Ello POV.
Sebelum kita bahas soal Noah, Bella dan Naya. Aku harus cerita dulu akhir dari acara dinner dengan Naya.
“Kok?” protesnya karena aku yang langsung mengambil map berisi tagihan makan malam kami.
“Gak akan gue biarin elo traktir gue” jawabku.
Tapi kok ya malah cemberut.
“Beneran ngarep kita kencan ini mah kalo elo yang akhirnya bayar” protesnya lagi.
Aku abaikan dengan memberikan kartu kredit milikku pada pelayan resto yang akhirnya pamit pergi. dan aku tertawa menanggapi protes Naya.
“Kita kencan apaan sih Nay, sepanjang makan aja, elo jutek terus gak ada mesra mesranya sama gue” jawabku.
“Tuh ngarep lagi” protesnya lagi.
Dan aku akan tertawa lagi. Tidak ada kamusnya lelaki dalam keluarga Syahreza membiarkan perempuan membayar, sekalipun awalnya sebuah traktiran. Bukan sombong, tapi rasanya gak gentleman aja, masa di bayarin makan cewek sih?.
“Iya gak ngarep, tau diri gue. Elo kan beda sama cewek cewek yang suka gue ajak hang out. Jadi close case okey!!” pintaku tepat pelayan kembali untuk mengembalikan kartu kredit milikku.
“Good choice” komennya.
Berdirilah aku untuk membantunya bangun.
“So gentleman…apa lagi modus?” ejeknya lagi tapi tidak menolak aku ajak bangkit.
Curiga mulu, astaga!!!. Jadi aku tertawa lagi.
“Mesti banget kita pegangan tangan?” ejeknya lagi karena aku bertahan menggenggam tangannya.
“Diem, kalo gue yang pegangin, nanti kalo elo kesandung, gue bisa tahan supaya elo gak malu, kan elo lagi pake sepatu hak tinggi” jawabku lalu mengempit tangannya di ketiakku.
Tertawalah dia. Dan aku bersyukur dia membiarkan tangannya tetap aku kuasai saat kami berjalan keluar resto.
“Gue antar pulang apa gimana?” tanyaku saat dia melepaskan tangannya di depan pintu masuk resto.
“Supir bokap nunggu di parkiran sih, wait gue telpon dulu” jawabnya.
Okey, beneran susah banget untuk berduaan lebih lama lagi. Bukan apa, aku seperti sudah punya feeling kalo setelah ini, Naya tidak akan mencariku lagi.
“Gue balik ya El, makasih loh jadi elo yang traktir gue. Menang banyak dong gue” katanya setelah mobil papanya berikut supir sudah sampai di hadapan kami berdua.
“Okey…” jawabku lalu bergerak mempersilahkannya jalan lalu aku buka pintu mobil untuknya.
“So sweet…manisnya elo, hati hati diabet” ejeknya lagi.
Aku tertawa lagi.
“Wait Nay!!” jedaku sebelum dia masuk mobil.
“Ya?” jawabnya berhenti untuk masuk mobil.
Kesempatan saat dia lengah, aku cium dong pipinya dengan mode cepat.
“Dikit, biar sama sama menang banyak” jawabku pada tatapan terbelalaknya.
“MODUS!!” cetusnya protes.
Aku tertawa saja.
“Ayo masuk, pulang, istirahat ya. Biar kecantikan elo tetap terjaga” paksaku kali ini dengan menyentuh bagian atas kepalanya supaya dia cepat masuk mobil juga baru aku tutup pintu mobilnya.
Aku pikir dia tidak akan membuka kaca jendela mobil, tapi dia buka juga sebelum benar benar berlalu.
“Asalamualaikum….Awas lo kangen gue” pamitnya galak di akhir.
Aku terbahak dong.
“Walaikumsalam Naya sayang aku” balasku.
Tapi dia tertawa sebelum jendela kaca mobilnya tertutup, dan aku hanya bisa menatap kepergiannya begitu saja. Belum apa apa malah sudah kangen juteknya Naya.
Tapi bisa apa aku?. Segala sesuatu yang di paksakan itu tidak baik. Jadi aku memilih pulang, dan kedua orang tuaku masih bangun saat aku pulang.
“Gimana?, sukses dinnernya?, mau gak jadi pacar kamu anak Sagara?” sambut mama saat aku mengambil tempat di sebelahnya.
Aku tertawa saat papa melirikku sekilas lalu focus menonton TV lagi. Adik bungsuku pasti sedang menginap di rumah Biyan. Setiap akhir pekan juga begitu, untuk menemani mama Biyan yang kesepian karena Biyan di Amrik. Aku ya kebagian menemani mama papaku. Kakakku sedang di Amrik deh kayanya, karena mau ada pagelaran fashion gitu.
“Mama kasihan gak sih sama papa?” tanyaku.
“Loh, kok mama tanya apa, kamu bukan jawab malah tanya mama itu?. Mama sih lebih kasihan sama kamu yang ngejar ngejar Naya sejak dulu, tapi sampai sekarang belum jadi pacarmu” jawab mama.
Aku tertawa lagi sambil mengendurkan dasi yang aku pakai. Jas sudah aku buka sejak tadi.
“Nanti kalo aku pacaran sama Naya, terus serius, mama pusing lagi karena aku mesti langkahin kak Acha nikah, sementara kak Acha sama pacarnya masih gitu gitu aja” jawabku.
Baru papa menoleh ke arahku dan mama menghela nafas.
“Kita kenapa ya yang, punya anak keceh keceh, tapi kehidupan percintaannya begini amat” keluh mama.
Papa tertawa sepertiku.
“Yang satu pacaran, satu amiin, tapi beda iman. Yang satu suka anak gadis orang dari piyik, dan satu iman, tapi kok ya susah banget juga” keluh mama lagi.
Aku dan papa tertawa lagi.
“Hei, aku udah bilang, hidup cukup di jalanin, apa yang terjadi di depan nantikan kita gak tau. Jadi sabar aja” jawab papa selalu.
“Semoga Caca punya love story lebih baik dari Sarmijan dan Acha” kata mama berikutnya.
“AAMIIN!!!” jawabku lalu mama terbahak.
Aku tidak begitu tau soal Caca. Adik bungsuku itu rasanya lebih sibuk dengan urusan belanja, di banding sibuk dengan urusan anak bujang. Apa aja yang dia mau pasti papa, mama Biyan, dan tante Nadine, adik bungsu papaku, turuti terus. Tante Nadine kan pensiunan gadis kartu kredit jadi turun ke Caca, sementara mama Biyan karena tidak punya anak perempuan, jadi menganggap Caca anak perempuannya. Biyan juga santai sih mamanya di d******i Caca, karena tidak punya saudara lain. Mamaku yang dari dulu sahabat baik mama Biyan, juga mau berbagi Caca, jadilah Caca banyak yang manjakan.
“Mama tanya juga gimana acara dinnernya dengan Naya?” ulang mama.
“Ya gak gimana gimana, makan, selesai, trus pulang” jawabku sejujurnya.
“Percuma dong kamu minta cing Mamat mundur dari proyek tender yang Naya ikuti atas nama GW?” ledek papa.
Aku tertawa menanggapi.
“Proyek receh, biar GW yang menang atas nama Naya” jawabku.
Papa geleng geleng sambil tertawa tanpa suara.
“Gak tega ya kamu, kalo sampai kamu yang menang atas Naya?” ledek papa lagi.
Aku menghela nafas.
“Gak juga sih, anggap aja belum rezeki pah. Lagian Naya seeffort itu untuk menang itu proyek sampai pingsan pingsan karena lupa makan. Gak teganya lebih ke situ” jawabku.
“Bukan karena takut Naya marah kalo kamu ikut dan kamu menang?” ledek papa lagi.
Aku tertawa lagi.
“Serah papa deh mau mikir apa” jawabku sambil bangkit berdiri.
“Loh mau kemana?” tanya mama.
“Tidurlah, mau ngapain lagi” jawabku lalu merunduk untuk mencium pipi mamaku.
Teman aku berantem kalo saat aku masih kecil, tapi sekarang aku semakin malas melayani mamaku berdebat, karena kasihan mama sudah semakin tua, tapi tetap cantik sih, papaku aja makin ganteng.
“Ini kenapa mama berharap kamu pacaran dengan Naya, kamu jadi gak berkeliaran di jalan” kata mama.
“Doain aja, doa ibu yang paling di dengar Tuhan” jawabku sekenanya.
“Kamunya gak usaha, malah sibuk ngangon cewek gak jelas” omel mama memulai.
Lebih baik aku kabur masuk kamar daripada ribut dengan mama.
Kenapa?, kaget karena akhirnya tau kalo aku mint acing Mamat mundur dari proyek yang Naya ikuti waktu kemarin. Itu setelah kejadian Naya pingsan di ruangan kerjaku, besoknya aku menemui papaku dan cing Mamat.
“Mundur deh pah, proyek receh buat Syahreza group kali” kataku.
Tertawalah papa dan cing Mamat waktu itu.
“Pasti gara gara perawan Sagara yang maju untuk wakil GW kan?” ledek cing Mamat.
Aku berdecak.
“Malu kali cing lawan perempuan. Apalagi yang statusnya masih jadi mahasiswa arsitektur. Apa yang bisa di banggain” jawabku.
Terbahaklah cing Mamat dan papa geleng geleng menatapku.
“Sumarin Group aja gak ikut” tambahku.
Aku tau soalnya. Urusan tender pasti aku di libatkan sekalipun aku hanya bantu bantu cing Mamat atau papaku sebelum maju tender proyek. Aku bisa datang ke lokasi proyek untuk mengawasi orang suruhan papa mengukur pasti tempat lokasi, mengurus AMDAL, perizinan sampai datang kepertemuan para investor proyek tender itu, jadi papa dan cing Mamat bisa focus di proyek lain yang sedang berjalan. Kami tim dan aku masih anak bawang sebenarnya, jadi aku yang selalu di kirim keluar kantor, entah di Jakarta atau luar kota. Cing Mamat bilang aku punya public speaking lebih baik darinya, persis papaku. tapikan papa sudah semakin tua untuk pergi jauh jauh dari rumah, kasihan mama juga. Jadilah aku yang di utus. Ada cing Iwan, adik bungsu mamaku dan cing Mamat, tapi dia focus pada penyediaan barang material proyek, jadi tidak bisa di ganggu juga.
“Okey, tapi lain kali papa tidak akan melepas proyek mana pun sekalipun kamu minta” kata papa.
Aku mengangguk saja waktu itu. Yang penting saat ini, dua saingan Naya untuk dapat proyek tender itu sudah tidak ikutan. Naya hanya harus head to head dengan proyek kontraktor swasta lain yang reputasinya di bawah GW. Jadi kans Naya untuk menang semakin besar. Ya gimana pun bendera perusahaan tenpat seorang arsitek berada menentukan juga menang atau tidaknya dalam sebuah proyek. Ini soal trust issue. Tentu investor mempertimbangkan juga kredibiltas perusahan yang akan jadi vendor untuk membangun gedung yang mereka akan buat, karena terkait ketepatan waktu gedung itu jadi dengan cepat. Dan General World milik om Nino, termasuk perusahaan kontraktor yang terpercaya juga, walaupun namanya belum sebesar nama Syahreza Group atau Sumarin Group milik keluarga om Nino juga. Kalo akhirnya tiga perusahaan ini maju semua untuk tender, baru deh head to head di gambar rancangan. Tapi belakangan jarang terjadi, baik Syahreza Group, Sumarin Group dan General World milak om Nino, sudah punya pangsa pasar sendiri dan specialisasi untuk proyek apa.
Kalo perusahaan keluargaku, konsen di bangunan hunian macam Aparteman, rumah rakyat kalo sedang kerja sama dengan proyek pemerintah, juga perumahaan untuk departeman pemerintah juga. Jadi jangan kaget kalo kalian melihat perumahaan di Jakarta atau di Indonesia, pasti berlebel Syahreza Group sebegai development. Kalo Sumarin group lebih ke pembangunan unit perkantoran baik pemerintah atau swasta, termasuk gedung gedung milik pemerintah, macam sekolah, gedung kantor walikota, atau gedung departeman pemerintah. Dan General World setauku specialisasi membangun pabrik, kantor, pegudangan yang kebanyakan dari perusahaan jepang, dan korea. Setauku karena om Nino dulu itu berawal kariernya mencuat karena memenangkan proyek pembangunan gedung, pabrik dan pergudangan perusahaan merk mobil jepang. Jadi relasinya banyak di proyek itu. Makanya tender proyek depertman store merk dari Korea, masuk ke perusahaannya. Tapi ya itu, om Nino selalu mencari celah untuk bersaing dengan papaku atau om Brian, papa Biyan.
“Satu lagi anak cucu Syahreza yang sombong” katanya padaku saat kami tidak sengaja bertemu berikut papaku, dan papa Naya.
Aku udah cerita bukan ketemu om Saga dan bilang kalo Naya sekarang banyak dengan Noah keponakan om Nino?.
“Sombong apaan om?. Aku Ello bukan Biyan, yang sombong karena calon mantu om” balasku.
Om Nino langsung cemberut.
“Jangan ingatkan om bagian itu. Kalo Maura tidak cinta mati, sudah om sikat sepupumu” bisiknya.
Terbahaklah aku. Dia mau sikat, tapi kok ya malah di perbolehkan magang atau malah kerja beneran di anak perusahaan Sumarin Group di Amrik?. Apa bukan bentuk dukungan namanya?.
“Ngapain suruh papamu mundur dari proyek yang Naya ikutan?, takut kalah ya?” ledeknya.
Aku tertawa lagi.
“Apa takut Sagara gak kasih restu kamu jadi mantunya?” tambahnya lagi.
“Proyek receh om” jawabku asal.
Dia langsung terbelalak.
“SOMBONG!!!” cetusnya kemudian.
Terbahaklah aku lagi. Lucu banget dia tuh gampang banget di pancing emosinya.
“Berapa M tuh nilai proyeknya?” katanya lagi galak.
“Ya udah, Syahreza sumbangin buat GW” jawabku.
“DRA!!!, anak elo sombong amat, gede di Ciganjur doang juga” omelnya sampai lapor ke papaku.
Aku sontak terbahak lagi.
“Om tau kamu kecil yang tengil banget petangtang petenteng, padahal bergaulnya sama petasan besan doang sama temanin mamamu latih tari di situ babakan. Emang mainmu jauh?, mana ada kamu main jauh. Paling jauh piknik di ragunan” katanya lagi setelah papaku tidak menanggapi karena mengobrol dengan papa Noah, CEO Sumarin Group berikut papa Naya, jadilah aku harus melayani obrolan om Nino.
Aku terbahak lagi.
“Ya mau gimana lagi, mamaku jagoan Ciganjur, ya mainnya gak jauh dari Ragunan. Setidaknya nih ya om, kalo masuk Ragunan, tinggal bilang, cucu babeh Rachiem, keponakan bang Mamat, sama bang Iwan, yang juragan kontrakan di Ciganjur dan sekitarnya. Ngeri langsung orang, mana ada yang berani nyenggol. Beh!!!, turunan Jawara om” jawabku.
Baru om Nino ikutan terbahak.
“Serem juga sih, alamat sengol bacok. Lama lama satu kelurahan Ciganjur di pantekin atas nama Rachiem Family. Jadi trah sultan baru ya, Trah Ciganjur lewat dah trah Cendana sama Cikeas” jawab om Nino mulai tertawa lagi.
“YOMAN OM!!!” jeritku setuju lalu terbahak seperti om Nino.
Memang benar yang om Nino bilang, kedua adik mamaku tuh seperti tidak boleh melihat tanah di area ciganjur yang di jual, atau rumah yang di jual, pasti berebut mereka beli lalu di jadikan kontrakan. Lama lama benar om Nino dong, bisa jadi satu kelurahan Ciganjur tanahnya atas nama kedua adik mamaku yang sukses jadi pengusaha kontrakan rumah petakan.
Candaanku baru terhenti saat dia mendapat telpon dari istrinya. Persis papaku yang kalo mama telpon, mau sedang ngapain aja, pasti dia jawab. Jadi beralihlah aku bicara dengan papa Naya, yang bilang terima kasih lalu cerita soal Naya yang sibuk mengurus proyek dengan Noah. Sampai papa Noah juga gantian bicara denganku. Lupa aku kalo om Radit papa Noah juga ada di antara kami di acara ngopi tidak terencana. Kalo selesai suatu tender memang suka jadi kumpul kumpul sih semua yang ikutan tender, dan papaku jug acing Mamat suka di undang untuk sekedar mengobrol.
“Temanin mainlah El anak om, supaya ketularan tanggung jawab macam kamu” katanya padaku.
“Loh Noah memang kenapa om?” tanyaku tidak mengerti.
Dia menghela nafas.
“Om itu mundur dari proyek yang Naya ikutin juga, karena setuju dengan saran om Nino yang yakin Naya pasti menang kalo Sumarin Group dan Syhareza group mundur. Naya mampu focus dan tanggung jawab sampai akhir, jadi bisa tarik Noah untuk gabung di proyek itu bantu Naya sekalian belajar tanggung jawba juga. Tapi ya itu, tetap banyak main mainnya El. Om malah pusing karena Naya malah complen karena lebih sering jadi mesti kerja dua kali karena Noah lebih usaha menarik perhatian Naya di banding bantu Naya kerja” jawab om Radit.
Aku diam kali ini.
“Kalian tuh gimana sih berempat?, Kamu, Naya, Bella, dan Noah putra om?. Kamu suka Naya kan El?, atau kamu tau gak putra om sebenarnya suka siapa?, Naya atau Bella?. Atau kamu tau gak siapa yang di suka Naya atau Bella?. Pening om urusan ini. Om tidak enak pada om Oby, karena sikap Noah pada Bella” keluh om Radit.
Aku menghela nafas.
“Bawa santai aja om, kan jodoh gak ada yang tau” jawabku mencari aman.
Gantian om Radit menghela nafas.
“Kamu gak bisa El, bicara gitu pada Noah?. Ya gak usah urusan cinta cintaan deh, benar kamu, jodoh tidak ada yang tau. Ajak bicara Noah supaya mau bantu om, untuk lebih tanggung jawab di perusahaan yang nanti harus di pegang juga di masa depan. Mau kapan lagi kalo bukan sekarang El” kata om Radit.
Aku hanya mengangguk tapi aku tidak mungkin mengajak Noah bicara soal beratnya tanggung jawab kami di masa depan karena kami bagian dari pewaris bisnis keluarga kami. Bukan apa, aku tau gimana sifat Noah yang emosian sejak dulu, malah nanti kami ribut. Sementara kami sejak kecil berteman walaupun dia lebih akrab dengan Biyan sepupuku. Yang aku lakukan hanya mengingatkan Naya untuk tidak baper sekalipun Noah dekat dekat Naya saat ini. Bukan aku cemburu, kalo pun Naya akhirnya membalas perasaan suka Noah yang aku tau sejak dulu, dan aku pura pura tidak tau. Noah toh sebenarnya lelaki baik, hanya manja saja, karena cucu pertama persis kak Acha kakakku. Kak Acha aja berubah kok sekarang setelah dia semakin tumbuh dewasa. Jadi aku rasa Noah bisa berubah juga seiring berjalannya waktu. Sampai Naya menghubungiku.
“Kasihan Bella deh El, Noah tuh cuekin Bella pas kemarin ada acara di yayasan keluarganya, padahal Bella bantu banget loh. Hibur Bell dih, kan elo sebenarnya bisa di bilang sepupuan. Elo juga akrab sama Bella, gue gak enak sama Bella. Tolong ya El” pinta Naya minta bantuan aku lagi.
“Gak usah ikut campurlah elo sama urusan mereka. Fokus aja elo bantu Noah, kali elo berdua bisa makin dekat terus jadian deh” kataku menangapi.
“Siapa?, gue sama Noah?” jawabnya meninggi.
“Ya masa sama gue” jawabku.
“Ogah amat jadian sama laki yang perduli sama cewek lain, apalagi ceweknya teman gue. Yang ada drama macam mama gue, bokap gue, sama almarhum bunda Rara terulang. Gak maulah gue. Kan gue bilang cinta itu pasti kalah sama rasa kasihan. Gak tau aja lo, segitu cuekin Bella di yayasan kemarin itu, ujungnya tetap aja Noah antar pulang, bagus gue di jemput bokap gue” omelnya di telpon.
“Cie Naya cemburu nih ye sama Noah” ejekku.
“Najong” jawabnya jutek.
“Cemburuin gue aja yang suka ngangon cewek” ledekku.
“Dih ngarep. Udah urusin Bella tuh, dari pada elo ngangon cewek gak jelas.” jawabnya masih jutek.
Tertawalah aku. Dan mana mungkin aku menolak membantunya kalo tiap kali dia butuh pertolonganku. Dengan alasan mengantarkan oleh oleh dari Biyan dan mamaku untuk mami Bella juga Maura pacar Biyan jugalah, akhirnya aku menemui Bella. Eh malah makin runyam deh, karena Naya sok ikut campur urusan Noah dan Bella. Cewek kadang sok banget jadi pahlawan dalam love story orang lain, love storynya sendiri malah tidak dia urus.