POV Tania_Janji

1250 Words
Aku masih belum dapat memejamkan mata ketika alarm yang di setting di gawaiku berteriak kencang. Sudah pukul dua dini hari, bergegas aku bangkit lalu berwudu. Malam ini, entah kenapa, tidurku tidak nyenyak sama sekali. Padahal sudah sejak pukul sepuluh tadi aku sudah merebahkan badan di petiduran. Sempat terpejam sebentar, tetapi terbangun karena mimpi. Mimpi yang membuat sekujur tubuhku menggigil, bukan, bukan karena dingin, melainkan karena aku takut. Dan benar saja, pagi ini firasat tadi malam, jadi nyata. Ketika aku mau berangkat ke kantor, ternyata aku harus bertemu lagi dengan b******n tengik itu. Hampir 5 tahun kami berpisah, sampai hari ini dia tidak mau mengurus surat cerai. Dan hari ini, dia mencegahku, di jalan sepi, tidak jauh dari rumahku. Dia memohon, memaksaku untuk turun dari mobilku, dia merengek, memohon untuk rujuk, dia mencoba memelukku, tapi aku tidak sudi, jangankan dipeluk, seujung kuku pun dia menyentuh ku, wallahi aku gak ikhlas. Karena aku berusaha terus pergi dan lepas darinya, dia mengeluarkan pisau kecil yang sudah sejak tadi ada di balik baju selipan pinggang belakang. Tetangga kanan kiri yang melihat dan mendengar keributan keluar, tapi tidak berbuat apa-apa, mungkin karena takut, karena laki-laki di hadapanku ini lagi kalap, tiba-tiba ada seorang bapak yang memukul kepalanya dari belakang, dengan sigap aku melepaskan cengkraman tangannya, dan segera masuk ke mobil, dia terhuyung, tapi tetap berusaha menghalangi jalanku, tapi aku tidak mundur se-inci pun, aku menginjak gas, aku sudah menutup mata, kalaupun aku harus menabraknya dan melindasnya dengan mobil ini, biarlah. Biar gak ada lagi urusanku dengannya. Sembari memejamkan mata, aku ngebut, tapi tidak ada benturan yang terjadi, aku membuka mataku, di belakang aku melihat dia dari spion kaca, sedang mengacungkan pisaunya ke arahku. Sampai di kantor, baru kurasakan ada sesuatu yang menetes di stir mobil, aku pikir itu keringat yang ada di tanganku, karena aku ketakutan. Ternyata itu darah, aku baru sadar bahwa itu darah setelah memarkirkan mobil di halaman kantor. Aku diam lama di mobil, entah kenapa dunia serasa berputar dan mataku buram. Satpam kantor yang melihat aku tidak keluar dari mobilku, mengetuk jendela mobil. "Bu Tania, ada yang bisa dibantu?" Pak Rahman, satpam yang baik, murah senyum, dan selalu datang lebih pagi dari karyawan lainnya. Aku membuka pintu, mencoba menggenggam telapak tanganku, menekannya, agar darah tidak terlalu deras mengucur. Lalu aku bilang ke Pak Rahman, "Pak, tolong bawakan tas saya, dan tolong kunci, ya, mobil saya. Nanti kuncinya tolong bawa ke ruangan saya. Makasih, Pak." Aku tau, dia ingin bertanya, tapi secepat kilat aku menuju toilet untuk membasuh tanganku, darahnya gak mau berhenti, aku bingung. Setelah selesai dari toilet, aku mencoba untuk menekan tangan dengan tisu kering yang ada di toilet tadi. Aku pikir, darah akan berhenti karena lukanya tidak besar. Sampai di ruangan, aku ambruk, aku duduk tanpa melihat sekelilingku, dan seketika aku mengingat kejadian tadi, aku menangis, tubuhku terguncang, aku bingung, takut. Aku harus bagaimana ... Prana menyapaku, menyebutku wonder women, menanyakan aku kenapa, dan entah apalagi kalimat yang dia ucapkan, aku tidak mendengar, aku sibuk dengan segala macam hal yang ada di kepalaku, semua serasa ingin diutarakan, ingin menuntut haknya untuk diberi ruang sementara mataku tidak berhenti menangis, akhirnya, aku memberanikan diri untuk bicara, di sela-sela napasku yang tersengal-sengal, "Dia datang, tadi lagi. Mengajakku rujuk dia minta maaf ..." Dan aku terus menyeracau, entah dia mendengar atau tidak, aku gak peduli, aku lelah, aku sakit, dan darah di tanganku. Aku benar-benar terkejut, sambil terus beristighfar, astaghfirullah, darahnya masih mengalir. Prana mengambil tanganku, tadinya aku mencoba melawan, menolak bantuannya, tapi melihat darah yang tak kunjung berhenti, akhirnya tanpa melawan, aku memberikan tanganku untuk dibersihkan lagi olehnya, kali ini dia membawa kotak p3k yang ada, dia mengeringkan darahnya, membubuhkan obat merah, dan memasangkan perban, darah masih terlihat merembes menodai perban. Entah apa yang dia ucapkan, sekilas tadi aku mendengar dia akan mengantar jemput aku mulai besok, laki-laki lebih suka pakai otot daripada berbicara baik-baik, ah ... Entahlah ... Entah aku harus percaya atau tidak dengan ucapannya, entah aku harus bereaksi apa atas tawarannya. "Aku yakin, kau akan melakukan ini pada siapa pun dan perempuan mana pun, mana boleh aku terlalu ke-GR-an. Toh kita beda, beda banget." Batinku, berbicara saling bersahutan dengan isi kepalaku, mereka berisik sekali. Aku mencoba memukul kepalaku beberapa kali, agar bising yang aku dengar, berhenti. Prana mencoba menahan tanganku untuk melakukannya, "Tan, stop. Tania, berhenti, hei ... Tan," Dia menahan tanganku, kedua telapak tanganku digenggam olehnya, aku beristighfar, ini gak boleh, maka aku berusaha keras untuk menarik tanganku dari genggaman Prana, "Lepas, Prana, lepas." Dia bergeming. Rupanya, mengeluarkan banyak darah lumayan membuat penglihatanku sedikit kabur, kepala rasanya ringan, bukan ringan karena enak, melainkan seperti mau pingsan, sebisa mungkin aku bertahan. Jangan sampai merepotkan semua orang. Luka kecil begini mah anak kecil juga biasa terluka, mereka kuat. Masa aku dengan badan yang gede begini kalah, "Badan segede kamu mah, diseruduk becak juga, becaknya yang mental, Tan." Aku ketawa sinis, mengingat ejekan teman-teman perempuanku, ketika aku duduk di bangku sekolah menengah, dipikir-pikir, bisa jadi juga, sih. Nanti, kapan waktu, boleh, deh, aku coba, kalaupun becaknya yang mental, tinggal aku ganti rugi, atau jika tubuhku yang mental, yah, paling lecet-lecet, dikit. Prana masih menunjukkan wajah khawatirnya, "Tania, kenapa ketawa gitu, ada yang mau kamu ceritain sama aku?" Aku menatapnya balik, menggeleng, dan menundukkan kepalaku, aku risih sebenarnya. Khawatir baper karena dia bereaksi berlebihan. Selain menunjukkan kekhawatiran, lelaki itu juga menampakkan sisi lain yang baru aku lihat. Ya, dia terlihat emosional, dia sangat marah. Pak Dirman bolak balik membersihkan tetesan darah, meskipun hal itu adalah tugasnya, tetap saja, aku merasa tidak enak. Kuperhatikan kembali perban yang bernoda darah itu. Sekelebat wajah Abizar melintas begitu saja. Meyebalkan mengapa orang itu haris datang merusak moodku hingga berantakan. Satu lagi orang yang selalu berhasil merusak mood datang, wajahnya selalu ceria seolah tidak pernah ada beban yang dia pikul. Seperti anak kecil, yang berangkat sekolah, dengan meloncat-loncat kecil, riang gembira, tapi seketika dia berhenti, berteriak, histeris, dan ditegur Prana, dibentak, sih, lebih tepatnya, "Apaan, sih. Berisik banget." Banun terkesiap, senyuman di wajahnya seketika hilang, dia lalu bertanya kepadaku, “Mbak Tania kenapa?” tanya Banun. Dia mengernyit jijik melihat tetesan darah di lantai yang sedang dibersihkan oleh Pak Dirman. Tidak lupa memperhatikan langkahnya, mungkin dia khawatir darahku yang berceceran akan mengotori rok serta sepatunya. “Gak apa-apa, Nun. Saya ceroboh tadi,” jawabku. Aku terus memperhatikan Prana dan Banun bergantian. Gadis berusia 23 tahun itu hanya mengangguk-angguk lantas raut wajahnya seketika berubah ketika melihat Prana. Mencoba untuk menyapa Prana, mimik wajahnya persis seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba melihat odong-odong. Lalu Banun menyerahkan sebuah paper Bag. Dia bela-belain masak lagi. Sebal, gitu amat mengharapkan perhatian lawan jenis. “Aku tadi masak ini, Pak. Lumayan buat makan siang,” ucapnya. Prana menerima bungkusan dari Banun. Lelaki itu berterima kasih, lalu memanggil Pak Dirman yang sudah selesai membersihkan lantai, "Pak, ini dimakan, ya. Buat makan siang. Masakan Banun, enak banget. Cobain, ya." Pak Dirman sungkan menerimanya, karena melihat ke arah Banun yang seketika wajahnya cemberut. Aku melihat Prana melenggang ke mejanya. Sebodo, bukan urusanku, lalu akhirnya aku bisa duduk dengan tenang, dan mulai menyalakan komputerku. Tidak ada yang bisa aku kerjakan, selain tanganku masih ada satu dia tetesan darah, ini juga karena yang ada di pikiranku hanyalah wajah menyebalkan Abizar juga wajah Prana. Anehnya ada rasa yang lain saat sekelebat wajah Prana melintas dalam pikiranku. Senja yang aku tunggu akhirnya tiba dengan muram, semuram hatiku yang takut untuk pulang. Bagaimana jika Abizar masih menungguku di depan indekos, lalu dia menyakitiku. Sungguh aku tidak bisa berhadapan lagi dengannya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD