu loh, Ga.” Kami larut dalam nostalgia, “Iya, kamu kan emang sukanya cowok cool, gak pernah mau kenalan apalagi deket sama cowok yang cengengesan, petakilan, apalagi yang suka nyosor, dan tebar-tebar pesona.” Aku mengangguk dan tertawa lagi, “Betul banget. Makanya aku mah paling anti sama cowo yang udah dikerubutin cewe, apalagi kalo tu cowo merasa kegantengan parah, ih, alergi.” Dan kami tertawa bareng, nyanyi bareng, bebanku seolah menguar, lepas sejenak dari tempatnya, pundakku serasa ringan. Rangga memang selalu se-menyenangkan seperti ini, celotehnya, ingatan-ingatannya tentang hal-hal kecil yang bahkan aku lupa, bikin aku merasa diperhatikan, dihargai. Tanpa terasa kami sudah sampai ke tempat yang kami tuju, bioskop. Setelah masuk ke parkiran, Rangga memintaku untuk memegang tas dan juga handphonenya, “Tan, aku titip ini, donk, di tasmu. Aku gak bawa tas kecil.” Kemudian aku memasukkan dompet dan handphonenya. Ketika kami turun, Rangga mengambil tasku dan menentengnya, “Biar aku yang pegang, jadi kamu gak terlalu berat nawa tas karena ada barangku di dalamnya. Kamu cukup pegang tangan aku aja.” Aku hanya bisa menuruti ucapan Rangga. Ampun, kenapa aku jadi baper gini sih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD