Part 15

1138 Words
“Kau baik-baik saja?” Lana mengerjap, kembali menatap Evans dan mengangguk dengan senyuman hambarnya. Hening sejenak. “Maaf kau harus melihat hal semacam ini,” sesal Lana. “Kau begitu mencintainya, ya?” Evans mencermati ekspresi di wajah Lana dengan hati-hati sebelum melanjutkan. “Berpura buta dan bertahan dengan …” Lana menggeleng, memenggal kalimat Evans. Tahu apa yang ada di pikiran pria itu. “Pernah. Dulu.” Kening Evans mengernyit. “Hubungan kami cukup kompleks.” Lana diam sejenak. “Dia adalah mantanku. Dan masih mantanku tepat sebelum kami menikah.” Keterkejutan melintasi wajah Evans, tetapi pria itu hanya manggut-manggut. “Sesuatu terjadi dengan rencana pernikahanku dan Dennis, dan Liam mendadak datang. Layaknya malaikat penolong untuk kedua orang tuaku. Menyelamatkan mereka dari rasa malu. Itulah sebabnya mereka begitu menyukainya, juga Sonia jika aku boleh menambahkan.” Lana memungkasi kalimatnya dengan senyuman yang tak mencapai mata. Kali ini Evans benar-benar kehilangan kata-kata untuk berkomentar. “Apa yang kudapatkan sekarang, layak kuterima. Aku melakukan kesalahan yang fatal padanya, dan sekarang sedang berusaha memperbaiki.” “Kau ingin aku turut bersedih atau … “ Lana menggeleng. “Aku baik-baik saja. Selain harapanku untuk menemukan Dennis dan bertanya alasan pria itu tiba-tiba menghilang tepat di hari pernikahan kami.” Evans mengulurkan tangan, menepuk tangan Lana yang memegang gelas air putih. “Mungkin ini sedikit menghiburmu. Setidaknya Dennis masih hidup.” “Saat Livy meninggal, aku menemukan fakta yang cukup mencengangkan. Dan aku tak sempat meminta penjelasan darinya. Hubungan kami memburuk ketika dia mendapatkan kecelakaan itu.” Lana membalas dengan seulas senyum. “Terima kasih, Evans.” “Bolehkah aku sedikit mengganggu acara kalian?” sela Liam dengan tatapan yang menusuk ke arah tangan Lana dan Evans yang saling bersentuhan di atas meja, kemudian menatap lurus ke arah Evans. Lana dan Evans menoleh. Melihat Liam yang sudah berdiri di samping meja. Di antara Lana dan Evans. Evans segera menarik tangannya dari Lana. “Tuan Jonas, aku membutuhkan istriku.” Liam menekan kata istriku dengan penuh penekanan. Evans tak peduli dengan pertanyaan Liam, pria itu menatap lurus ke arah Lana. Yang malah saling bertatapan dengan Liam selama beberapa saat yang cukup lama. Hingga kemudian ia dikecewakan dengan Lana yang mengambil tas dan meminta maaf padanya karena harus pergi lebih dulu. Evans pun tak punya pilihan selain mengangguk. Membiarkan Liam membawa Lana dengan hatinya yang mendadak merasa terganggu. Pandangan tertegun menatap kedua punggung itu menghilang di balik pintu keluar restoran. Ia tak tahu hubungan macam apa yang dijalani oleh Lana dan Liam, tetapi ia merasa ini tidak seharusnya didapatkan oleh Lana. *** Langkah Lana dan Liam berhenti ketika mereka sampai di teras restoran. Lana melihat wanita yang tadi bersama Liam berdiri menunggu. Lana menggeliatkan tubuh berusaha keluar dari lilitan lengan Liam di pinggangnya, tetapi pria itu malah semakin merapatkan dirinya ke tubuh pria itu. Wanita itu tersenyum pada Liam, seolah Lana tak ada di sana. “Butuh tumpangan?” tanya Liam. Wanita itu menggeleng. “Sopirku sudah dekat.” Dan tepat saat itu, sebuah taksi berhenti di belakang wanita itu. Lana tak sempat mencerna apa yang tiba-tiba saja terjadi. Pintu taksi terbuka, Marisa keluar dan berhenti tepat di belakang wanita itu. Dengan wajah yang merah padam, Marisa menyentuh pundak wanita itu dan memutarnya, lalu … Plaakkk … Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. “Hentikan, Marisa. Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri,” peringat Liam dengan lengannya yang masih melingkari pinggang Lana. “Dia adalah putri klienku dan aku berhutang satu kencan dengannya. Namanya Stella.” Stella yang kini sudah berhasil mengangkat wajahnya, berganti mendaratkan tamparan di pipi Marisa. Dengan kemarahan yang sama besarnya dengan Marisa. “Siapa kau berani menyentuhku, hah?” delik Stellah. Lana hanya terbengong menyaksikan adegan di depannya tersebut dan lebih dibuat terheran dengan Liam yang sama sekali tidak terpengaruh dengan kedua wanita yang sibuk mempeributkan pria itu. Bahkan Lana bisa melihat kepuasan yan gelap di balik kedua mata Liam menyaksikan pertengkaran tersebut. “Seingatku, dialah istri Liam. Dan istrinya saja tidak berkutik dengan hubungan kami. Malah sibuk berkencan dengan pria lain.” Hati Lana mencelos dengan kalimat terakhir Stella. Tapi tentu saja apa yang dipikirkan oleh orang lain jika melihat pria dan wanita dewasa makan di meja yang sama di waktu malam seperti ini? Itulah yang ia pikirkan tentang Liam dan Stella dan memang adanya seperti itu. Meskipun ia dan Evans jelas berbeda.1 “Mereka menikah karena sesuatu …” Kalimat Marisa terputus seketika. Tangannya masih memegang pipinya yang ditampar Stella dan Liam sama sekali tak menghentikan ataupun membelanya di depan Stella. Tangannya terhentak turun dari pipi yang ia yakin tak kalah merahnya dengan pipi Stella. “Marisa,” peringat Liam, tatapannya menajam lurus ke arah Marisa yang langsung terkatup rapat. Stella mendengus. Marisa menutup lalu membuka mulutnya sementara otaknya berpikir keras untuk membalas Stella. Tentu saja tak akan membiarkan Stella merasa di atas awan hanya karena ia tak bisa membongkar pernikahan palsu antara Liam dan Lana. “Jika kau tidak tahu aku, aku adalah kekasih Liam yang sebenarnya.” “Yang sebenarnya?” cibir Stella mengejek. Kedua tangannya tersilang di depan d**a dengan penuh keangkuhan. “Seingatku ada banyak wanita yang mengaku menjadi kekasih Liam. Hanya saja, kau di malam apa? Senin? Selasa? Aku hari Sabtu.” Mulut Marisa membuka nutup layaknya ikan yang keluar dari air. Kedua tangannya mendadak sangat gatal dan ia sudah memasang ancang-ancang siap untuk melompat kea rah Stella. “Hentikan, Marisa,” cegah Liam sebelum Marisa sempat mengangkat kedua tangan untuk menjambak rambut Stella. Stella tersenyum puas menatap Marisa tidak berkutik. Tetapi kemenangannya harus cepat diakhiri ketika mobil SUV putih berhenti tepat di belakang Marisa. “Oke, Liam. Sopirku sudah datang, aku akan menghubungimu.” Stella menggoyangkan ponsel di tangannya ke arah Liam. Menyempatkan menabrak pundak Marisa sebelum masuk ke dalam mobil yang dibukakan oleh sopir wanita itu. Marisa menggeram, tetapi tak bisa berbuat apa pun untuk membalas keangkuhan Stella. “Apa-apaan ini, Liam? Berapa banyak lagi wanita sialan yang harus berbagi dirimu denganku? Dan dia bilang Sabtu? Apakah itu yang membuatmu sibuk sepanjang minggu? Kau tak punya waktu untukku?” Protes terlihat begitu memekati wajah Marisa yang merah padam. “Seharusnya akulah pemilik setiap tujuh di setiap malam dalam minggumu, Liam. Bukan wanita itu.” Tatapan Marisa berpindah ke arah Lana dengan penuh kebencian. “Juga bukan istri pajanganmu itu.” Liam mendesah dengan bosan. “Kau ingin memulai pertengkaran?” Marisa seketika dibuat terbungkam oleh kalimat tanya yang diselimuti ancaman tersebut. Lalu sebuah mobil hitam mengkilat berhenti di belakang Marisa. Sopir Liam keluar dan segera membukakan pintu untuk sang tuan. Tetapi Marisa masuk lebih dulu. “Kau harus mengantarku, Liam.” Liam tak berkata apa pun. Lana melepaskan diri dari lengan Liam dan membuka pintu depan mobil seorang diri. Liam terdiam sejenak, sebelum kemudian ikut naik dan duduk di samping Marisa, yang tak membiarkan kesempatan untuk menempelkan tubuhnya pada Liam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD