bc

Desire (Sexy Ex)

book_age16+
2.5K
FOLLOW
20.8K
READ
billionaire
revenge
dark
possessive
second chance
arrogant
dominant
manipulative
CEO
cheating
like
intro-logo
Blurb

Lana Cecilia, ditinggal pergi sang kekasih tepat di hari pernikahan, Dennis. Hingga kemudian sang mantan kekasih datang dan menyelamatkan keluarganya dari rasa malu dan menikahinya. Akan tetapi, ternyata di balik kebaikan hati Liam Isaac. Semua sandiwara tersebut adalah bentuk balas dendam sang mantan untuk pengkhianatan yang pernah Lana dan Dennis lakukan pada pria itu.

“Hanya dua pilihan yang akan kuberikan padamu. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik dan aku akan menghadiahimu sebuah perceraian, atau kita berperan sebagai suami istri untuk selamanya di depan umum, tanpa semua orang tahu kebusukan dalam rumah tangga kita. Aku tak akan menyentuhmu, tapi kau tahu aku pria dewasa sehat dan normal yang mempunyai kebutuhan.”

Tidak ada dari keduanya yang lebih baik. membiarkan Liam menyentuh tubuhnya atau terjebak dalam pernikahan untuk selamanya sebagai istri pajangan untuk pria itu. “Kenapa kau lakukan ini padaku, Liam?”

“Jadi? Mana yang akan kaupilih?” Seringai terbentuk di sudut bibir Liam.

“Kenapa kau menikahiku?”

“Kenapa kau mengkhianatiku?”

Pertanyaan telak Liam kali ini membuat Lana tak berkutik. Air matanya pecah. Semua pernikahan ini, semua sikap pahlawan pria itu yang menyelamatkan wajah keluarganya. Adalah balasan dari dosa yang pernah ia perbuat pada pria itu.

“A-apa kau masih belum memaafkan kami?”

Liam mendengus. “Kata maafmu tak pernah sepadan dengan semua hal buruk yang kau lakukan di belakangku, Lana. Kau butuh mengorbankan sedikit hal di hidupmu sebagai bayarannya. Apakah permintaanku terlalu serakah?”

chap-preview
Free preview
Part 1
Para tamu sudah memenuhi setiap kursi yang sediakan, untuk menjadi saksi janji sehidup semati pasangan di altar. Pendeta juga sudah menunggu, siap mengkhitbah sang pasangan pengantin. Yang seharusnya sudah dilaksanakan tiga puluh menit yang lalu. Para tamu mulai berbisik-bisik, menunggu sang pengantin yang tak kunjung datang dengan resah. Sang pemilik acara, Joshua Leandra duduk dengan resah di sofa tunggal. Menunggu entah apa yang harus ditunggu. Berani sekali bocah ingusan itu mempermalukan wajahnya di depan umum seperti ini. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat darahnya mendidih. “Tuan?” Seorang pelayan muncul. Joshua melirik dengan sudut matanya. Tangannya terkepal. Entah apa yang harus dikatakannya pada para tamu undangan. Terlalu memalukan untuk berterus terang jika si calon menantu sialannya itu melarikan diri seperti pengecut. Seolah ia tak becus memilihkan calon suami untuk putri sulung tersayang. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Tuan,” beritahu si pelayan. “Aku tak butuh bertemu dengan siapa pun.” “T-tapi ...” “Aku tak ingin bertemu siapa pun,” geram Joshua tak sabaran. “Saya Liam, Tuan.” Suara familiar itu menyeruak di antara amarah tertahan Joshua. Pria paruh baya itu menoleh. Menatap sosok tinggi, gagah, dan tampan yang kini berdiri di belakang si pelayan. Ya, tentu saja Joshua tahu siapa pria itu. Mantan kekasih putri sulungnya yang sempurna, yang dicampakkan oleh Lana demi pria pengecut yang lari di hari pernikahan. Liam melangkah maju ketika si pelayan berpamit pergi. “Ada apa, anak muda?” sinis Joshua. Yakin dengan kedatangan pemuda itu karena ingin menertawakan putrinya yang membuang berlian untuk batu kerikil. Liam memasang senyum kesopanannya. Tak ada sedikit senyum mengejek diniatkan dalam hatinya. “Kedatangan saya kemari ingin menawarkan pertolongan.” Wajah Joshus terlihat melunak, tapi matanya tetap menyipit ingin tahu pertolongan apa yang ditawarkan oleh pemuda itu. “Saya masih sangat mencinta putri Anda.” Liam berterus terang. “Jika Anda mengijinkan, bolehkan saya menikahinya hari ini.”   ***   “Tidak bisa, Ma.” “Lalu kauingin pesta dibubarkan begitu saja? Berapa banyak Mama dan Papa harus menanggung malu karena pria tak bertanggung jawab itu.” Lana tertunduk. Tak henti-hentinya jemarinya menekan kontak Dennis meski tahu akan berakhir pada kotak suara. Anna Leandra menyambar ponsel di tangan Lana dan membantingnya ke lantai. “Maa.” Lana membeliak dan tersentak kaget. Melihat ponselnya hancur di lantai dengan menyedihkan. Menyempurnakan keputus-asaannya. “Jangan mempermalukan dirimu lebih jauh lagi, Lana. Pria pengecut seperti itu tak layak kau tunggu. Sudah baik Liam mau menikahimu.” “Tapi tidak harus dengan Liam.” “Lalu kaupikir pria mana yang akan rela menjadi pengantin pria dari wanita yang sudah dicampakkan sepertimu, huh?” Lana terkatup rapat. “Kita tidak harus melanjutkan pernikahan ini.” “Jangan gila kau, Lana.” “Kami sudah tak ada hubungan apa pun, Ma. Bagaimana kami akan menghadapi pernikahan kami? Lana sudah tidak mencintainya.” “Itu urusan besok. Sekarang kita perlu membereskan semua kekacauan yang diakibatkan pria yang kau bilang kau cintai si Dennis itu.” “T-tapi, Ma.” Anna mengangkat tangan. Ekspresi tegas di wajahnya tak bisa dibantah lagi. “Hari ini kau akan menikahi Liam. Atau kau akan melihat kematian Mama di hadapanmu. Mama lebih baik mati daripada harus menanggung malu seumur hidup.” Ancaman itu tak lagi mampu menggerakkan bibir Lana. “Sekarang persiapkan dirimu, acaranya akan dimulai dalam sepuluh menit.” Anna berbalik dan meninggalkan kamar Lana. Yang terduduk di kursi meja riasnya dengan penuh kehancuran. Tanpa berani meneteskan air mata karena mamanya akan tahu jika ia menangis, dan membuat semua menjadi lebih sulit untuknya. Mamanya benar-benar tak pernah membiarkan ancaman yang dikeluarkan menjadi sebuah omong kosong. Harga diri keluarga di atas segala-galanya. Lima menit kemudian, papanya mengetuk pintu untuk membawanya ke altar. Alunan piano Rivers Flow in You mengalun mengiringinya menuju tempat pria berjas putih yang seharusnya tidak berdiri di sana. Pernikahan indah yang selama sebulan ini membayang begitu indah di benaknya, dalam sekejap berubah menjadi kemurungan. Jemari Lana bergetar ketika papanya menyerahkannya ke telapak tangan pria itu. Ia bisa merasakan tatapan pria itu yang menembus sisi wajahnya, terlalu sulit menatap wajah pria itu setelah setahun penuh tak pernah bertemu. Liam membawanya ke depan pendeta. Mengucapkan sumpah pernikahan yang dibuat oleh Lana dan Dennis, meski dengan cincin yang lain. “Apa yang kauinginkan, Liam? Kenapa kau datang kemari?” bisik Lana ketika tanpa mereka dipersilahkan pendeta untuk berciuman. Liam menarik pinggangnya hingga menempal di tubuh bagian depan pria itu, membawa wajahnya mendekat dan menciumnya dengan lumatan yang singkat. Lana mengerjap cepat, wajahnya sedikit terdongak dan memandang wajah Liam yang begitu dekat. Pria itu tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang tidak pernah Lana lihat ada di sana. “Apa aku tak boleh menghadiri acara pernikahan teman baikku?” “Hubungan kita sudah lama selesai.” Lana nyaris tak menggerakkan bibirnya. Suara tepuk tangan meriuh di sekeliling mereka, tetapi ia yakin Liam mendengarnya. “Hubungan kita baru saja dimulai, Lana. Sekarang aku suamimu.” Liam mengambil tangan Lana, menunjukkan cincin berlian yang sudah ia sematkan di jari manis wanita itu setelah mereka mengucapkan sumpah sehidup mati dan dinyatakan sah sebagai suami istri. Liam memutar tubuhnya, menghadap para tamu dan memaksa senyum wanita itu tertampil dengan begitu apik. Satu persatu anggota keluarga mengucapkan selamat untuk mereka berdua. Mamanya tak henti-hentinya memuji Liam yang memiliki hati malaikat. Memeluk Liam penuh terima kasih tak terhingga. Acara berlanjut menjadi pesta yang meriah, dengan tamu undangan yang lebih meluap. Ya, keluarga Leandra adalah keluarga terpandang di kalangan atas. Memiliki banyak mitra dan begitu disegani dengan kesuksesannya. “Ini dari Liam.” Sonia meletakkan kartu berwarna merah mengkilat di meja rias Lana. Lana menoleh sedikit. Penata rambut yang berdiri di belakangnya masih sibuk melepas mahkota dan merapikan rambutnya. “Dia bilang ada urusan mendadak dan pergi lebih dulu. Dia menyuruhku mengantarmu.” Sonia menunjukkan kunci mobil di tangannya. Kemudian tersenyum manis dengan kebahagiaan yang memenuhi wajahnya. “Dia memberiku mobilnya.” Lana membelalak. “Sonia?” “Kenapa? Toh dari kakak iparku sendiri.” “Kau tak bisa menerima pemberian sebesar ini dengan cuma-cuma.” “Tidak cuma-cuma. Aku harus mengantarmu ke hotel jika ingin mendapatkan mobil ini.” “Kalau begitu aku bisa pergi sendiri dan mengembalikannya pada ...” Lana mengangkat tangannya hendak menyambar kunci itu dari tangan Sonia. Tapi dengan gesit Sonia menyembunyikannya di belakang tubuh. “Aku tunggu di bawah,” ucap Sonia seraya setengah berlari keluar kamar. Lana mendesah pelan. Setelah setahun, pria itu masih begitu memanjakan Sonia.   ***   “1809. Jangan sampai salah kamar,” ingat Sonia setengah terkikik nakal ketika Lana membuka pintu mobil. “Aku akan menyuruhnya mengambil kembali mobil ini.” “Lakukan saja,” jawab Sonia dengan tenang. “Liam tak pernah mengingkari janjinya. Aku sudah mengantarmu tepat di depan hotel. Dan CCTV pasti merekamnya. Aku punya bukti yang kuat.” Lana tak berkata-kata lagi. Ia turun dari mobil dan sejenak menatap mobil yang dikendarai Sonia menghilang di jalan besar sebelum memasuki lobi hotel. Ia langsung naik ke lantai 18, sengaja memperlambat langkahnya. Ia tahu malam pertama ini hanyalah formalitas di hadapan keluarga besarnya. Berharap Liam masih belum selesai mengurus urusan pria itu dan ia akan menemukan kamar yang kosong. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya pikirannya bertanya-tanya di manakah Dennis saat ini. Ponselnya sudah hancur dan tak bisa digunakan untuk memastikan apakah nomor Dennis masih aktif atau tidak. Lana berhenti tepat di kamar 1809, menempelkan kartu yang diberikan Sonia dan langsung masuk. Dan seakan waktu berhenti putar di hanya untuknya. Juga jantungnya. Di atas ranjang dipenuhi kelopak bunga mawar merah, Liam berbaring setengah telanjang. Di atas pria itu, seorang wanita berambut panjang yang mengenakan lingerie merah menyala, menindih tubuh Liam. Sibuk mencumbu d**a pria itu yang terekspos. Lana terkesiap keras, sedetik pandangannya bertemu dengan Liam. Sebelum kemudian wanita itu membekap mulutnya dan berbalik. Menarik pintu tertutup di belakangnya dan berlari menuju lift. Jantungnya berdebar dengan keras ketika ia berhasil masuk ke dalam lift yang kosong. Air matanya jatuh, yang langsung Lana seka dengan punggung tangan. Ia tak seharusnya menangis. Ia tak punya alasan untuk terluka. Perasaannya pada Liam sudah tenggelam sejak lama. Tanpa arah tujuan, tanpa dompet dan tanpa ponsel. Lana hanya melangkah. Ke mana pun kakinya menuju. Apartemen Dennis. Lana menekan bel, mengetuk. Tak ada jawaban dari dalam. Ia duduk tersungkur di lantai yang dingin. Dennis pun mencampakkannya. Seharusnya ia tak perlu merasa terbodohi seperti ini. Hari terburuk sepanjang hidupnya. Belum pernah ia merasakan kehancuran sedalam ini. Ia melangkah keluar dari gedung apartemen Dennis. Membiarkan kakinya melangkah hingga ia merasa begitu pegal dan duduk di halte bus. Menatap kosong mobil-mobil yang berlalu lalang di jalanan. Dunia di sekitarnya masih berputar, tapi malam ini tak terlalu pemurah untuk hidupnya.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
115.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook