10. Rasa Kasihan

2883 Words
Naya POV. Sebelum akhirnya aku harus dinner dengan Ello, kita mundur dulu dua hari sebelum hari sabtu malam ya. Itu hari yang di pilih El untuk kami pergi dinner. “Kenapa mesti malam minggu sih?” protesku tentu saja. “Biar elo santai bersiap kalo gak lagi hari kerja. Kan gue minta elo dandan yang keceh” jawabnya di telpon. “Elo ngadi ngadi apa modus supaya kesannya kita pergi kencan, dan bukan acara proyek ucapan terima kasih gue karena elo udah bantuin gue?” omelku tanpa jeda. Tawa terbahaknya lalu terdengar. “Emang ngapa sih Nay, kapan lagi bisa malam mingguan sama gue?” jawabnya selalu menyebalkan kalo aku layani permintaannya. “Gak usah jadi dah” kataku menanggapi. “Mana bisa, udah gue booking tempatnya. Jadi kalo elo gak datang, bakalan gue jemput ke rumah elo. Dan gue yakin, elo gak akan bisa nolak, soalnya bokap nyokap elo pasti ngizinin gue ajak elo pergi dinner. Tau dong lo, kalo gue pemuda idaman setiap emak emak buat jadi calon mantu” katanya lagi. Aku hanya bisa menggeram karena merasa terjebak. Sudah pasti di izinkan, karena sebelumnya aku sudah izin pada papaku untuk pergi dinner dengan El, sekalipun belum tau kapan waktunya. Papa juga sudah berikan kartu kreditnya padaku untuk mentraktir Ello makan malam tadi. Sampai papa juga sudah membayar dress cantik buatan Kiera, karena Kiera sepupuku sampai antar ke rumah baju itu kemarin. Jadi aku tidak bisa menolak juga apalagi membatalkan semua. Walaupun sempat keberatan memakai dress yang Kiera buatkan. “Terlalu terbuka Kie” keluhku karena atasan dress berwarna putih tulang yang dia buatkan untukku modelnya sabrina. “Memang kenapa?. Masih cukup sopan kok sayang. Panjangnya aja lewat lutut. Kalo modelnya tidak di buat sabrina, nanti jadi terkesan dress untuk ibu ibu” komen mama. Mama lupa apa, kalo mama pakai hijab dan gamis longgar?. Aku jadi malu kalo harus pakai dress atau gaun berkerah lebar, dan membuat bahuku terlihat jelas. “Nah benar tuh tante Sashi. Kak Naya terlalu kaku, padahal muda banget. Masa mau berdandan kaya ibu ibu. Kalo outfit kerja, bolehlah pakai baju yang terkesan dewasa, karena harus menonjolkan kesan serius dan professional” kata Kiera lagi. Aku menghela nafas. Perpaduan yang pas dengan papanya yang pengacara dan mamanya designer pakaian. Jadi pinter bicara sekali dalam kacamata fashion tentunya. “Gak enak mah, apa kata orang kalo aku pakai baju terbuka begini. Mama kan pakai hijab, masa anaknya pakai baju terbuka” keluhku. “Cape deh kak Naya” keluh Kiera menepuk jidat dan mama tertawa pelan. Aku yang langsung cemberut. “Aku bukan menjuruskan kakak untuk berkelakuan negative ya kak, sory sebelumnya” kata Kiera kemudian. Aku diam saja dan mama focus menatap Kiera. “Tapikan yang pakai hijab itu tante Sashi, dan bukan kakak. Lihat tante Karin yang juga pakai hijab, tapi santai tuh Bella pakai baju agak terbuka sesekali, apalagi kalo perginya bukan dengan tante Karin. Jadi kenapa harus risih?. Okeylah kalo kakak memang risih, terus kenapa kakak gak pakai hijab aja kaya tante Sashi sekalian” kata Kiera lagi. Mama tertawa pelan lalu mengangguk ke arahku. “Ya gue….” bingung juga jawabnya. “Karena kakak belum merasa siapkan?. Apa itu bukan sama artinya kalo kakak masih menyukai fashion kekinian?” tembak Kiera. Meringis dong aku menatap mama yang kembali tertawa. “Nak…untuk ada di titik seperti mama, tante Karin, atau teman mama yang sudah hijrah pakai hijab, tentu bukan perkara mudah. Ada tahapannya, untuk itu baik mama dan papa sekalipun tidak memaksa kamu atau Aline untuk ikutan pakai hijab seperti mama. Hijrah itu harus berasal dari dalam dirimu sendiri. sepanjang kamu atau Aline tau batasan dalam berpakaian, papa dan mama akan tetap hargai, dan tetaplah jadi dirimu sendiri. Karena mau kamu pakai baju tertutup atau agak terbuka, atau malah terbuka sekalipun, tidak akan merubah mama yang sudah seperti sekarang. Keimanan itu urusan masing masing nak. Mama atau papa hanya akan menegur kalo kami rasa kelewat batas atau tidak pantas, karena kami orang tuamu. Tentu kami tidak akan membiarkan kamu merendahkan dirimu dari caramu berpakaian” kata mama. Aku bertahan diam. “Mama mengerti kalo kamu merasa risih, dan mama hargai perasaanmu. Itu artinya dalam dirimu sudah ada pakem rem untuk tetap menjaga harga dirimu, juga keluargamu. Terkadang kadang mulut orang di luar sana, sering kali mendadak julid seakan mengerti semua hal. Apalagi sudut pandang mereka lewat kacamata agama. Semua selalu harus hitam putih, padahal belum tentu juga mereka jadi umat beragama dan beriman” kata mama lagi. Aku masih diam. “Mama izinkan kalo kamu mau pakai gaun buatan Kiera, kalo pun tidak, ya terserah kamu. Hanya gini deh, seperti saat kamu berada kolam renang, tentu tidak mungkin kamu pakai gamis, tapi pasti pakai baju renang, karena memang mengharuskan begitu, jadi orang sekitar pun tidak akan perduli kamu pakai baju renang, kecuali memang kamu tidak niat renang macam mama yang hanya duduk di pinggir kolam renang. Nah persis sekarang, sah sah aja kalo kamu pakai gaun buatan Kiera karena memang moment situasi dan keadaannya buat kamu harus pakai gaun. Ya bisa saja sih pakai gaun lain yang tertutup, ini hanya soal gimana kamu menghargai bantuan sepupumu dan menghargai Ello yang akan jadi teman dinner kamu. Senyamannya kamu nak” tutup mama. Ya sudah deh, gak enak juga pada Kiera yang sudah baik hati membuatkan aku gaun dan memgantarkan ke rumahku. Hanya saat aku pakai gaun itu, sibuklah kedua adikku meledek. “Kakak mau nikahan pah, kok bajunya kaya baju pengantin?” ledek Aline si bontot karena memang warna bajunya putih tulang. “Gaun pengantin darimana?. Gak usah ledek. Siapa juga yang mau nikahan” omelku. Tertawalah kedua adikku. “Kakak baru mau kencan dengan calon masa depan, kamu diam diam aja de” kata Nayaka, adik lelakiku yang sudah mau masuk SMA. Calon masa depan dari mana?. Ceweknya aja berantakan di mana mana. Mereka tuh terlalu ngefans doang pada Ello karena lucu di setiap moment mereka bertemu Ello. “Udah ledek kakakmu terus, nanti kakak terlambat” jeda papaku. Diam kedua adikku. “Beneran di antar supir aja?, gak di antar papa?” tanya papa padaku. “Kenapa gak bang El yang jemput kakak?. Bukannya mau kencan?” tanya Aline lagi. Astaga…mulut Aline mendadak menyebalkan. “Siapa yang kencan?. Mama gak cerita kalo ini acara traktiran aku ke Ello, karena aku menang tender?” keluhku mama. Darimana kedua adikku tau soal acara dinnerku dengan Ello kalo bukan dari mama?. “Kamu tuh ke siapa aja judes terus. Bercanda adik adikmu. Udah sana berangkat. Lama lama mama suntuk lihat kamu ngomel dan cemberut trus. Udah cantik padahal” jadi ngomel mama. Jadi lebih baik aku buru buru pamit. Sebenarnya aku lebih suka di antar papa seperti biasa. Tapi karena tidak mungkin membiarkan papa menungguku di parkiran resto sampai aku selesai dinner dengan Ello, jadi lebih baik di antar supir papa. Dan di sanalah menungguku Raquello Syahreza dengan keagungan khas bangsawan. Kalo mode pakai suit seperti yang aku lihat sekarang, baru cocok di sebut anak sultan. Coba kalo mode dia bercanda, hilang langsung aura bangsawannya, langsung jadi Sarmijan. “Kanaya!!!, beneran dandan dong, keceh banget” entah pujian atau ledekan saat akhirnya aku berdiri di hadapannya. “Gak usah bikin gue baper, gue lagi kelaperan” jawabku tapi membiarkan dia menarik kursi untuk mempersilahkan aku duduk. Dan sudah pasti dia tertawa menanggapi kata kataku, seakan aku sedang bercanda. “Still jutek. Kalo gak jutek bukan Naya sayang aku” jawabnya. Aku tanggapi dengan memutar mataku. “Elo serius amat sih dinner traktiran doang juga. Pakai jas segala” komenku. Lagi lagi dia tertawa. “Gue soalnya yakin, elo bakalan dandan abis abisan buat dinner bareng gue, jadi gue bersiaplah, supaya elo gak sia sia dandan keceh” selalu punya jawaban. Aku berdecak dulu. “Buruan pesan makannya El, laper gue” keluhku menjeda dia meledekku lagi. “As your command, nona” jawabnya lalu memanggil pelayan resto untuk membawakan buku menu. Sibuklah kami memasan makanan yang mau kami makan. Aku kurang suka masakan western sebenarnya lebih suka pasta, karena makanan western tuh seperti hanya mengenal garam, butter, keju dan merica. Jadi aku pesan steak mencari aman dan masih bisa aku makan. Ello ternyata pesan yang sama. “Well, congrats akhirnya berhasil juga dapat tender proyek kemarin” katanya setelah pelayan berlalu. “Alhamdulilah, dan makasih udah bantuin gue” jawabku. “Anytime darling” jawabnya. “Gak usah darling darlingan” protesku. Tertawalah dia. “Nih elo lagi gak ada job ngangon cewek, sampai milih malam minggu buat makan malam sama gue?” ejekku. “Cie…lagi niat cari tau ya, gue lagi punya gebetan atau gak?” balasnya. Aku sontak tertawa. “Elo punya pacar pun gak ada perngaruhnya buat gue” jawabku. “Masa Nay, tapi gue maunya elo yang jadi pacar gue” balasnya. Aku memutar mataku menanggapi. “Gue masih suka makan nasi, dan minum air putih” jawabku. “Hubungannya?” tanyanya kemudian. Berdecak dong aku. “Ya gak mau kaya cewek cewek yang suka elo angngon aja, yang lebih suka makan cinta terus minumnya air mata” jawabku. Terbahaklah nih laki anak sultan, dan buat aura bangsawannya jadi berantakan. “Parah lo Nay, makan cinta minumnya air mata” ulangnya lalu terbahak lagi. “Lah, iya dong, elo baperin doang, tapi gak ada yang elo jadiin pacar. Gimana gak sakit hati tuh cewek cewek” kataku lagi. “Aneh ya, kenapa mereka masih mau aja deketin gue. Salah gue di mana ya Nay?” keluhnya tidak nyambung. Aku jadi geleng geleng menatapnya. “Elo dapat apa sih El, dengan elo giring cewek cewek itu?. Kan bisa elo hindarin macam Biyan atau Noah?” kataku. “Ya gak dapat apa apa sih, dapat teman mungkin. Karena beberapa yang gue tinggal gitu aja, tetap mau berteman sama gue” jawabnya. “Yang gak mau berteman karena sakit hati lebih banyakkan?” cecarku. Dia santai mengangkat bahu. “Gak gue itungin” jawabnya lebih santai lagi. “What??” protesku malas. Dia langsung tertawa. “Gak penting juga gue itungin. Gue gak butuh tau berapa banyak cewek yang suka gue ajak hang out. Gak harus juga tau jumlah pastinya berapa banyak kalo cuma untuk dapat predikat Don Juan. Masuk media, jalan dengan dua atau tiga cewek beda dalam jarak dekat aja, udah langsung kok dapat predikat itu. Netizen kan selalu lihat apa yang bisa mereka lihat di medsos atau media. Aslinya gak tau, kalo gue cukup sering di tabok tuh cewek cewek” jawabnya. Sontak aku terbahak. “Sakitkan?” ejekku. “Sakitan gak di cari elo pas udah gak butuh bantuan gue lagi” jawabnya. Aku langsung diam menatapnya. “Elah bercanda Nay. Elo mah bapernya gak di situasi yang tepat. Gue bercanda elo malah baper, kalo gue serius elo malah jutek” keluhnya. “Bagian mana elo yang serius?, coba bilang!!!” jawabku jadi kesal. “Lah, bagian gue selalu bilang Naya sayang aku. Akunya kan gue, bukan orang lain, yang bilang gitu juga gue” jawabnya. “Oya?” ejekku. Terbahaklah dia. “Tuh jutek lagi elo sih, baper dong. Kali kita punya kesempatan jadian” protesnya. Aku berdecak lagi. “Terus alasan apa buat kita jadian?. Saling cinta?, ogah amat. Bokap gue saling cinta sama almarhum bunda Rara, tapi kenapa nikahin nyokap gue?” jawabku. Ello menghela nafas kali ini. “Gue dari dulu gak pernah lo bilang gue cinta elo” sanggahnya. “Emang gak pernah” jawabku. “Gue selalu bilang sayang” katanya masih mode serius. “Dan pertanyaanya apa elo sesayang itu sama gue, sampai kita mesti pacaran?” kataku. Ello diam kali ini. “Sayang doang kurang El, gue lebih suka di kasihanin sama laki” kataku lagi menjeda diamnya Ello. “Aneh gak sih, di saat semua cewek malah protes gak mau di kasihanin laki, elo malah mau di kasihanin laki. Kok ya kesannya elo gak bisa apa apa, sampai merasa perlu di kasihanin orang, terutama laki yang mungkin nanti jadi pasangan elo?” tanyanya sambil menatapku. Aku menghela nafas. “Karena di balik perempuan yang mandiri dan strong secara mental sekalipun, ada waktunya untuk merasa di kasihanin. Soalnya untuk selalu terlihat happy, bahagia, dan baik baik saja tentu butuh tenaga. Butuh mental yang kuat, dan sampai mengabaikan keluhan cape dan lelah dari hatinya sendiri, yang sebenarnya lemah dan harus terus di bohongi” jawabku. Ello bertahan diam. “Gue dulu lihat mama gue, segitu terlihat tegar dan kuatnya di hadapan orang orang saat dia harus kehilangan kedua orang tuanya, saat dia harus kehilangan abi Alif dalam kecelakaan pesawat, lalu harus tetap urus gue dan Naka, sementara papa gue dulu masih dalam status menikah dengan bunda Rara. Tapi ternyata mama gak sekuat dan setegar yang terlihat di permukaan, sampai mama perlu hijrah supaya dirinya tetap punya pegangan karena saat itu gak ada sosok lelaki mengasihani mama secara keseluruhan. Mama dulu di bantu sama om Nino, om Rengga, juga suami teman teman mama dan papa. Tapi tidak mungkin berharap banyak bukan?, karena lelaki milik orang lain” kataku lagi. Ello bertahan menyimak. “Sampai akhirnya bunda Rara meninggal dan buat papa sendirian. Elo pikir apa yang buat mama gue akhirnya mau nikah lagi sama papa gue?. Semua lebih karena mama merasa papa kasihan sama mama. Kalo sekedar untuk papa tanggung jawab mah gampang El, gak perlu mama gue di nikahin lagi, cukup support secara material aja buat gue sama Naka, karena dulu belum punya Aline…” “Nah kalo gak cinta atau sayang mana mungkiin ada Aline Nay, masa elo gak ngerti?” potong Ello. “Gue ngerti maksud elo. Tapi tetap gue lihatnya, karena rasa kasihan papa sama mama gue, mama gue jadi jatuh kasihan juga ke papa, kalo akhirnya tidak menjadi istri yang baik dengan melayani kebutuhan batin suaminya. Ya ujungnya punya anaklah. Dan kalo pun sampai sekarang pernikahan mereka awet, bukan karena cinta juga, tapi tetap rasa kasihan yang di rasakan yang satu pada yang lain. Papa yang kasihan kalo mau macam macam, karena ingat gimana mama berjuang sendirian urus gue sama Naka. Mama yang jatuh kasihan juga sama papa, kalo sampai ninggalin papa, karena papa sudah berusaha berubah dan jadi kepala kelurga yang baik. Akhirnya rasa kasihan itu nular ke gue sama ade ade gue. Dengan kami berusaha jadi anak yang baik untuk papa dan mama” jawabku. Ello manggut manggut. “Rasanya dari dulu juga gue selalu bilang kasihan sama elo?” katanya. “Emang iya?, dari dulu gue ingatnya elo selalu bilang Naya sayang aku. Jadi yang benar gimana?, Naya sayang aku, apa aku kasihan sama Naya?” ledekku. Dia meringis menatapku. “Au dah, gue lupa Nay, elo sih!!” keluhnya. Tertawalah aku. Mungkin Ello benar kalo dia sudah selalu merasa kasihan padaku sejak dulu. Makanya dia selalu bersedia membantu kesulitanku, sampai janji akan selalu ada saat aku butuh bantuan, dan buat kami saling mencari. Mungkin dari akunya kali ya, belum punya rasa kasihan pada Ello?. Dianya juga sih, ngapain aku kasihanin dia yang selalu di kelilingi gadis gadis cantik?, hidupnya toh happy happy aja sepanjang yang aku lihat selama ini. Berbeda dengan Noah yang selalu kasihan pada Bella sejak dulu dan dia selalu bilang itu padaku, sekalipun Bella tidak sedang butuh bantuannya. Itu yang akhirnya buat aku mengabaikan segala bentuk perhatian dan bantuan Noah untukku. Menurutku sekalipun aku bisa merasakan kalo Noah suka aku, saat kami beranjak remaja, pun sampai saat ini. Tapi aku tidak serta merta membalas rasa yang dia punya untukku. Sekalipun dia tidak pernah jelas jelas bilang, kalo dia suka aku, tetap aja aku pura pura tidak tau. Tujuannya supaya dia akhirnya menyerah dan focus pada rasa kasihannya pada Bella. Bella soalnya punya rasa kasihan juga pada Noah. Bukan lagi rasa sekedar suka pada Noah. Kalo hanya suka, pasti Bella bisa lebih menahan diri dan bukan selalu memaafkan setiap sikap buruk Noah padanya. “Hati hati lo pas dekat Noah, jangan elo baper. Taukan lo kalo Bella suka banget?. Kasihan Nay. Gue juga gak mau elo di jutekin Noah, kalo dia lagi gak good mood. Tar elo mewek lagi kaya waktu SMA, yang tau tau di tinggal Noah gitu aja di sekolah, karena milih jemput Bella di sekolahnya karena Bella gak ada yang jemput pulang pas harus bantu guru periksa nilai ulangan Biologi. Ujungnya gue lagi yang repot urus elo yang baper” kata Ello yang entah tau dari siapa kalo saat proyek tender yang aku menangkan, membuatku harus sering berhubungan dengan Noah karena permintaan om Nino da nom Radit padanya, supaya Noah ikutan belajar untuk menyusun skripsinya juga. Aku hanya tertawa menanggapi. Sudah berlalu waktunya, aku saja sudah lupa betapa kesalnya aku waktu itu pada Noah, yang sebelumnya janji mengantarku pulang karena aku harus ekskul tari, sementara dia harus ekskul basket. Eh malah aku di biarkan sendiri di sekolah, sampai sekolah sepi. Jadilah aku menelpon Ello waktu itu, karena tidak mungkin minta tolong pada Biyan. Papaku juga sedang keluar kota waktu itu. Dan mulai saat itu, aku semakin menahan diri untuk tidak membuat diriku baper karena perhatian Noah padaku. Aku langsung sadar, tidak sekasihan itu Noah padaku, dan bukanlah prioritas dalam hidupnya. Jadi bukan karena Bella saja, akhirnya aku selalu mengabaikan rasa suka Noah padaku. Nanti aku cerita, soal Noah dan Bella, teman masa kecilku juga. Dan bang Timmy tentunya. Lelaki lain yang juga bilang kasihan padaku sejak kami sama sama kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD