POV Prana_Petuah Cak Anwar

1006 Words
"Tania ini perkara beda. Wanita dewasa sekelas dia, gak akan mempan jika hanya sekedar diperlakukan begitu. Udah bukan masanya, hanya sekedar dichat lalu ditanya lagi apa, udah makan belum, udah tidur, itu justru bakal bikin dia males, malah bikin gedek sama kamu." Cak Anwar memulai tanggapannya dengan kata-kata itu, aku mencoba mengingat-ingat, apa pernah aku melakukan hal itu ke Tania. "Kau harus jadi lelaki yang bisa diandalkan. Bukan cuma perkara besar, tapi juga mulai dari hal-hal kecil. Dan satu hal yang harus kau ingat, karena masa lalunya yang kurang menyenangkan, dia akan lebih peka, lebih membentengi dirinya." Lanjut Cak Anwar. Aku mendengarkan ucapan Cak Anwar dengan seksama. Lelaki yang memiliki tanda hitam di keningnya itu berhenti sejenak. Dia menyeruput teh hangat lalu lanjut berbicara. "Mulai dengan hal sederhana, walaupun terkesan sepele dan wanita itu terlihat tegar, sebenarnya dia rapuh." Kemudian aku bertanya, "Jadi aku harus bagaimana, Cak? muter-muter mulu dari tadi," decakku sedikit kesal. Lagi-lagi dia tertawa, "Oalah ... ternyata orang pinter macam kamu bisa tiba-tiba bodoh, toh, kalo urusan begini. Ya itu, mulai dari hal-hal kecil, sapa dia setiap pagi, tunggu dia di lobby kantor, kirim pesan tiba-tiba, tapi pertanyaannya jangan kayak gak jelas, hal-hal sederhana begitu, gak perlu sering, tapi rutin. Tapi ingat, wanita itu gak suka bunga, gak usah kasih bunga." Aku sedikit tergelak, tahu dari mana dia jika Tania gak suka bunga. Namun, kemudian aku mengangguk, sudah ada banyak rencana di kepala. "Wanita seperti Tania, memiliki trauma mendalam. Gak bisa buru-buru, jangan dipaksa, perlahan, biarkan dia merasakan ketulusanmu, jangan bikin dia cemburu, sekali saja hatinya kecewa atau terluka, kau akan mengulang usaha mu dari awal." Deg, hatiku mencelos. Perasaan bersalah tiba-tiba merayapiku, kejadian beberapa jam lalu, membuat Tania meradang, dasar bodoh, aku sukses merutuki diriku sendiri. Sudah saatnya aku bersikap tegas pada Banun agar tidak membawakanku makanan terus. "Gimana, udah reda, belum, itu galaunya?" Tanya Cak Anwar memecah lamunanku. Aku menggeleng, "Belum, Cak. Tapi sekarang aku sudah tau apa yang harus aku lakukan, aku punya beberapa rencana. Doakan sukses, Cak." Cak Anwar mengangguk, "Yo wis lah, aku mau istirahat, jadi, sebaiknya kamu pulang. Malam sudah jauh naik peraduan, pagi sebentar lagi menyingsing fajar." Aku sepakat dengan Cak Anwar. "Ingat, ya, pesanku, perlahan saja, biar waktu yang menyembuhkan kecewanya dan jadilah penawar pada setiap titik luka masa lalunya." Lanjutnya sekaligus menjadi penutup obrolan kami.  Setelah banyak bertukar pikiran, mendengar petuah-petuah dari cak Anwar, aku merasa beban di pundaknya menguar, menembus langit malam. Setidaknya, malam ini aku bisa sejenak tidur dengan nyenyak. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang, tidak perlu buru-buru, toh tidak ada juga yang menungguku di rumah, tidak ada juga yang akan menyambut kepulanganku. Aku mendesah berat, sepi, banyak waktu aku lalui bersama dengannya. Hidup seolah sedang mempermainkanku, lamunanku berputar mundur, jauh ke belakang. Waktu ketika aku sudah mempersiapkan pernikahan dengan seorang wanita yang dengannya, banyak mimpi kugantungkan, banyak tenaga dan waktu kuhabiskan. Bahkan Ibu, sudah sangat dekat dengannya, sudah sering masak dan makan bareng beliau, sebagian besar keluarga pun, sudah mengetahui hubungan kami. Tinggal dua bulan lagi pernikahan itu kami langsungkan, tiba-tiba dia menghilang, seperti ditelan bumi. Aku mencoba mencari dan menghubunginya berkali-kali, bertanya ke kantornya, ke teman-teman dekatnya, bahkan mencari ke semua rumah sakit, semua kantor polisi, tapi nihil. Aku juga sempat memakai bantuan detektif swasta, untuk mencari jejaknya, sempat ada kabar, sedikit, bahwa dia terlihat di sebuah minimarket di kabupaten terpencil di ujung Bandung. Dan ketika aku ke sana, tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya, bahkan sekedar melihatnya. Keluarga besarnya pun, kehilangan jejaknya. Keluargaku sudah mendesakku untuk membatalkan pernikahan kami, "Mumpung masih ada waktu, batalkan saja. Sayang uang yang sudah kamu bayarkan untuk uang muka katering, tenda, riasan. Walaupun tidak bisa dikembalikan, minimal kamu tidak harus melunasinya." Aku bergeming, tidak terpengaruh dengan saran dan ucapan orang-orang di sekitarku, karena masih besar harapanku, jika nanti wanita itu akan datang, tepat di hari pernikahan kami. Bisa saja, karena gugup menghadapi pernikahan, dia perlu waktu untuk menenangkan pikiran. Sambil terus mencari, aku juga terus berdoa, meminta batuan Allah, tidak putus sujud di sepertiga malam aku lakukan. Hingga hari pernikahan tiba, tenda sudah didirikan, katering sudah siap dengan berbagai prasmanan, perias pengantin sudah datang dari subuh. Dan tepat jam sembilan pagi, jam di mana jadwal yang aku dapat dari KUA untuk prosesi ijab kabul, wanita itu tidak juga hadir.  Sayup bunyi klakson di depan, membuyarkan lamunanku, aku terkejut, membanting stir ke kanan. Tepat ketika beberapa meter lagi, mobilku bertabrakan dengan truk pembawa pasir. Untung truk itu melaju lambat, aku lihat dari spion mobilku truk itu lanjut jalan. Aku beristighfar, kelebatan kelam masa lalu, hampir saja mencelakakanku. Dadaku masih deg-degan, napasku memburu, "Rahmania. Hingga saat ini pun, aku tidak tau keberadaanmu." Tanpa terasa, bulir-bulir bening lolos dari tempatnya. Aku terisak. Saat itu, aku ingat, akhirnya, ketika hari pernikahanku tiba, aku naik ke atas panggung, memberikan keterangan bahwa hari ini aku tidak jadi menikah, "Teman-teman, saudara, keluarga, dan semua tamu undangan, terima kasih karena sudah hadir hari ini. Namun, yah, seperti yang mungkin kalian sudah dengar kabarnya, calon mempelai wanita, tidak ada kabar, well ... Sejak dya bulan lalu sih, sebenarnya. Maka, silakan saja nikmati makanan yang sudah disediakan. Tidak usah masukin amplop atau jika Anda semua membawa kado, silakan diambil kembali. Panitia, nanti tolong dibantu, ya. Anggap saja hari ini kita semua bersilaturahmi. Selamat makan semuanya, silakan ngobrol, dan saling kenalan." Aku menutup pidato singkatku, lalu turun panggung, dan berjalan ke parkiran, masuk ke mobil, lalu melakukannya entah sampai ke mana. Yang aku tau, tiba-tiba hari sudah gelap dan telepon dari Ibu puluhan kali berdering. "Di mana, Prana, Nak? Ini sudah malam, pulang,ya.ibu sama Bapak tunggu,ya.atau mau dijemput aja, kamu di mana? Bapak sama Ibu jemput, ya." Aku menggeleng, yang jelas-jelas tidak dilihat oleh Ibu, aku lalu menjawab, "Iya, ini aku di jalan pulang." Begitu ucapku. Lalu melihat GPS di mana aku berada, dan mengatur daerah rumahku di peta, dan mengikutinya. Dua tahun, aku masih hidup dalam kegamangan. Makan, mandi, bekerja, bernapas, hanya sekedar untuk bertahan hidup. Aku mencoba menenangkan diriku, mengatur napas, dan setelah tenang, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD