Tatapan Ara tak lepas dari gerik-gerik pria itu. Bahkan ketika mereka bertatapan Ara masih terheran-heran. Wajah Julian memang tampan, tapi pria ini lebih manis. Rambutnya yang kecoklatan membuat Ara lebih tenang karena Julian berambut hitam legam. Ia teringat beberapa waktu lalu sempat menonton tayangan yang membahas kemiripan beberapa orang di berbagai belahan dunia.
Mungkin ini terjadi juga dengan bosnya. Ara mengumpat dalam hati karena bertemu dengan kembaran bosnya ketika ia kesal. Apa ada waktu untuk tidak melihat wajah bosnya itu? Pria di depannya menekuk alis memperhatikan raut wajah Ara selalu berubah. Kadang tersenyum lalu tiba-tiba terlihat kesal.
“Aku Juan,” katanya memecah kebisuan. Ara segera sadar akan situasi saat ini. Dia tidak langsung menjawab. Sedikit aneh rasanya bertemu dengan pria asing (menurut Ara mereka hanya bertemu sekali jadi tidak perlu berkenalan). Pikiran Ara melayang ke mana-mana jauh ke masa depan. Bahkan ia sudah menyiapkan ucapan kalau-kalau ia berjodoh dengan Juan dan mereka memiliki anak. Ara akan mengatakan pada anaknya kalau dia dan Juan bertemu di restaurant saat mengantri makanan. Mereka berkenalan lalu saling jatuh cinta.
Bukankah itu seru? Ara tersenyum tipis membayangkan betapa bahagiannya ia memiliki keluarga dengan Juan. Namun, kesadaran gadis itu pulih ketika seorang wanita cantik menghampiri.Dia seksi dan juga berkelas.Ara mengenyahkan pikiran tentang rumah tangga itu sesegera mungkin. Ia sadar diri. Siapa yang ingin menikah dengan wanita setengah pria seperti dirinya. Dulu ketika SMA, gadis itu selalu mendengar para pria mengatakan kalau dirinya adalah gadis jadi-jadian.
Kekuatan Ara tidak diragukan lagi ketika membanting lawan saat latihan bela diri. Penampilan gadis itu juga mendukung. Ara tidak pernah melepas kunciran rambutnya, berbeda dengan teman-teman sekelas yang lebih menyukai rambut terurai. Bukankah rambut itu mahkota? Ara tidak yakin akan hal itu karena sejujurnya rambut gadis itu tidak indah. Dia terlihat aneh saat mengurai rambutnya, tapi itu dulu kalau sekarang jelas berbeda. Dia punya banyak tutorial merawat rambut di ponselnya.
“Juan, kapan kamu pulang?” tanya gadis itu. Ara lebih suka menjadi penonton dari pada ikut campur reuni dua orang di depannya. Gadis itu menatap Ara sehingga pandangan mereka bertabrakan.
“Dia pacarmu?” tanyanya lagi. Ara berusaha menahan senyumnya, ingin mengangguk tapi sungkan. Siapa tahu kalau dia membuat sedikit kebohongan bisa menciptakan sebuah sscandal percintaan yang berakhir di pelaminan. Paling beruntung nikah kontrak seperti film yang pernah ia tonton. Ara ingin jadi pemeran utama yang bahagia di akhir cerita. Juan menatap Ara lalu menggeleng.
“Bukan, aku tidak mengenalnya.”
Ara merasa tertohok. Ia lupa tadi Juan memperkenalkan dirinya, karena kebodohan gadis itu sekarang Juan tidak tahu namanya. Gadis itu mengangguk diiringi senyum di bibir merah mudanya. Mereka berbincang. Masih dengan posisi gadis itu berdiri sementara Juan duduk. Ara tidak mengerti apa yang mereka katakan, tapi yang jelas ia ingin pergi dari sini. Secepatnya kalau bisa.
“Sayang sekali kita bertemu di saat yang tidak tepat. Aku harus pergi sekarang,” kata si gadis. Juan mengangguk, sangat menyayangkan pertemuan mereka sangat singkat. Andai saja waktu memberi mereka kesempatan untuk sekadar duduk berdua sembari menyesap kafein hangat kemudin mendengar alunan musik negara-negara Eropa yang memiliki ciri khas tersendiri.
“Aku akan menghubungimu nanti,” kata Juan. Gadis itu berlalu pergi bersama temannya. Ara berdeham membuat Juan menatapnya.
“Itu … namaku Ara. Maaf tadi tidak menjawabmu pikiranku sedang tidak fokus karena pekerjaan yang banyak ditambah lagi bos yang―” Ara terdiam. Hampir saja ia membocorkan sifat bosnya pada orang asing yang mungkin saja menjadi saingan perusahaan tempatnya bekerja..
“Yang apa?”tanya Juan membuat Ara tersenyum kecil.
“Yang biasa saja. Tidak buruk dan tidak baik juga,” ujarnya membuat satu alis Juan terangkat. Ia tahu kalau gadis di depannya sedang berbohong, tapi itu bukan urusannya.
“Apa bosmu itu yang membuat kamu lupa nama menu?” Kini Juan menumpu kedua tangannya di atas meja seperti layaknya polisi tengah mengintrogasi saksi atau tersangka.
“Ya, dia memiliki peranan sedikit. Aku memang susah mengingat sesuatu jika dalam kondisi tertekan atau sedang kesal jadi―”
“Maksudnya kau kesal dengan bosmu?” potong Juan. Ara terdiam, ia kembali berpikir apa ada baiknya ia sedikit curhat dengan pria asing ini untuk melegakan perasaannya. Terlebih mereka belum tentu bertemu dan tentunya Juan tidak mengenal Julian. Itu sebuah keberuntungan untuk hari sial ini.
“Baiklah aku akan memberitahumu sesuatu, tapi sebelum itu boleh aku bertanya apa pekerjaanmu?” tanya Ara. Ia ingin memastikan kalau pria di depannya bukan pengusaha dan tidak ada sangkut pautnya dengan Julian.
“Aku seorang model dan juga aktor. Aku baru saja menyelesaikan sebuah miniseri yang cukup sukses. Apa kau ingin menontonnya?” tanya Juan. Ara langsung menggeleng.
“Aku tidak suka film romantis,” sahutnya.
“Dari mana kau tahu?”
“Dari wajahmu. Kau tampan dan cukup manis, tidak cocok memerankan film horror karena aku yakin itu akan gagal. Para hantu tidak akan menyakitimu karena ketampanan itu,” kata Ara membuat Juan sedikit terhibur. Gadis di depannya sangat menarik, ia bicara apa adanya dan itu jujur.
“Terima kasih sudah mengatakan aku tampan dan manis.”
“Sama-sama, tapi bukan itu point-nya. Aku tanya satu hal lagi apa kau tahu pimpinan gedung kantor itu?” Ara menunjuk gedung tempatnya bekerja. Juan tidak memberi respon, ia menatap Ara penuh tanda tanya.
“Kau bukan pengusaha,’kan?” tanya Ara lagi.
“Hei, kau bertanya dua hal bukan satu. Jadi mana yang harus aku jawab?” Juan menopang dagunya. Ia adalah aktor baru yang menghiasi dunia pertelevisian. Tidak banyak yang mengenalnya sehingga ia bisa bebas duduk berdua dengan orang asing di sebuah restaurant tanpa menggunakan penyamaran.
“Terserah yang mana pun kau suka.”
“Aku bukan pengusaha dan belum memiliki usaha yang dijalankan,” jawabnya membuat Ara lega.
“Baguslah. Apa kamu masih tertarik mendengar cerita tentang bosku?” tanya Ara. Juan mengangguk antusias. Kini kedua tangannya dilipat di atas meja dengan tubuh yang sedikit condong pada Ara.
“Dia bos yang galak, semua orang takut padanya meski wajahnya tampan. Terlebih dia tidak pernah tersenyum, selalu menekuk alisnya dan jomblo,” kata Ara mengakhiri sesi curhatnya dengan menyebar aib bos sendiri. Jomblo adalah kata yang menusuk para pengusaha yang masih sendiri.
“Benarkah? Apa dia seburuk itu? Maksudku dia tidak punya pasangan?” Ara mengangguk antusias. Ia senang bisa berbagi cerita dengan orang asing yang baru dikenalnya. Tidak akan ada masalah terlebih mereka―Juan dan Julian― tidak saling kenal, pikir Ara saat itu.
“Siapa wanita yang suka pada pria berwatak keras seperti itu. Aura di sekitarnya mencengkam seperti melaikat maut yang siap mencabut roh. Kau bisa membayangkan sendiri.”
Kini Juan bersandar di kursi begitu juga dengan Ara. Juan mengusap dagunya yang runcing. Sudah Ara katakan tadi kalau pria di depannya tergolong manis dan masalah dagu itu Ara yakin itu bukan dagu aslinya. Dia bilang pekerjaannya sebagai model dan aktor, 'kan? Bukan rahasia umum kalau zaman sekarang para seleb suka memodifikasi wajah mereka. Itu tuntutan profesi biar makin eksis.
“Sungguh disayangkan,” gumam Juan. Ara segera beranjak ketika namanya dipanggil. Snack untuk Julian segera diantar. Ia merasa senang bisa meluapkan unek-unek di hatinya tentang Julian. Di tangan kanannya menenteng tas plastik go green yang mudah terurai untuk menjaga kelestarian lingkungan. Ara berdiri di trotoar, ia senang karena pelayan memanggil namanya lebih cepat dari yang ia kira. Beruntung ia tidak berhadapan lebih lama lagi dengan Juan sehingga aib bosnya tidak diumbar-umbar lagi. Setidaknya belum semua.
Ara menoleh ke samping saat merasakan cahaya matahari tak lagi menyinari wajahnya. Juan, pria itu berdiri di samping Ara menghalangi sinar matahari. Pria itu menoleh saat merasakan Ara menatapnya. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah ke depan berharap lalu lintas lenggang barang sekejap.
“Mau nyeberang?” tanya Juan. Ara mengangguk, ia malu karena Juan menatap dari balik kacamata hitamnya.
Tanpa diduga Juan menggenggam pergelangan tangan Ara lalu menyeberangi jalan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Ara sejujurnya gugup, tapi ia juga malu. Dia bukan nenenk-nenek yang butuh bantuan untuk menyeberang. Dia bisa berjalan sendiri, tidak perlu dibantu. Apa jangan-jangan Juan memiliki perasaan?
Ah, tidak. Mana mungkin pria tampan itu mau sama manusia setengah cowok.
“Terima kasih,” kata Ara setelah genggaman tangan Juan terlepas. Ara berpamitan dan buru-buru masuk kantor. Entah hanya perasaannya saja kalau Juan mengikuti dari belakang. Jantung Ara berdegup kencang membayangkan jika pria itu adalah penjahat yang siap menculiknya kalau saja ia lengah. Ara mempercepat jalannya, ia mendengkus karena kantor terlihat sangat sepi. Karyawan tidak satu pun berlalu lalang membuat dirinya semakin was-was. Denting suara lift membuat gadis itu lega, tetapi ternyata Juan ikut masuk ke dalam membuat Ara beringsut ke pojokan.
Lift tertutup, Juan menoleh ke belakang membuat Ara tercekat. Ini seperti adegan dalam film thriller ketika protagonist bertemu antagonis.
“Kamu takut?” tanya Juan. Ia lalu menekan angka lima kemudian lift mulai merangkak ke atas.
“Ti-tidak. Untuk apa aku takut. Kamu kenapa ngikutin aku?” tanya Ara. Ia berdiri tegak berusaha tersenyum lalu menghela napas panjang.
“Hanya ingin bertemu seseorang,” kata Juan. Ara mengangguk lagi berarap nanti Juan tidak mengikutinya.
“Itu, tadi tentang bos kamu, apa dia benar-benar galak?” tanya Juan. Sepertinya pria itu memiliki ketertarikan dengan bos galaknya.
“Tentu, tidak ada yang mau menjadi sekertarisnya."
“Kenapa kamu masih mau bekerja dengannya?” Juan semakin penasaran.
“Ibaratkan singa dan macan yang menakutkan, untuk bisa menjinakan hewan buas itu kita perlu pawang yang terlatih. Aku memposisikan diri sebagai pawang, jadi aku tidak boleh menyerah,” jawab Ara. Juan tersenyum tipis lalu memasukkan tangannya ke saku celana. Lift terbuka membuat Ara bergegas meninggalkan Juan yang masih berada di dalam. Ia mengetuk pintu tergesa-gesa lalu membukanya. Ara memastikan Juan tidak ada di belakang.
“Lama banget,” kata Julian yang sedang menandatangani berkas. Pria itu beranjak menghampiri sekertarisnya.
“Ngantrinya panjang, Bos. Ini cemilannya.” Ara meletakkan bungkusan itu di atas meja. Ponsel Julian bergetar membuat pria itu mengalihkan perhatiannya sejenak.
Setelah membalas pesan singkat itu Julian kembali menaruh perhatian pada makanan yang dibeli Ara. Pintu ruangan diketuk membuat jantung Ara berdetak kencang. Julian terlihat santai ketika mengizinkan seseorang masuk.
Ara terduduk saat melihat Juan berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar yang manis. Sekarang senyum itu berubah di mata Ara, terlihat menyeramkan dan tentunya membuat ia dalam bahaya. Ara menggigit bibir bawahnya.
“Kakak sudah datang?” kata Julian membuat kaki Ara semakin lemas dan bergetar. Seharusnya ia curiga sejak awal dan lebih berhati-hati dalam bicara. Ia baru saja mengadu keburukan seorang adik pada kakaknya. Ini sama saja melempar boomerang.
Ara merutuki dirinya. Ia bersumpah tidak lagi bicara keburukan orang lain pada siapa pun, termasuk orang asing karena bisa saja suatu hari akan menjadi awal yang buruk untuknya.
Gue dijebak.