Aku Kehilangan

1310 Words
Tiga hari tinggal di rumah ini, perutku suka tiba-tiba kencang dan sakit. Beberapa kali aku bilang ke Abizar, “Bi, perutku sekarang sering banget sakit, Bi.” Dia hanya menanggapinya dengan santai, “Ya wajar, mungkin masih nyari posisi kali si dedek.” Hanya begitu saja tanggapannya. Selama di rumah ini juga, istirahatku jadi kurang, pekerjaan jadi dua kali lipat lebih banyak, masak dua kali pengerjaan, setelah aku membantu memasak untuk keluarga Kak Puspa dan Ibu, aku juga harus masak untuk makan aku dan Abizar, piring juga selama bulan puasa ini lebih cepat habis, karena setelah buka puasa, keponakan-keponakan Abizar sering ngajak teman-temannya buka puasa bareng di rumah, rumah lebih sering berantakan daripada rapihnya. Baru setengah jam dirapihkan, sudah berantakan. Nyapu gak cukup sekali, belum lagi kamar Ibu harus aku beresin. Sungguh melelahkan, bukan hanya lelah badan, lelah hati, juga sakit menusuk jika mendengar Ibu atau Kak Puspa ngomong. Ingin sekali rasanya aku ngomong ke Abizar untuk pulang lagi aja ke rumah kami, tapi enggan, aku khawatir malah ada keributan, nanti keluarga Abizar merasa tidak dihargai. Hari ini, keluarga Kak Raudhah datang ke rumah, segala macam kue dibawa, kue kering, kue lapis legit, kue bolu, kue sarang semut, belum lagi gorengan, jajanan pasar, semua dibawa, “Kita buka puasa bareng, ya, di sini, hari ini. Kamu gak usah masak, Tan.” Aku hanya mengangguk, bersyukur dalam hati, bisa istirahat sejenak. Tapi aku salah, semua keponakan ada, teman-teman keponakan Abizar pun datang, piring harus aku cuci beberapa kali, karena memang yang ada di rak tidak banyak, cuci gelas juga sering banget. Karena kebiasaan keponakan Abizar di rumah ini, itu gelas baru sekali dipakai, sudah ditarok di tempat cucian piring, dan kalo mau minum lagi, mereka ngambil gelas baru. Jadi gelas yang kotor tadi belum sempat dicuci, sudah ada gelas kotor lainnya. Hari ini aku benar-benar tidak bisa duduk. Walaupun Kak Puspa sudah bawa banyak makanan, Ibu memaksa tetap harus ada sayur yang terhidang, “Kamu tetap masak, Tan, jangan enak-enakan aja tidur. Nanti Abizar makan apa kalo kamu gak masak.” Ya, dengan omongan Ibu tersebut, berarti sudah bisa dipastikan kami tidak masuk dalam hitungan untuk ikut menyantap makanan yang dibawa Kak Raudhah. Walaupun Kak Raudhah udah bilang, bahwa aku gak perlu masak, sayur dan lauk dibawa sengaja dibeli banyak, Ibu bersikeras kalo aku harus masak, “Biar Tania masak, tanggung jawab dia sebagai istri harus masak, ngurus suami. Jangan dibiasakan enak dari awal nikah, nanti keterusan jadi malas.” Jadi begitulah, meskipun di rumah sudah banyak makanan, aku tetap ke warung sayur untuk belanja. “Loh, kok masih belanja Mbak Tania, kayaknya tadi Ibu liat si Raudhah bawa makanan banyak.” Aku hanya tersenyum dan menjawab sekedarnya, “Ini permintaan khusus Abizar, Bu.” Setelah belanja, aku merasakan perutku sakit banget, sampe harus beberapa kali berhenti untuk meredakan sakit dan mengambil napas, jalan pun tertatih. Aku merasakan ada yang basah di celanaku, padahal masih bulan ke empat aku hamil, gak mungkin aku air ketubanku pecah, kan? Ada warna merah merembes di celana panjangku, “Darah.” Aku bergegas berjalan pulang. Sampai di rumah aku langsung jalan masuk ke dapur, menaruh belanjaan, dan masuk ke kamar, duduk di pinggir ranjang, mengambil handphone, lalu menelepon Abizar, “Bi, aku keluar darah. Kamu pulang, ya, aku takut.” Di seberang sana Abizar hanya bilang, “Iya, aku izin dulu. Kamu langsung ke rumah sakit Bunda dan Balita aja. Kita ketemu di sana.” aku menutup telepon, lalu memesan taksi online. Di luar, Ibu menggedor pintu kamarku, “Tan, keluar. Masih siang udah tidur aja, pemala.” Aku diam, tidak menyahuti. Ketika sepuluh menit kemudian taksi yang aku pesan datang, aku keluar, pamitan ke Ibu dan Kak Raudhah yang ada di ruang depan, “Heh, mau ke mana, mau minggat?” begitu sembur Ibu, melihat aku yang sudah siap pergi, “Ke rumah sakit, Bu. Perut aku sakit banget, ini ada darah ngalir terus dari tadi.” Ucapku sambil meringis. Raudhah yang mendengar hal tersebut langsung bangun, “Tan, kamu pendarahan? Aku antar,” tapi Ibu melarang Kak Raudhah pergi, “Gak boleh. Dasar manja, kamu pergi sendiri aja.” Tapi Raudhah memaksa, “Ini Tania pendarahan loh, Bu.” Dan meninggalkan Ibu sendiri, “Ayok aku antar. Mas aku nganter Tania dulu ke rumah sakit.” Pamit Kak Rauhdah ke suaminya. Ada keponakan-keponakan Abizar di situ, Celine anak Kak Puspa nyeletuk, “Emang Tante Raudhah kuat bopong Tante Tania segitu beratnya?” sambil ketawa yang disambuit dengan marah Kak Raudhah, “Mulut anak kecil, kurang ajar bener sama orang tua!” lalu kembali menuntunku ke mobil dan mobil langsung melaju ke rumah sakit. Di tengah perjalan, darah yang keluar semakin banyak, aku minta maaf karena hal ini, “Pak, maaf, ya, Pak, ini mobilnya kena darah saya, maaf, Pak. Nanti saya lebihkan uang taksinya, maaf, ya, Pak.” untung saja supir taksi online tersebut baik banget, “Gak usah dipikirin, Mbak, yang penting Mbak dan bayinya selamat. Suaminya di mana, Mbak, kok tega banget, gak nganterin istirnya?” Mbak Raudhah yang menyahuti pertanyaan supir itu, “Di kantor, Pak. Kami janjian langsung ketemu di rumah sakit.” Demi melihat aku yang sudah pucat dan hanya bisa menarik napas satu-satu. Perjalanan dari rumah ke rumah sakit yang sebenarnya hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit serasa seabada untukku, ketika sampai di rumah sakit, mobil taksi online langsung berhenti di depan UGD, pak supirnya langsung turun dan masuk ke dalam, lalu keluar dengan beberapa perawat dan bed sehingga aku tidak perlu jalan ke dalam. Ketika aku sudah di atas bed, aku bilang ke Kak Raudhah, “Kak, itu di tas ada dompet, tolong kasih lebihan ke pak supir …” Kak Raudhah langsung memotong omonganku, “Sstt … udah biar itu aku yang urus, kamu fokus aja sama bayimu. Nanti aku telepon lagi Abizar, sudah di mana sih orang itu.” Dan aku dibawa masuk ke dalam, langsung ditangani oleh dokter kandungan yang ada di situ, sayup-sayup aku mendengar ada yang ngomong, “Harus dioperasi, ini gak bisa dipertahankan, pendarahan udah parah.” Aku menangis, “Tolong selamatkan bayi saya, Dok, tolong.” Dan setelahnya aku tidak tau apa yang terjadi, yang aku ingat, tiba-tiba pandanganku gelap. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri, rasanya tidur barusan nyenyak sekali, lelah yang beberapa hari ini aku rasakan, seakan terangkat. Tapi aku merasakan ada yang aneh dengan perutku, kok terasa enteng, tapi ada nyeri dan rasa yang gak nyaman juga. Ketika aku membuka mata, ada Abizar di sana, “Bi …” aku mencoba memanggilnya, tapi suara yang keluar dari kerongkonganku, kecil sekali, seperti hembusan napas saja. Sekali lagi aku coba panggil Abizar dengan suara yang agak lebih keras, “Bi …” akhirnya dia menengok, “Tan, kamu udah sadar.” Dia mengelus kepalaku, “Bi, gimana anak kita? Dia sehat, kan?” Abizar menggeleng, “Gak bisa diselamatkan, Tan, katanya pendarahannya sudah parah, kamu keguguran.” Aku diam, mencoba mencerna apa yang barusan diucapkan Abizar, “Anak kita kemana, Bi?” perlahan air mata tidak lagi dapat kubendung, “Bi, anak kita, Bi …” lolongku. Hancur sudah duniaku, aku kehilangan anakku. Abizar hanya bisa diam. Ketika kami sedang saling menguatkan, ada suara makhluk yang entah sejak kapan ada di kamar ini, “Bagus kamu keguguran dan anak itu tidak jadi lahir. Kalo gak anak itu jadi anak haram, rupanya kamu sudah hamil duluan, sebelum menikah, buat malu keluarga. Kalo gak karena Abizar yang sayang sama kamu, hari ini juga kamu saya suruh Abizar ceraikan, perempuan murah.” Ibu Abizar yang ngomong seperti, seorang perempuan yang harusnya bisa memahami apa yang sedang aku rasakan. Tangisku bertambah kencang, aku tidak bisa melawan, hanya bisa menangis dan menangis saja. Entah bagaimana aku harus meneruskan hidup dan menunjukkan wajah di depan keluargaku dan keluarga Abizar, sekarang mereka sudah tau kalo aku hamil duluan sebelum kami melakukan pernikahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD