Part 16

1818 Words
Sepanjang perjalanan, Marisa tak henti-hentinya menggoda Liam dengan sentuhan-sentuhan di tubuh pria itu yang bisa didapatkannya. Bahkan tak sungkan-sungkan memanyunkan bibirnya demi mendapatkan kecupan di bibir Liam. Tapi sayangnya Liam sedang tak berminat meladeni Marisa dan mengurai lilitan Marisa di tubuhnya ketika ponselnya berdering. Sepanjang sisa perjalanan, Marisa tak berhenti memberengut karena Liam tak ingin diganggu urusan pekerjaannya. Setelah mobil mengantar Marisa ke salah satu gedung apartemen mewah yang dibelikan Liam untuk wanita itu. “Ah, Liam.” Marisa yang sudah membuka pintu mobil mendadak berhenti dan berbalik. Merangkulkan kedua lengannya ke leher Liam. Lalu berbisik di depan telingan Liam tetapi suara bisikannya masih terdengar jelas di telinga Lana. “Temanku mengatakan ada satu unit kosong di gedun apartemenmu. Bisakah kau mendapatkan satu untukku?” Kali ini pertanyaan Marisa membuat Lana yang sejak tadi bergeming di jok depan bergerak dengan tak nyaman. Tetapi tetap menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang dan ikut campur urusan Liam dan Marisa. Urusannya dengan Liam adalah menjadi istri pajangan pria itu dan menghangatkan ranjang Liam ketika pria itu menginginkannya. Di luar itu sama sekali bukan ranahnya. Dan fakta tersebutlah yang membuat hati Lana terperas. *** Liam baru meletakkan macnya ketika mobil berhasil diparkirkan di area khususnya di basement. Lana turun lebih dulu dan langsung berjalan kea rah lift. Liam menyusul tak lama kemudian. Hingga lift sampai di lantai mereka, Liam dan Lana masih tak saling bicara. Keduanya masuk ke dalam kamar,  dan saat itulah Lana tak tahan lagi untuk menahan bibirnya tetap terbungkam oleh ganjalan di dadanya lebih lama lagi. “Liam?” panggil Lana ketika ia memanjat naik ke tempat tidur. Liam yang masih sibuk menggeser-geserkan jemarinya di layar mac, mengangkat wajahnya menanggapi panggilan Lana. Wanita itu sudah menaikkan kedua kaki ke atas tempat tidur dan menyelipkannya di balik selimut, lalu tubuhnya bergerak memutar ke arahnya dengan kedua tangan saling meremas di pangkuan. Menampilkan kegugupan yang dengan susah payah disembunyikan oleh wanita itu. Tampaknya Lana sedang menginginkan sesuatu darinya, yang terlihat begitu penting. “Bolehkah aku meminta satu permintaan padamu.” Liam menatap wajah Lana sejenak, tetapi tetap mengangguk singkat. Dan sebaiknya bukan tentang Dennis sialan itu lagi, kan? dengusnya dalam hati. “Kita akan bercerai dalam waktu dua bulan. Bisakah kau menunda permintaan kekasihmu sampai kita berpisah.” “Permintaan?” Lana mengangguk. “Mengenai apartemen yang dia minta padamu. Di gedung ini.” “Kenapa?” Liam menatap kesungguhan dalam permintaan Lana, yang masih saja berusaha ditutup oleh harga diri wanita itu. Mulut Lana terbuka, tapi kemudian menutup lagi. Bibirnya yang mengering, mendadak kehilangan kata-kata. Tidak mungkin ia harus mengatakan kecemburuannya sebagai alasan bagi Liam untuk tidak mengambulkan permintaan Marisa, kan. Bahkan dengan kegemaran Liam terhadap wanita, Marisa tetap mendominasi perhatian Liam. Bagaimana mungkin ia mencoba menginginkan hal sebesar ini dari Liam. Lana pun menggeleng dan berkata, “Tidak usah. Kau bebas melakukan apa pun sesukamu.” Lana langsung berbaring memunggungi Liam begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Liam meletakkan macnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh pundak Lana, kemudian membalik tubuh wanita itu menghadapnya. “Apa yang akan kau berikan padaku jika aku memilih mengabulkan keinginanmu ketimbang Marisa?” Lana menelan ludahnya, napasnya seketika tertahan ketika wajah Liam bergerak semakin dekat. “Tidak ada yang gratis di dunia ini, Lana.” “Apa kau mungkin akan mengabulkannya?” Liam mengangguk. Singkat tapi jelas itu sebuah anggukan persetujuan. Lana terpaku, selintas keterkejutan melintasi wajahnya dengan anggukan yang diberikan oleh Liam. Tak menyangka pria itu akan mengabulkan keinginannya secepat itu. “Apa yang kau inginkan?” Lana berhasil mempertahankan suaranya tak sampai bergetar. Mengingat jantungnya yang mulai berdegup tak beraturan. Wajah Liam semakin dekat dan memangkas jarak di antara mereka. Dan bibir mereka sudah nyaris menempel ketika Liam berbisik di atas Lana. “Kau. Aku menginginkanmu. Amat sangat.” Napas Lana yang tertahan serasa dicengkeram di d**a. “Bolehkah?” Lana menelan ludahnya sekali. Kenapa pula pria itu meski bertanya. Di saat Liam tahu bahwa pria itu tetap akan mendapatkan keinginan tersebut tanpa perlu konfirmasi darinya. “Aku butuh kau mengangguk.” Liam bernapas, yang membuat seluruh permukaan wajah Lana terbakar. “Atau kata ya.” Bibir Lana membeku, bahkan terlalu sulit untuk mengucapkan satu kaya yang hanya terdiri dari dua huruf. Lana pun memilih mengangguk, dan saat itu juga Liam mengambil lumatan penuh hasrat yang membara di tubuh pria itu. Membakarnya hidup-hidup dan hanya Lana lah yang mampu menuntaskan rasa lapar tersebut. Memadamkan api gairah tersebut dengan tubuh Lana. Hanya Lana. Liam melampiaskan rasa lapar yang sudah ditahannya selama seminggu penuh. Tak membiarkan seinci pun tubuh Lana terlewatkan dari sentuhannya. Dan malam itu tidak berakhir begitu saja. Membuat Lana benar-benar kewalahan. *** Dua bulan pernikahan pun masih berlalu begitu saja. Liam tak pernah absen menginginkan tubuh Lana, begitu pun wanita-wanita yang sering Lana pergoki sedang berjalan bersama pria itu di restoran atau pun pusat perbelanjaan. Kali ini Lana tak bisa menahan protesnya, ketika siang itu Sonia memergoki Liam bersama Evans. “Tidak mungkin itu Liam, Sonia.” Lana berhasil mengeluarkan suaranya tanpa getaran sedikit pun. “A-aku … aku baru saja keluar dan makan siang dengannya. Sonia tak langsung menjawab. “Kau yakin?” “Pertanyaanmu tak masuk akal. Tentu saja aku yakin makan siang dengan suamiku sendiri. Bagaimana mungkin aku mempertanyakannya, Sonia.” “Kau terlihat tak begitu menyukai suamimu, di makan malam keluarga kita, Lana.” “K-kami … kami saat itu sedang ada sedikit masalah.” Terdengar suara helaan napas Sonia. Tak perlu berpikir ulang untuk memercayai Lana. “Evans juga mengatakan hal yang sama. Sepertinya aku memang salah lihat.” Lana menelan kelegaannya. “Lagipula, kenapa kau memberitahuku hal semacam ini, Sonia. Bukankah kau sangat menyukai Liam? Kaulah satu-satunya orang yang paling suka dengan kekacauan pernikahanku dengan Dennis.” “Ya, memang. Tapi aku tak sebuta itu jika Liam mengkhianatimu.” “Kau mengenal Liam.” Kebaikan dan kesetiaan Liam di masa lalu pada Sonia tampaknya lebih berpengaruh ketimbang penjelasan yang Lana berikan “Itulah. Sepertinya aku memang salah lihat.” Sonia diam sejenak. “Ah, apa kau akan menemaniku fitting baju besok siang?” Lana menghela napas penuh kelegaan dengan pengalihan pembicaraan yang dimulai oleh Sonia. Dan fitting baju, pada akhirnya Evans akan bertunangan dengan Sonia. Mereka berdua berhasil meyakinkan untuk menjalani ikatan tersebut lebih dulu sebelum mengarah ke jenjang pernikahan seperti keinginan mama mereka hang begitu menggebu. “Kenapa kau tidak pergi dengan Evans saja?” “Evans … dia sibuk.” “Sibuk?” “Y-ya.” “Tidak adakah alasan lain yang tidak terdengar begitu dibuat-buat selain sibuk, Sonia.” “Ck. Diamlah, Lana. Seperti yang kau katakan, kami sedang sedikit bertengkar.” “Dan kau bahkan membahas tentang Liam dengannya saat makan siang satu jam yang lalu.” “Itu hal yang berbeda. Sudahlah. Aku akan menjemputmu nanti siang, dan jangan menggunakan Liam sebagai alasan. Aku sendiri yang akan menelpon dan mengatakan padanya. Titik. Bye.” Sonia memutus panggilannya. Dan hanya berselang beberapa menit, Evans menghubunginya. “Apa benar yang dikatakan oleh Sonia?” tanya Lana tepat setelah menjawab panggilan tersebut. Terdengar helaan yang berat dari seberang. “Tidakkah ini berlebihan, Lana?” Lana terdiam sejenak. “Apa maksudmu?” “Kau terdengar lebih khawatir akan Sonia yang memergoki mereka ketimbang dirimu sendiri dalam pernikahan ini, Lana. Ini tidak benar.” “A-aku …” Lana membasahi bibirnya yang mendadak kering. “Aku baik-baik saja, Evans.” “Kau tidak baik-baik saja, Lana.” Suara Evans terdengar ditekan begitu dalam. “Kau tak pernah baik-baik saja dengan semua ini.” Kali ini kalimat Evans berhasil membisukan mulut Lana. Dan saat itulah setetes air mata jatuh di pipi Lana. Evans benar, ia tak pernah baik-baik saja dengan semua ini. Ia benar-benar sudah muak dengan semua ini, tetapi seberapa kerasnya ia berusahan bertahan. Rasanya semakin dan semakin menyakitkan. Hingga ia tak tahu bagaimana cara untuk berhenti dari semua ini. Dan panggilan terputus begitu saja. Tangan Lana terangkat, menyeka basah tersebut dan mengerjap-ngerjapkan matanya demi mencegah tetesannya menjadi beruntun. Dadanya terasa begitu sesak, dan ia semakin membenci bahwa semua alasan itu karena Liam. “Sonia memergokimu dengan wanitamu, Liam,” ucap Lana ketika Liam baru saja pulang dari kantor. Langkah pria itu yang sudah menyeberangi kamar mereka terhenti, menatap wajah Lana dengan kerutan di kening. Terlihat mencoba mengingat sesuatu. “Tadi siang?” Salah satu alis Liam terangkat. Lana benci ketika Liam mengonfirmasi hal tersebut. Tidak bisakah pria itu berbohong dan mengatakan itu tidak benar. Rasanya itu lebih baik ketimbang sesak yang semakin mengembang di dadanya. Tangan Lana mengepal, dalam usahanya memendam keperihan tersebut dari hatinya. “Dan beberapa malam lalu, dia mengatakan melihatmu di klub malam bersama seorang wanita. Bisakah kau sedikit berhati-hati.” Liam mengernyit, tampak mengingat tetapi kemudian menggeleng. “Aku ke sana untuk mendatangi pesta temanku. Dan di sana banyak teman-temanku, Lana. Pria atau pun wanita. Bukan salahku aku selalu menjadi pusat perhatian.” Lana mendesah keras. “Hanya kurang dari satu bulan kita bercerai, Liam. Tidak bisakah kau sedikit bersabar untuk menyembunyikan hal ini dari keluargaku?” Wajah Liam mendadak mengeras. Hanya kurang dari satu bulan? Lana tak berhenti menghitung berapa lama mereka sudah menghabiskan waktu dan tak sabar ingin waktu cepat berlalu. Dan kurang dari satu bulan? Apakah secepat itu waktu berlalu? Dua bulan telah berlalu. Dan sepanjang dua bulan pernikahan, ia tak berhenti menghukum Lana. Membuat wanita itu membayar semua luka hati yang diberikan oleh Lana kepadanya. Tetapi tidak satu pun dari semua itu yang berhasil melegakannya. Rasanya Liam semakin tersudut. Dijepit oleh waktu. Liam membalikkan tubuhnya, melempar jas dan membuka kancing kemejanya dengan langkah terburu. Ia berhenti tepat di depan Lana, membuat wanita itu terhuyung satu langkah ke belakang yang langsung ditahan oleh kedua tangan Liam di pinggang. “Kalau begitu, sebaiknya kita tak menyia-nyiakan satu bulan ini untuk bersenang-senang, bukan?” Secepat Liam menyelesaikan kalimatnya, detik berikutnya Liam memangkas jarak di antara bibir mereka. Tanpa melepaskan lumatannya, Liam mendorong tubuh Lana berbaring di tengah tempat tidur dan menindihnya. Melucuti pakaian Lana dan wanita tak pernah bisa menolak dirinya. Ia tak pernah mengijinkan Lana menolak dirinya. Dalam setiap sentuhannya, dan di setiap tetes peluhnya yang meneter di kulit telanjang Lana. Ia tahu setiap luka yang berhasil ia torehkan untuk Lana. Namun wanita itu baik-baik saja. Tidak seperti dirinya. Dan ia tidak bisa menjadi yang tidak baik-baik saja seorang diri. “Kita akan membahasnya setelah tiga bulan, Lana. Seperti yang kita sepakati. Sebelum itu, aku hanya perlu mengurus urusanku dan begitu pun denganmu. Apa kau mengerti?” Lia menarik dirinya dari tubuh Lana, berkata di antara napasnya yang terengah. Menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh telanjang Lana, yang langsung bergerak menarik selimut dan memunggunginya. Liam menoleh ke samping, tertegun untuk beberapa saat yang panjang menatap pundak telanjang Lana. Bergerak naik turun dengan teratur. Wanita itu sudah tertidur. Liam menarik selimut tersebut dengan perlahan hingga menutupi pundak Lana. Kemudian bergerak turun dari tempat tidur. Ponselnya bergetar. Menampilkan nama Marisa. Tangannya terjulur, menggeser tombol merah sebelum bangkit dan pergi ke kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD