Menepati Janji

1012 Words
Bisa saja aku minta tolong Prana, sebagaimana dia berjanji akan menemaniku, dan mengantarkanku sampai ke depan pintu indekos. Tapi sayangnya aku terlanjur kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Jadi, daripada semakin lama aku di sini dan hatiku semakin tidak karuan rasanya, maka aku putuskan untuk pergi. Kulangkahkan kaki keluar kantor, meraup banyak-banyak udara malam, memejamkan mataku, berharap apa yang hari ini terjadi hanyalah mimpi burukku saja. Sayangnya, tidak, apa yang aku alami hari ini adalah nyata, se-nyata perban di tanganku yang masih membebat luka yang digoreskan Abizar. Aku kembali berjalan menuju parkiran, dan ketika sampai di parkiran, aku melihat Prana, bertanya apakah aku sudah Siap. “Siap, Tan?” aku yang bingung, bertanya, siap untuk apa? Ketika aku sedang menunggu penjelasan dari Prana, Yani menepuk lenganku dia dan Banun lantas pamit untuk pulang duluan. Meninggalkan aku yang mematung di hadapan Prana. Dia mengingatkanku, bahwa tadi dia janji mau nganterin aku pulang, “Aku kan sudah janji mau nganterin kamu pulang, lupa?” aku menolak ajakannya, dengan alasan aku membawa mobilku sendiri, kutunjukkan kunci mobil yang aku keluarkan dari dalam tas, bagaimana bisa dia mengantarku pulang padahal aku sendiri bawa mobil, memangnya mau iring-iringan seperti parade? “Kalau mau, Prana anterin Banun saja, dia gak bawa motor. Lagi pula kalian selama ini dekat, kan? Siapa tau, besok dia masakin kamu menu yang lebih spesial, untuk orang yang spesial di hatinya, yaitu kamu. Syuh … syuh … jauh-jauh, aku mau pulang. Dilarang ngikutin aku.” Ucapku sambil membuka pintu mobil. Tumpahlah semua uneg-uneg yang dari tadi aku pendam. Aku tidak tahu apa yang meracuni hatiku hingga kebencian begitu kental saat melihat Prana melahap habis bekal yang diberikan Banun. Prana terperanjat dengan tingkahku, “Tan, emangnya aku kucing, diusir gitu. Aku ini pria tampan loh, pangeran yang mau nganterin tuan puteri pulang, dan menjaganya juga melindunginya sepenuh hati, segenap jiwa, dan dengan segala rasa.” Aku melihatnya, menenglengkan kepalaku ke arah sebelah kirinya, “Lekas pulang. Sepertinya kamu lagi kurang sehat, Pak Prana.” Kemudian masuk ke dalam mobil dan kutinggalkan Prana sendirian, meski tanganku sakit dan kebas ketika memegang setir, aku tetap melanjutkan perjalanan dengan mengucap doa, “Bismillah, ya Rabb, tolong jaga aku, lindungi aku hingga bisa sampai ke kostan dengan selamat, aamiin.” Ketika mobil mulai kujalankan, dari kaca spion, aku melihat Prana yang masih memandangi mobilku. Di tikungan aku berhenti sejenak, sekali lagi melihat Prana dengan wajah bingungnya. Maaf Prana, hatiku sedang tidak baik-baik saja. * Prana menepati janji yang dia ucapkan, kemarin. Sudah sejak pagi-pagi sekali lelaki itu berdiri di depan gerbang indekos. Wajahnya terlihat masih segar, balutan kemeja berwarna merah marun dan celana panjang hitam memberikan kesan dewasa pada lelaki yang usianya jauh di bawahku. “Assalamualaikum, Tania,” ucapnya saat melihatku menghampiri. “Waalaikumsalam, Prana sengaja jemput?” tanyaku seolah tidak ada pertanyaan lain lagi. Dia tersenyum menyender pada tembok samping gerbang. Kubuka gerbang yang masih terkunci gembok. “Padahal kamu gak perlu repot-repot, Prana. Aku kan bawa mobil juga. Bukannya kamu jemput Banun aja, gih.” Ucapku. Kini gerbang indekos terbuka membuat antara aku dan dia tidak ada halangan seperti jeruji yang memisahkan napi dengan pengunjungnya. Dengan penuh waspada dan was-was, bolak balik kulirik jalanan depan indekos. Kemarin, mantan suamiku menunggu depan masjid tidak jauh dari sini. Lalu datang menyerang, menyisakan luka memanjang di telapak tangan. Luka yang belum juga dan membuat perih ketika terkena sabun. Melihat tingkahku yang mungkin seperti memastikan bahwa keadaan aman, Prana mengatakan kepadaku, “Aman, aku pastikan siapa pun termasuk lelaki itu tidak akan bisa mencelakai kamu lagi.” Ujar Prana. Aku sedikit terkejut karena dia seolah mampu membaca apa yang ada di pikiranku. Sungguh buka hal seperti ini yang aku harapkan, jujur saja, aku takut ada omongan miring yang dapat melukai Prana. “Terus, mobilku bagaimana?” tanyaku padanya, “Mulai sekarang tidak perlu membawa mobil. Aku janji setiap hari akan ke sini dulu. Dengan begitu aku bisa tenang.” Dia tersenyum setelah melontarkan kata-katanya. Aku tidak tahu apakah harus percaya atau tidak pada anak muda di depanku. “Aku tidak mau berutang, Prana, lagi pula bensinku dibayar kantor, untuk hari ini bolehlah sudah terlanjur juga kamu jemput aku, pagi-pagi gini udah nangkring di depan pagar, tapi besok-besok, gak usah jemput lagi. Tunggu sebentar, ya, saya ganti kerudung sambil ambil barang-barang untuk dibawa ke kantor. Kamu mau masuk dulu?” Prana menggeleng, “Tidak usah, aku tunggu di sini aja. Lagian santai, Tan, tidak ada yang merasa direpotkan. Aku juga gak minta uang bensin.” Itulah Prana, selalu kukuh dengan keinginannya. Aku bisa merasakan semangat yang menggebu dalam diri lelaki ini. Pancaran kebahagiaan saat aku mengangguk dan tidak membantah lagi. Kutinggalkan sejenak Prana di tempatnya, berjalan menjauh menuju kamar untuk mengambil semua keperluan yang akan di bawa ke kantor. “Tania,” cegah Prana sontak langkahku terhenti lalu berbalik melihat dia sekali lagi. “Kenapa?” jawabku, sedikit kaget, karena Prana tiba-tiba memanggilku seperti itu, “Bagaimana tangannya? Masih sakit? Kita perlu mampir ke rumah sakit dulu, gak, untuk memeriksakan keadaan tanganmu, aku khawatir nanti ada infeksi.” Aku menggeleng, “Gak perlu ke rumah sakit, ini alhamdulillah sudah baik. Tinggal ganti perban sekali lagi, terus lukanya pasti cepat kering dan sembuh. Udah, aku ke kamar dulu, ini kalo kita ngobrol terus, gak berangkat-berangkat deh, kita ke kantor. Kalo telat, bisa ditegur Pak Anhar, kan, kacau.” Ucapanku itu ditanggapi Prana dengan kata-kata, “Nah, ide bagus. Apa kita bolos kerja aja, hari ini, Tan. Sekali-kali, kita jalan-jalan gitu, biar kamu bisa refreshing, gimana?” aku melotot ke arahnya, “Jangan pernah coba-coba ngajak aku bolos, ya, Prana, jangan memberikanku pengaruh buruk.” Aku lalu buru-buru menghilang dari hadapannya dengan pipi yang memanas, entah apa yang yang harus aku lakukan untuk bisa menghentikannya. Membayangkan jalan berdua saja dengan Prana, mungkin ke pantai, ehm … atau marathon nonton film di bioskop, lumayan juga sih, buat refreshing Tapi kemudian aku tersadar, “Tania, apa-apaan sih.” Sambil beberapa kalo menepuk-nepuk kedua pipiku, “Bangun, Tan, sadar.” Satu hal yang pasti, yang jelas aku harus menepis segala rasa yang tidak seharusnya ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD