Kemarahan Dion

1249 Words
1 minggu sebelumnya. Di pusat kota, sinar matahari yang melihatkan senyum cerahnya. Burung-burung berkicau begitu nyaringnya. Nyanyian pagi hari khas saat ini. Ditemani udara sejuk yang sudah jadi hal biasa di sana. Lalu lalang pejalan kaki yang melintas di trotoar jalan. Terlihat dua orang pasangan sedang bermadu kasih menikmati pemandangan sekitar taman kota. Suasana cerah, Di sebuah cafe kecil yang selalu jadi langganannya. Jari-jari gadis itu tertuju pada laptop di depannya. Dengan rambut sudah acak-acakkan tersapu angin sepoi pagi hari yang begitu sejuk menusuk ke tulangnya. Di pagi hari yang cerah, ditemani secangkir kopi, laptop dan pujaan hatinya. Dia membuat sebuah karya tulis yang begitu ia banggakan selama ini. Meski bukan penulis yang terkenal tapi dia berusaha sekeras tenaga agak karyanya bisa dihargai semua orang. Sebuah karya tulis n****+ baginya adalah kehidupan baru, setiap cinta dan kehidupan dalam n****+ biasa dia lihat dari orang di sekitarnya selama ini. Dan n****+ terakhir yang dia buat entah mengisahkan siapa, terbayang di pikirannya sendiri sebuah ide itu. Dan langsung ditulis begitu lancar di laptopnya. Tapi tak hanya tulisan sebagai masa depannya. Dia mencari nafkah sendiri untuk membiayai kuliahnya. Meski dibilang terlahir sebagai keluarga terpandang. Tapi kehidupannya jauh dari hiruk pikuk kemewahan keluarganya. Dia terlahir seakan tak di inginkan di keluarganya. Punya kakak perempuan juga tidak terlalu peduli dengannya. Tapi meski begitu Alice sangat. Di setiap hari Alicia selalu ditemani oleh Rain cinta pertama dan terakhir baginya. Tapi tidak tahu, apa kata takdir nanti. Apa Tuhan akan menyatukan cinta mereka atau hanya sebuah khayalan belaka. "Sayang!! Apa kamu gak mau minum kopi kamu dulu?" Raih mengambil teh hangat yang baru saja dia pesan di cafe sebelah. "Bentar, sayang!! Sedikit lagi!!" "Kamu nulis cerita yang mana?" tanya Rain penasaran. "Ternyata cinta yang tak bisa bersatu," jelasnya tanpa menatap Rain, pandangan mata dan tangannya tertuju pada laptop. Alice menghentikan ketikannya. Dia menatap ke arah Rain yang dari tadi setia duduk di sampingnya. Meraih tangan, lalu mengusap lembut punggung tangan Rain. "Sayang! Besok aku ingin mengenalkan kamu pada keluarga aku," Alice menarik kedua alisnya ke atas bersamaan. "Kamu yakin?" tanya Rain memastikan. Bukanya dia tidak yakin dengan kemampuan kekasihnya itu. Tetapi dia merasa ada yang janggal dengan apa yang dia tulis. "Iya, aku sangat yakin. Bagiku hubungan kita sudah lama. Kalau lama-lama nanti dikira kredit rumah," goda Alice terkekeh kecil. Rain ikut terkekeh kecil, "Hehe. Bisa saja kamu sayang" gumam Rain. "Baiklah.. Besok kita akan pergi ke rumah kamu berdua," Rain meletakkan tangannya kirinya di atas punggung tangan Alice. Mengusap lembut tangannya. Membuat kedua mata mereka saling tertuju. "Tapi kamu harus pulang, jangan lagi tinggal sendirian," kata Rain, "Kamu harus berubah jadi Alice yang selalu patuh terhadap orang tuanya. Jangan membangkang lagi," ucap Rain sok bijak. "Siap, baby!" Alice mencubit kedua pipi Rain lembut. "Makasih," Rain menarik bahu Alice mendekap tubuhnya erat. "Sayang, aku harap kita akan bersama selamanya." ucap Rain, mengusap lembut lengan Alice, hingga jemari tangannya menyentuh sebuah gelang kusut yang masih berada di tangannya. "Gelang ini," gumam Rain. "Kenapa?" "Kamu lepas gelang ini, aku akan berikan yang baru nantinya. Lagian gelang ini sudah kusam," Rain yang tidak terlalu suka dengan gelang itu, dia mencoba untuk melepaskan gelangnya. dengan sigap Alice menarik tangannya. "Jangan sentuh gelang ini," ucap Alice memeluk tangannya. Mencium lembut gelang itu. "Kenapa? Apa gelang itu dari seseorang?" tanyanya. "Gak penting, asalkan kamu dan aku cepat-cepat menikah sekarang" potong Alice. Memegang kedua pipi kekasihnya, mengusapnya lembit, lalu mengecup beberapa detik bibirnya. "Sudah, sekarang kita bersiap. Aku mau segera daftar kuliah," lanjut Alice, beranjak dari duduknya. "Tapi----" "Udah, ayo. Aku gak mau kita telat nanti," Alice menarik tangan Rain segera pergi dari cafe itu. Drrttt... Getaran ponsel Alice terdengar jelas di dalam tasnya. Alice segera mengambil ponselnya, melihat layar ponselnya, terdapat sebuah nama Delisa. "Kakak?" tanya Alice mengernyitkan wajahnya. "Kenapa?" "Kakak aku, tumben banget dia menghubungiku, padahal aku tidak pernah sama selalu menghubunginya," jelas Alice, melirik sekilas ke arah Rain. Dia terheran-heran tidak menyangka. "Sekarang buka apa isi pesan dari kakak kamu, siapa tahu penting," "Tapi aku malas," Alice ingin memasukan kembali ponselnya, dan Rain memegang tangannya menghalangi dia. "Lebih baik buka dulu, daripada kamu menyesal nanti," ucap Rain menasehati. Alice memandang kekasihnya, kedua mata mereka bertemu, dan Rain memberikan kode padanya dengan kedipan mata. Membuat alice ketika menghela nafasnya. "Baiklah!" Alice mulai membuka pesan dari Delisa. Alice, Aku ingin bilang padamu. Kamu jaga orang tua kita. Jangan pergi lagi dari rumah. Maafkan kakak kamu yang tidak pernah sayang denganmu. tapi sebenarnya kakak sangat sayang. Aku mau besok kamu pulang, dan aku meletakkan surat di meja kamar kamu. Dan kamu buka sendiri, dan bacalah nanti apa pesan surat itu. Bye.. Salam hangat dari kakak kamu tercinta. "Apa yang dia bilang?" tanya Rain. "Alice menatap ke arah Rain, "Dia ingin aku pulang. Gak tahu kenapa dia jadi berubah," Rain mengusap lembut ujung kepala Alice, tersenyum tipis padanya. "Besok aku antar kamu pulang, dan sekalian aku bertemu orang tua kamu." "Dan semoga kakak kamu benar-benar berubah, jadi kalian bisa akrab lagi," ucap Rain menghibur Alice. "Oh ya! Kamu masih sering chat Delisa, kan? Apa dia membicarakan aku tidak?" tanya Alice. Rain menghela nafasnya, "Sebenarnya dia selalu tanya kabar kamu. Tapi aku gak berani bilang, dia menyuruh aku untuk tutup mulut." #Dion Pov. Seorang laki-laki tampan, dengan jas hitam, dia duduk di kursi kerjanya ditemani asisten pribadinya yang sudah lama bekerja dengannya. Laki-laki itu membayangkan bagaimana jika menikah dengan orang yang selama ini dia kagumi. Wanita yang dulu pernah menolongnya. Tapi entah dia masih mengingatnya atau tidak. Mungkin tidak, dan dia sadar jika akan dapat penolakan darinya. Tetapi dia tidak akan bisa menolak. Karena Dion akan selalu mengejarnya sampai ke ujung dunia sekalipun. Delisa kamu akan menjadi milikku, milikku dan akan terus menjadi milikku. Tidak akan ada yang boleh memilikinya. Dion menyeringai sinis, dia sudah tidak sabar lagi untuk meminang pujaan hatinya. Bukan hanya semua harta miliknya akan jatuh ketangannya. Dia juga bisa mendapatkan. Baginya Delisa adalah harta terindah yang dia dapatkan nantinya. Bisa hidup bahagia bersamanya, itu yang dia inginkan. "Lucas!!" panggil Dion. "Siap, Tuan." Lucas berdiri tegak di sampingnya, lalu menundukkan badannya beberapa detik, tanda menghormati pada atasnya. "Lucas, aku mau kamu pergi ke rumah Delisa sekarang, bawa dia ke hadapanku," pinta Dion lantang. "Naik, tuan!!" Lucas menundukkan badannya kesekian kalinya. Lalu beranjak pergi meninggalkan Dion sendiri. Setelah Lucas pergi. Dion hanya hanya diam menatap melamun menunggu kabar dari asistennya itu. "Delisa, Delisa, Delisa," gumam Dion, menarik bibirnya dengan senyum penuh kebahagiaan di wajahnya. Kamu membuatku gila. Kamu membuatku menderita karena cinta. Tapi kamu yang aku cari selama ini. Dan aku yakin jika kamu adalah orang yang pernah menjadi teman dekat aku dulu. wanita tanpa nama. Itu panggilanku padamu dulu, pasti nanti kamu akan mengingatku. -------- Hampir 20 menit berlalu. Dion hang masih stay di tempatnya. Drrrtttt... Getaran keras di atas meja kerjanya, membuat Dion terbangun dari lamunannya. Selang berapa lama akhirnya yang dia tunggu-tunggu tiba, Lucas menghubunginya. Melihat ponselnya ada telepon dari Lucas, Dion segera menerima tanpa banyak berpikir lagi. "Gimana?" tanya Dion menyela lebih dulu. Tanpa membiarkan Lucas menyapanya. "Maaf tuan!!" Dion mengerutkan alisnya. "Maksud kamu apa?" tanyanya dengan wajah penuh kekesalan. "Nona Delisa kabur dari rumahnya?" Brakkk... Dion beranjak berdiri dengan tangan kanan menggebrak meja cukup keras membuat Lucas di seberang sana dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Apa katamu?" tanya Dion sambil menggertakkan bibir. "Maaf tuan!!" ucap Lucas lagi, Dan dion mengabaikannya, dia langsung mematikan ponselnya. Melemparnya tepat mengenai tembok putih di sampingnya. Ponselnya hancur berantakan. Dion mengepalkan tangannya di atas meja, amarahnya mulai mengobar, membakar seluruh ruangan miliknya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD