Pertemuan Pertama
Peristiwa yang paling membahagiakan untuk gadis dua puluh tahunan itu adalah ketika ia naik ke panggung berhadapan dengan rector yang memberikan ucapan selamat telah lulus dari universitas. Kejadian itu sudah satu tahun berlalu. Namun, masih begitu melekat dalam ingatan. Namanya Araya Larasati seorang gadis tomboy yang jago bela diri. Hari itu dia berhasil lulus dengan nilai memuaskan.
Tidak mudah perjuangannya mencapai titik itu. Berkat kerja keras dan kemauan yang kuat akhirnya Ara berhasil menuntaskan pendidikan sarjananya. Namun, ia menyadari tantangan terberat adalah ketika ia lulus. Ara harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang kuliahnya. Sayangnya setahun berlalu ia belum menemukan pekerjaan yang cocok.
Beberapa kali mengundurkan diri dari perusahaan membuat dirinya sulit mendapatkan pekerjaan tetap. Bukan tanpa alasan dirinya keluar dari pekerjaan, sebagian besar karena bos di tempat kerjanya sering menggoda yang membuat Ara jengkel. Dari pada ia mematahkan tulang rusuk dan tangan sang atasan lebih baik Ara mengundurkan diri.Ia tidak bisa bekerja dengan orang yang tidak professional. Ingin rasanya ia memukul wajah bosnya saat itu, tapi ia berhasil mengendalikan diri.
Beban pikirannya bertambah setiap harinya ketika sang ibu menceramahi dan menyayangkan keputusan Ara ketika keluar dari tempat kerjanya. Dulu ibunya tidak setuju Ara mengenyam pendidikan di bangku kuliah mengingat ekonomi keluarga mereka terbilang pas-pasan. Namun, berkat kegigihan dan kerja keras gadis itu akhirnya Ara bisa lulus kuliah dengan biayanya sendiri. Kadang ayahnya juga ikut membantu walau tidak banyak.
“Kamu sudah dapat pekerjaan baru?” tanya Diana sinis. Ara yang sedang menyuapi makanan ke mulut segera berhenti. Ia menatap ibu dan ayahnya bergantian.
“Belum nemu yang bagus, Bu,” jawabnya seraya mengaduk nasi yang ada di piring. Perasaan Ara semakin kacau karena pertanyaan Diana. Bukan sekali dua kali ibunya bertanya. Ara sampai takut bicara dengan ibunya saat di rumah.
Diana menarik kursi meja makan lalu duduk di depan Ara. Sementara ayahnya terlihat tidak peduli. Pria yang duduk di samping ibunya itu bersikap selayaknya anak dan istri tidak ada di dekatnya.
“Sudah ibu bilangin dari dulu nyari kerja kantoran itu susah kalau nggak ada orang dalam. Dibilangan kagak nurut ya begini jadinya. Sekarang nganggur. Coba saja dulu kamu ikuti kata ibu, kerja di tempat Pak De di toko bangunan sudah pasti sekarang kamu punya uang bulanan,” kata Diana membuat Ara menunduk.
“Tuh, lihat si Sarmini setahun kerja di toko sudah bisa nyicil motor. Itu juga si Lastri sudah bisa beliin ibunya kompor listrik. Kamu setahun ngapain? Ibu juga pengen ngerasain kayak gitu. Kamu beliin ibu motor atau apalah dengan gaji kamu,” omel Diana membuat Ara kesal.
Ara jadi teringat dengan curhatan Lastri seminggu yang lalu. Teman SD-nya ini mengeluh dengan kompor listrik barunya. Kata Lastri ibunya takut pakai kompor listrik sehingga kompor itu nganggur tidak terpakai. Belum lagi daya listrik yang kurang mendukung sehingga Lastri harus mematikan seluruh alat elektronik yang ada di rumah agar bisa menggunakan kompor listrik.
“Bu, aku yakin bisa dapat kerjaan yang bagus, tapi perlu waktu. Aku juga punya alasan pribadi kenapa keluar dari perusahaan dulu,” kata Ara mencoba menjelaskan pada ibunya. Ia lelah dimarah terus hampir setiap pagi. Bisa dihitung satu per satu anak tetangga dari ujung Barat ke Timur menjadi bahan untuk disbanding-bandingkan dengan Ara.
“Eleh, bisa-bisanya kamu saja. Buktinya Sarmini sama Lastri bisa kerja meski nggak kuliah,” kata Diana sembari menuangkan air ke dalam gelas. Suaminya yang sudah selesai sarapan segera pergi setelah berpamitan. Seperti biasanya ayah Ara tidak peduli dengan pertengkaran ibu dan anak di pagi hari. Pertengkaran itu sudah menjadi sarapan yang mengenyangkan telinga mereka.
“Ibu lupa mereka pakai orang dalam? Lastri bisa kerja di sana berkat rekomendasi teman kakaknya, terus si Sarmini dia―”
“Cukup!” teriak Diana membuat Ara bungkam. “Kamu dibilangin sama orang tua malah ngelawan terus. Kamu juga punya orang dalam kenapa gak mau? Gengsi gak bisa dimakan. Jadi anak ya nurut sedikit sama orang tua, jangan dilawan terus. Sekarang kamu nganggur siapa yang repot? Sekali-kali jadi anak itu yang bikin orang tua bangga,” ujarnya.
Ara berdiri menatap ibunya yang masih marah. “Ibu nggak tahu apa yang aku rasakan. Aku nggak mau kerja dengan bantuan orang dalam. Selama ini aku berusaha untuk mendapatkan pekerjaan tetap, tapi bukan berarti aku nggak kerja sama sekali. Aku jual jasa pengerjaan tugas dan lainnya, walau gak seberapa setidaknya aku gak pernah minta uang bensin dan pulsa ke ibu,” kata Ara. Ini pertama kalinya ia mengeluarkan emosinya sampai meledak-ledak.
Selama ini ia hanya memendam amarah membiarkan ibunya bicara semaunya. Namun, kali ini ia akan bicara, meski harus tetap mengontrol emosi.
“Masih saja ngelawan. Kamu pikir makanan ini gratis? Bapak kamu kerja di jalanan penghasilannya gak seberapa. Kamu sebagai anak ya bantu keuangan keluarga. Tuh, lihat si Sesil anak Bu Yahya, kemarin baru ngambil mobil. Contoh itu si Sesil bisa banggain orang tua. Bu Yahya dari kemarin pamer mobil terus sambil banggain anaknya. Ibu malu waktu dia nanya kamu kerja di mana?” ujarnya tanpa peduli perasaan Ara.
Ingin rasanya Ara mengatakan yang sebenarnya pada sang ibu apa pekerjaan Sesil, tapi Ara urung mengatakan aib tetangga sendiri. Biarlah ibunya tidak tahu tentang Sesil biar tidak menambah masalah. Ara tahu sifat ibunya yang tidak bisa menjaga rahasia. Ia sendiri tidak ingin membuat masalah kalau ibunya nanti curhat ke tetangga tentang Sesil.
“Terus ibu mau aku kayak gimana?” tanya Ara. Ia sudah lelah dimarah setiap pagi. Hampir setahun ia mengalami tekanan batin dari ibunya.
“Kamu harus kerja, kalau sampai akhir bulan ini kamu masih nganggur ….” Diana berdiri menatap anaknya tajam. “Kamu akan ibu nikahkan dengan juragan kelapa sawit atau juragan kedelai,” kata Diana membuat Ara mematung.
“Kok juragan kelapa sawit sih?” gumam Ara, tetapi masih bisa di dengar oleh telinga Diana yang tajam melebihi intel yang menyamar.
“Minyak goreng lagi mahal, kalau kamu nikah sama juragan itu kamu bisa kaya mendadak,” ujarnya lalu pergi meninggalkan Ara yang masih terdiam. Otak dan telinganya belum bisa mencerna dengan baik ucapan sang ibu.
“Sekalian saja ibu nikahi aku sama mafia minyak goreng, biar kaya beneran,” ucap Ara, tetapi suaranya tidak terlalu kencang sehingga Diana tidak mendengar.
*
Sejak pagi itu berlalu hari Ara menjadi tidak tenang. Sepanjang hari ia tidak keluar dari kamarnya. Tangannya sibuk bermain di atas papan ketik untuk mengirim email ke perusahaan dengan harapansalah satu dari mereka meminta Ara datang interview. Ara terdiam menatap kosongg laptop yang masih menyala. Terdapat balasan dari mail delivery subsystem yang menerangkan bahwa Ara tidak bisa mengirim berkas ke perusahaan karena kotak masuknya penuh. Terlalu banyak orang yang melamar ke perusahan itu. Ara menghela napas panjang, ia lalu merebahkan tubuhnya ke kasur, sampai sebuah pesan masuk dari sahabat baiknya―Tina― mengusik.
Ara terlihat ragu ketika Tina ingin bertemu dengannya. Namun, setelah melalui pertimbangan yang matang ia pun mengiyakan ajakan itu. Ara bergegas mengganti pakaian lalu pergi menemui sahabatnya, tapi saat ia keluar dari kamar tatapan sang ibu membuatnya menunduk. Bahkan ketika berpamitan Ara tidak berani menatap mata Diana.
Beruntungnya sang ibu tidak mengomel lagi seperti tadi pagi sehingga Ara menjadi lebih tenang saat di jalan. Motor matic warna putihnya melaju pelan di jalan. Ara dan Tina sudah membuat janji di warung bakso langganan mereka sejak SMP. Saat ia memarkirkan motornya di depan warung terlihat Tina sudah menunggu di sebuah meja sembari melambaikan tangan. Ara memesan makanan sebelum menghampiri Tina.
“Lo nunggu lama?” tanya Ara saat duduk di depan sahabatnya. Tina menggeleng pelan seraya meminum es jeruknya.
“Thank, ya, lo udah mau ketemu gue,” ujarnya lemas membuat Ara menaikkan alisnya. Baru seminggu yang lalu mereka teleponan karena Tina mendapatkan pekerjaan baru. Katanya perusahaan besar dan gajinya dua kali lipat dari tempat kerjanya yang dulu. Ara sebenarnya iri karena Tina begitu mudahnya mendapatkan pekerjaan sementara dirinya harus menunggu untuk mendapat panggilan.
Tidak butuh waktu lama pesanan mereka datang. Ara yang sejak tadi lapar pun langsung menyantap rakus mie ayam baksonya. Berbeda dengan Tina yang terlihat tidak berselera menyantap bakso lobsternya.
“Lo kenapa suntuk gitu? Kerjaan banyak?” tanya Ara dengan mulut penuh makanan. Rambut pendeknya yang terurai lalu diikat dengan sedotan plastik yang ada di meja. Maklum, kadang Ara lupa membawa ikat rambut. Meski licin, tapi setidaknya sedotan plastik itu bisa mengikat rambut Ara sementara.
“Lo nggak berubah, ya, sering banget pakai benda-benda aneh buat ikat rambut. Kenapa juga lo pendekin rambut lo yang lurus dan panjang, sudah bagus tahu,” kata Tina tanpa menjawab pertanyaan Ara. Sahabatnya hanya tertawa lalu kembali menyantap mie ayamnya.
“Gue nggak sempat ngurus rambut, dari pada kusut lebih baik gue potong pendek,” jawab Ara. Ia mengaduk es teh yang baru disajikan di atas meja.
“Lo belum jawab pertanyaan gue,” kata Ara membuat Tina teringat dengan pekerjaannya. Gadis itu menopang dagunya dengan satu tangan lalu menatap Ara sendu.
“Gue mengundurkan diri,” kata Tina membuat Ara tersedak. Ia menatap sahabatnya tidak percaya, masalahnya baru seminggu Tina bekerja sudah berhenti.
“Kenapa?” tanya Ara penasaran. Ia tahu siapa Tina. Gadis itu sangat pintar dan cekatan dalam bekerja, bahkan Tina lebih teliti dari Ara.
“Gue nggak tahan sama tekanan pekerjaannya.” Kini gadis itu menopang dagunya dengan kedua tangan. Ara menghabiskan kuah bakso sampai tak tersisa lalu bersandar pada kursi plastik yang diduduki.
“Namanya juga kerja gak ada yang enak. Lo harusnya bersyukur bisa keterima di perusahaan besar nah gue tekanan batin terus di rumah. Secapek-capeknya bekerja lebih capek nganggur.”
Ara menarik tissue dari kotaknya lalu mengusap bibir dari kuah mie ayam yang membekas di bibir. Tatapan Ara jatuh pada bakso Tina yang mulai mendingin. Melihat itu perutnya kembali lapar, tapi apa daya ia harus berhemat kalau ingin hidup lebih lama. Setidaknya sampai ia mendapatkan pekerjaan.
“Iya, gue tahu. Gue bersyukur banget bisa kerja di sana, tapi gue masih sayang mental. Tiap hari ada saja masalah dengan bos galak itu. Sedikit saja salah gue bakal kena omel seharian. Setiap gue bangun pagi gak ada semangat sama sekali. Gue merasa kayak di neraka,” kata Tina meratapi nasibnyanya.
“Gaji gede sepadan dong sama kerjaannya.”
“Tapi nggak nyiksa batin juga, Ra, yang ada gue harus sewa psikiater tiap bulan. Habis berapa duit itu?”
Ara mengusap punggung tangan Tina untuk menenangkan sahabatnya. Ia bisa merasakan bagaimana tekanan yang luar biasa dari bos sahabatnya.
“Semoga lo dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini, ya.” Ara tersenyum membuat Tina menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
“Kalau lo butuh bantuan, terutama buat habisin bakso itu gue siap kok,” lanjut Ara membuat Tina cemberut.
“Terima kasih, gue bisa habisin sendiri,” sahut Tina lalu menyantap bakso yang sudah mendingin.
*
Selama perjalanan pulang Ara terus memikirkan perkataan Tina. Ia mengendarai motornya di pinggir jalan dengan sangat pelan. Jujur saja ia malas pulang dan bertemu ibunya. Sampai ada sebuah mobil yang menyenggol spion motornya yang membuat Ara terjatuh.
Beruntung ia tidak terluka parah. Seorang pria tua dengan rambut beruban datang menghampiri dengan wajah panik.
“Neng, gak apa-apa?” tanya pria itu. Beberapa orang mulai mengerumuni Ara lalu membantunya berdiri. Ara merasa tidak nyaman karena ia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.
“Woi, kalau nyetir yang benar dong,” teriak seorang pria bertopi menunjuk sopir tua itu. Hampir saja terjadi perkelahian, beruntung Ara bisa menenangkan orang-orang. Ia melihat pria tua itu iba.
“Saya hanya lecet, jadi jangan hakimi bapak ini. Saya sudah memaafkan,” kata Ara berdiri di depan sopir itu. Tiba-tiba seorang pria keluar dari mobil. Ara menoleh ke belakang menatap pria bertubuh tegap berpakaian rapi memakai kacamata hitam. Ara terbengong. Ini pertama kalinya ia melihat pria setampan itu. Belum lagi wangi parfumnya menggelitik hidung yang membuat ia lebih tenang.
“Saya yang akan bertanggung jawab semuanya,” ujarnya. Ara menggigit bibir bawahnya terpesona akan aura pria itu. Ia terlihat keren dan bertanggung jawab. Tanpa sadar Ara tersenyum tipis.