Naya POV.
“Nay, papa tunggu di ruang meeting sekarang!!!. Kamu sudah siapkan?” kata papa lewat telpon kantor yang terhubung ke ruangan kerjaku di kantor juga.
“Siap pah. Wait, aku sebentar lagi ke sana” jawabku karena tadi sempat kerja dulu sambil menunggu om Nino datang untuk menontonku presentasi sebelum aku presentasi beneran di depan klien beneran.
Akhirnya selesai juga gambar rancangan yang aku kerjakan. Semua tidak terlepas dari bantuan Ello. Tapi skip soal Ello dulu ya, aku harus buru buru menyusul papa ke ruang meeting. Pasti om Nino sudah datang kalo papa sudah di ruang meeting.
“TANTE NONI!!!!” jeritku happy saat masuk ruang meeting karena menemukan istri om Nino yang cantik sekali.
Bule keturunan Rusia dengan campuran sunda Bandung. Kebayang gak cantiknya tante Noni dengan warna kulit tan yang berkilau, sepasang mata biru, dan body yang masih seperti gadis perawan walaupun sudah punya dua anak kembar yang sudah perawan seumuran aku. Bagian rambutnya tante Noni yang aku suka, pirang mendekati coklat jadi seperti warna blonde yang di high light warna brunette. Dan itu warna rambut asli bukan hasil di cat di salon. Lurus rambutnya tapi kadang dia blow mendekati curly. Cantik deh pokoknya, makanya om Nino cinta mati. Sesempurna itu penampilan tante Non, kalo kalian mau melihat gimana tangan Tuhan menciptakan manusia sebegitu indahnya. Om Nino juga sih ganteng parah. Jadi cocok mereka berdua jadi pasangan. Ya tapi tetap ada kekurangannya kalo kalian mengenal baik mereka berdua, walaupun kekurangan mereka tidak dalam artian yang selalu negative. Tante Noni itu ringkih, dan kadang gampang sakit. Sementara om Nino punya sifat yang emosian dan gampang meledak.
“Apa kabar sayang tante, sehat kamu nak?” sapanya lembut setelah aku mencium tangannya lalu mencium kedua pipinya.
“Alhamdulilah tante. Tante sehatkan?” jawabku sebelum beralih mencium tangan om Nino yang keceh banget dengn celana jeans, dan kaos oblong juga sepasang sandal jepit.
Penampilan om Nino dari dulu memang sesantai itu. Jadi kadang melihatnya timpang aja kalo sedang berduaan dengan tante Non. Tante Noni macam princess, om Nino nya macam gelandangan kalo teman temannya bilang. Ya walaupun setiap orang tau, outfit seadanya yang om Nino pakai, tetap aja harganya jutaan atau malah ratusan juta. Iya dong, lihat aja jam tangan yang dia pakai, celana jeans dan kaosnya juga, sandal jepitnya aja bisa jutaan. Jadi sederhana juga, tetap aja mahal. Malah outfit tante Noni yang lebih murah kalo aku bilang. Dia jarang terlihat pakai perhiasan, kecuali tiga cincin dengan model lucu. Satu cincin berbentuk mawar, satu cincin pernikahannya dengan gambar peta dunia kalo di gabung dengan cincin di jari om Nino. Lalu satu lagi cincin berbentuk mahkota ratu. Dress yang dia pakai juga termasuk murah untuk ukuran istri sultan. Sepatunya juga kalo hanya datang ke kantor sih, kadang malah pakai sandal teplek. Tas yang di pakai tante Non yang paling aku suka. Gak tau ya, mungkin tante Non satu satunya istri sultan yang lebih suka pakai tas tas etnik buatan pengrajin lokal, di banding nenteng tas berharga ratusan juta atau malah milyaran.
Tante Non bilang model tas mahal itu membosankan karena itu itu saja, berbeda dengan tas etnik dari eceng gondong, jerami atau ayaman daun pandan. Tapi bukan berarti dia tidak punya tas mahal milyaran harganya, semua hanya soal kapan waktu yang tepat pakai barang dia yang branded. Yang begini ini yang pantas di sebut orang kaya sebenarnya, tidak merasa perlu untuk pamer kalo punya barang mahal, karena di pakai saat memang di butuhkan saja. Jadi tidak perlu juga barang barang branded untuk menunjukan seberapa kaya raya dirinya. Tanpa itu semua, auranya sudah kelihatan kok.
“Akan jadi sakit kalo kamu gak segera mulai. Nanti keburu jam makan siang, terus jadi alasan untuk tantemu menunda jam makan siang” jawab om Nino.
Aku dan tante Noni tertawa seperti papaku.
“Sayang…aku udah bilang sayang belum sama kamu hari ini?” jawab tante Non selalu merayu om Nino supaya tidak marah atau ngomel.
“Masih kurang Non, masih banyakan aku bilang sayang kamu hari ini” jawab om Nino sebelum akhirnya tante Non menciumi pipinya berkali kali lalu om Nino tertawa.
Pasti orang yang tidak kenal, tidak akan menyangka kalo mereka sudah punya dua anak kembar yang sudah perawan dan siap menikah. Semesra itu lo, sampai buat yang lihat iri.
“Ayo nak, mulai aja, kalo kamu gak mau dengar om Nino ngomel karena kita telat makan siang. Kamu juga harus tepat waktu makan siang, nanti kamu pingsan lagi” jeda papa.
Aku mengangguk lalu bersiap dengan membentangkan gambar rancangkanku di papan tulis besar yang ada di ruang meeting, papan tulis yang juga di gunakan sebagai layar saat menggunakan proyektor.
“Santai aja Nay” kata papa karena aku mendadak tegang dan menghela nafas kasar.
“Take your time darling” kata om Nino sebelum bersandar di kursi ruang meeting dengan tante Non di sebelahnya.
“Semangat Naya” kata tante Non ikutan.
Mulailah aku presentasi seperti saat aku presentasi di depan Ello. Yang buat berbeda, kalo di depan Ello, aku agak grogi karena dia menatapku dengan cengar cengir tidak jelas, kalo di hadapan papaku, om Nino dan tante Noni, mereka serius sekali mendengarkan penjelasanku. Agak menyeramkan sih tatapan serius om Nino, terus dia juga diam saja menyimak gimana tante Non dan papa menyerangku dengan berbagai pertanyaan terkait gambar rancanganku. Dan itu jujur tidak buat aku takut. Aku sendiri yang mengerjakan gambar rancangannya, jadi aku mengusai semua. Rasa takutku justru pada komentar om Nino yang beneran diam tidak bereaksi apa pun sampai papa dan tante Noni merasa cukup dengan penjelasanku atas pertanyaan mereka.
“Gimana No?, worth it gak buat ikutan tender?” tanya papa menjeda juga.
Baru deh om Nino memperbaiki cara dia duduk tapi tetap terlihat santai.
“Naya masih muda, jangan terlalu keras. Stop gimmickmu Ino” tegur tante Non.
Om Nino tertawa pelan lebih ke arah mengejek. Persis Maura salah satu putri kembarnya yang gengsinya besar.
“Gimana om Nino, aku gak masalah kok kalo gambarku menurut om Nino gak layak untuk mewakili GW ikut tender. Aku tetap berterima kasih sudah di beri kesempatan untuk mencoba oleh om Nino” kataku bersuara.
Om Nino tertawa pelan lagi dan masih dengan mode seperti mengejek.Gak salah salah kalo teman temannya atau papaku sendiri, selalu bilang om Nino dengan sebutan bos kampret atau sultan kampret. Memang gayanya sekampret itu atau melebihi tengil.
“Maju kamu tender Nay” jawabnya di luar dugaan.
“Ini serius om?” tanyaku tidak percaya.
Itu pun setelah aku menatap papaku dan tante Noni.
“Apa om kelihatan bercanda?” tanyanya.
Aku tertawa.
“Ya bukan gitu, karena om gak berkomentar apa pun soal gambar rancanganku” kataku sampai ikutan duduk karena papa menyuruhku duduk.
Tidak sopan bicara dengan orang tua sambil berdiri. Jadi aku duduk dulu di sebelah papaku.
“Ini bukan soal layak atau tidak gambarmu untuk ikut tender. Sejak awal om bilangkan, mau akhirnya kamu menangkan atau tidak tender proyek ini, bukan di situ tujuan om akhirnya menyuruhmu menggambar design utamanya. Tapi untuk melatih mentalmu dan daya saingmu Nay. Dengan begitu kamu akan belajar menggali potensi dirimu dalam bidang arsitektur” jawab om Nino.
Aku mengangguk mengerti.
“Ilmu itu mahal Nay. Om selalu bilang itu pada siapa pun termasuk kedua putri om, sekalipun mereka tidak tertarik jadi arsitek. Kimmy dengan pianonya, Maura dengan kuas dan kanvasnya. Tapi untuk bisa jadi sesuatu dan sukses dengan apa yang kita minati dan kerjakan, tentu harus ada yang di korbankan. Lebih dari sekedar materi, tapi tenaga dan pikiran yang terkuras, sampai kadang bisa merasa cape sekali, bahkan sakit. Gak apa, asal jangan lalu putus asa dan menyerah” kata om Nino lagi.
Aku lagi lagi mengangguk, dan focus menatap om Nino.
“Kimmy bisa sampai lupa segala hal kalo sudah dengan pianonya. Maura bisa sampai tidak tidur kalo sedang menyelesaikan proyek lukisannya. Sebegitu kerasnya kedua putri om dengan apa yang mereka kerjakan. Dan om terkadang dilemma antara khawatir dan mendukung penuh. Kamu pun pasti seperti kedua putri om yang berusaha sekeras itu, jadi apa pun hasilnya om akan dukung kamu” kata om Nino lagi.
“Makasih om” jawabku.
Om Nino hanya mengangguk pelan.
“Jadi tetaplah percaya diri, karena toh kamu menguasai hasil yang kamu kerjakan. Om hanya akan mengingatkan kamu, untuk persiapkan kemungkinan, rancanganmu gagal untuk mendapatkan tender itu. Jangan lalu kamu putus asa, akan ada kesempatan lain lagi yang datang, dan kamu bisa berusaha lagi saat kesempatan itu datang lagi. Anggap belum rezeki kalo akhirnya kamu kalah. Dan jadikan kegagalanmu sebagai harga yang harus kamu bayarkan atau kamu korbankan untuk ilmu yang akhirnya kamu dapatkan. Orang bijak bilang bukan, pengalaman adalah guru yang paling berharga dalam hidup seseorang. Jadi pendapat om tidaklah penting kalo tujuannya hanya untuk membuatmu tenang atau meng-up kepercayaan dirimu saat ini untuk maju tender, tapi lalu kamu down saat kamu mengalami kekalahan. Tetap percaya pada kemampuanmu, dengan berusaha memberikan yang terbaik, sisanya pasrahkan pada Tuhan” kata om Nino lagi.
Aku mengangguk lagi karena papaku juga mengangguk pelan saat aku melirik papaku.
“Papamu paling faham soal ini. Hidup sudah mengajarkan papamu, kalo apa pun yang di rencanakan manusia sebegitu rapi, akhirnya harus pasrah pada ketentuan Tuhan atau takdir Tuhan. Tapi kepasrahan papamu menjalani alur kehidupan yang di atur Tuhan, akhirnya menjadikan papamu seperti yang kamu kenal sekarang. Jadi tetaplah semangat, tetap berusaha terus, mau sepahit apa pun alur kehidupan yang harus kamu jalani. Kamu akan baik baik aja Nay, sepanjang kamu tetap mendekatkan diri pada Tuhan dan menginsafi kalo kuasa Tuhan itu di atas kuasa manusia. Tuhan tau apa yang kamu butuhkan, untuk itu kamu akan baik baik saja sekalipun harus berderai air mata” tutup om Nino.
“Laki elo kenapa jadi ceramah Non, dan bukan meeting?” ledek papa menjeda.
Tertawalah tante Non lalu menatap sayang pada om Nino.
“Lagi mode gak kampret kamu tuh” ledek tante Non.
Terbahaklah om Nino.
“Ayo ah makan siang, tapi absen dulu. Bersyukur dulu kita udah di kasih sehat sampai detik ini” ajak om Nino dan membubarkan kami semua untuk menemui Tuhan dulu sebelumnya akhirnya makan siang bersama.
Dan aku pakai sekali saran om Nino untuk pasrah pada apa pun hasilnya nanti tapi tetap berusaha sesuai kemampuanku. Tidak ada yang harus aku jadikan beban kalo pun akhirnya aku kalah. Papa dan om Nino pun tetap mendampingi aku saat maju presentasi depan klien proyek tender.
“Bismilah nak, ada papa sama om Nino, jadi kamu tidak usah takut” kata papa lalu mencium keningku sebelum duduk bergabung dengan om Nino yang selesai menyapa calon klien perusahaannya kalo aku menangkan proyek tender ini.
“Bismilah..” desisku pelan sebelum memulai presentasi di depan calon klien.
Dan justru seperti tanpa beban. Malah lebih tegang saat presentasi di depan papaku, om Nino dan tante Non yang serius. Para calon klien di hadapanku malah terlihat sesekali mengangguk dan tersenyum menatapku. Jadi semakin percaya diri dong aku. Aku jawab trus pertanyaan mereka semampuku sampai mereka puas dengan jawabanku. Ujungnya satu ruangan meeting kompak berdiri dan tepuk tangan.
“Congrats Kanaya Natalegawa. Udah cocok nih kalo di sebut the next Sagara Natalegawa, atau malah Gerenino Sumarin” kata salah satu bapak bapak calon klien tadi saat menyalamiku.
Aku tertawa saja seperti papaku dan om Nino.
“Saya tunggu kabar baiknya ya pak. Semoga jadi rezeki saya, kalo akhirnya proyek ini di percayakan pada saya” jawabku.
“Semoga ya Nay, karena masih ada presentasi dari perusahaan kontraktor lain. Berdoa ya yang serius” jawabnya.
“Siap pak” jawabku.
Tidak deg degan juga aku saat menunggu kabar soal siapa yang menang dalam proyek tender yang aku ikuti. Aku tetap bekerja seperti biasanya membantu papaku dan om Nino sambil mulai mengajukan judul skripsiku. Soalnya baik papaku atau om Nino tidak ada yang bahas lagi soal proyek tender yang aku ikuti. Santai aja mereka kerja seperti biasanya. Kadang ribut mulut, kadang ledek ledekan, ujungnya merokok atau ngopi bareng. Jadi aku hanya bagian menonton kalo papaku da nom Nino mulai berdebat soal apa pun. Sampai kemudian papa dan om Nino mengajakku makan siang di luar kantor.
“Selamat Nay, proyek tender yang kamu ikuti bisa kamu menangkan” kata om Nino setelah kami selesai makan siang bersama dan sudah menunggu lebih dari dua minggu untuk pengumumannya.
“SERIUS OM?. PAH?” tanyaku saking tidak percaya.
Keduanya mengangguk sambil tertawa melihatku kaget dan tentu saja happy.
“Om jadi bisa nunggu kabar judul skripsimu di terima, kamu lulus, lalu kerja total bantu papamu dan om di kantor” jawab om Nino.
Bersoraklah aku untuk itu lalu bangkit untuk mencium tangan papaku dan om Nino. Tapi lalu aku mendadak diam pada permintaan papa setelah kami pulang dari kantor ke rumah.
“Bilang makasih sama El. Jangan lupa itu. El banyak bantu kamukan?” kata papa.
Aku diam setelah aku mengangguk.
“Hargai bantuan El, jangan kamu hanya cari dia saat kamu butuh bantuan. Kasihan Nay, dia sudah baik sama kamu. Dan papa tidak mau kamu jadi orang yang tidak tau terima kasih” kata papa lagi.
Kata kata kasihan yang membuatku luluh juga untuk menghubungi Ello lagi. Bukan aku tidak mau bilang terima kasih, tapi malu karena terakhir kami bertemu lalu dia tolong saat aku pingsan dan antar aku pulang, masa aku cium dia. Di pipi sih tapi aku takut dia mikir macam macam. Aku juga sih kenapa malah nyosor aja cium pipi Ello.
“Eh Naya Sayang aku” jawabnya saat akhirnya aku telpon.
Masih seceria dia biasanya, dan tidak terdengar protes apalagi amarahnya karena aku memang tidak lagi mencarinya setelah aku selalu merepotkannya terus.
“Alhamdulilah El, proyeknya gue menangin. Makasih ya” kataku enggan basa basi.
“Alhamdulilah” jawabnya tertawa lagi.
Aku jadi ikutan tertawa.
“Masa makasih doang Nay” katanya kemudian.
“Trus apalagi?” tanyaku.
“Boleh kali cipok gue lagi” jawabnya.
“NAJONG!!!, nyesel gue” omelku.
Terbahaklah dia di sebrang sana.
“Gue traktir makan aja ya” kataku setelah tawanya reda.
“Dinner maksud elo?” balasnya.
“Emang itu namanya ya?” kataku lagi.
Dia tertawa lagi.
“Ya kalo makannya elo doang berdua gue, namanya dinner. Kalo kita makan bareng orang satu kecamatan, ya namanya prasmanan” jawabnya.
Gantian aku terbahak.
“Gue yang tentuin ya tempat makannya, dan gue jemput elo. Okey dong ya” katanya menjeda tawaku.
“Gak usah jemput gue, gue jalan sendiri aja. Emang kita pacaran, elo gak ada kewajiban antar jemput gue, kita gak lagi niat kencan juga. Nanti elo ajak gue check in abis makan dinner lagi, bukan antar gue pulang” tolakku karena pasti kedua adikku akan ledek aku kalo Ello jemput aku ke rumah.
Kalo antar aku pulang, mereka kemungkinan sudah tidur, kalo kami pulang dinner. Aman aku.
“Iya dah, yang penting elo mau dinner berdua gue. Gue kangen soalnya ketemu elo” jawabnya.
Kasihannya….
“Ya udah, kasih tau aja, kapan dan tempatnya di mana buat kita dinner. Gue mesti pinjem kartu sakti bokap gue, kalo mau jajanin anak sultan” jawabku.
“Siap, yang keceh ya dandannya. Jangan nanti elo insecure dinner bareng gue. Tau dong lo kalo gue ganteng paripurna” jawabnya.
“Sombong!!” cetusku sebelum panggilan kami terputus.
Dan beneran ganteng paripurna kalo dia serius sekali pakai tuksedo. Aura bangsawannya menguar, dan bagusnya aku menuruti saran Kiera sepupuku untuk pakai gaun buatannya. Awalnya karena bentuk dukunganku pada apa yang di kerjakan sepupuku seperti yang om Nino lakukan. Toh memang bagus baju rancangan Kiera, walaupun belum di jual secara komersil. Tapi tidak kalah dengan rancangan baju buatan maminya, yang designer professional dan terkenal.
Hadeh…El…malah aku yang deg degan lagi dekat dia. Anak sultan memang gak ada lawan.