Dikerjai Lagi

1519 Words
Juan mendekati Julian dan Ara. Setiap langkah pria itu membuat Ara ingin pingsan. Apakah ini akhir dari karirnya. Napasnya tercekat ketika Juan menatapnya. Seperti pria yang akan balas dendam saat tahu saudara laki-lakinya dihina atau dikata-katai. “Hai,” kata Juan seolah mereka sudah lama tidak bertemu. Ara langsung menggeleng berharap Juan tidak menceritakan apapun pada Julian. Bosnya sangat menakutkan ketika marah, apa lagi Julian sangat mudah mengatakan ‘pecat’ tanpa berpikir dua kali. “Kalian saling kenal?” tanya Julian sembari mengunyah makanan. “itu … kami―” “Tidak bisa dikatakan seperti itu. Kami sekadar mengenal saat menunggu makanan,” kata Juan. Ara memperhatian pria itu. Ia baru sadar kalau Juan tidak menenteng makanan. Untuk apa pria itu ke restaurant kalau tidak makan? Segala macam dugaan mulai muncul di kepalanya. Tidak mungkin Juan membuntuti Ara seperti pengagum rahasia. Itu dugaan paling konyol yang pernah Ara pikirkan. “Kenapa kamu masih duduk? Sana kerja,” kata Julian mengusir Ara yang sedang melamun. Ara tersenyum tipis pada Juan dan Julian sebelum kembali ke mejanya. Pikirannya tidak fokus, sesekali Ara melirik pada Juan yang sedang berbincang. Saat pria itu menatapnya Ara segera menunduk. Dia tidak salah, semua yang dia katakan benar apa adanya. Kekhawatiran Ara saat ini adalah Juan akan mengadu, tapi ia rasa itu mustahil mengingat usia pria itu terbilang matang. Ara kembali menggeleng. Jangan jadikan usia sebagai patokan kedewasaan. Kadang orang dewasa masih bersikap kekanakan. Anak usia 5 tahun juga bisa bersikap dewasa, walau tidak sering. Siapa yang berani menjamin bahwa kedewasaan semua orang ditunjukkan dengan usia? “Kau terlihat tertekan, apa karena aku?” Juan berdiri di depan meja Ara. Gadis itu mencari keberadaan bosny. Julian sudah lenyap dari ruangan itu, sejak kapan? Ara tidak menyadarinya. “Dia sedang ke toilet,” sahut Juan membaca isi pikiran Ara. “Tentang yang aku katakan tadi, tolong dirahasiakan.” Juan mengulum senyum, kedua tangannya masuk ke saku celana. Sekarang Ara bisa melihat wajah tampan itu dari bawah mengingat tinggi Juan yang menjulang. Dagunya sangat bersih, tidak terlihat ada bekas cukuran atau jenggot dan kumis yang tumbuh di wajah. Benar-benar bersih mengkilap seperti porselen. “Tentu, kau bisa memegang kata-kataku.” Ara megacungi keligkinngnya membuat Juan kebingungan. “Janji dulu.” Mau tidak mau Juan menautkan kelingkingnya. Tepat saat itu Julian keluar dari toilet dan melihat keakraban sekertarisnya. Dia tidak cemburu, justru ia marah karena Juan terlalu dekat dengan Ara. Apa mungkin kakaknya mulai tertarik dengan gadis aneh itu? Apa pun yang terjadi Julian harus memisahkan mereka. Ia harus meminimalisir kedekatan Juan dan Ara, tentu dia tidak ingin memiliki kakak ipar seperti gadis itu. Sepertinya selera Juan sudah jatuh terlalu dalam semenjak main film. “Kau bilang tadi namamu Ara?” Julian segera sadar dari lamunannya. Ia memperhatikan interaksi dua manusia berlainan jenis itu. Ia ingin tahu apakah Ara menggoda kakaknya supaya Julian semakin sulit memecatnya? Julian masih mengintai di dekat toilet yang pintunya sedikit terbuka. “Hmm… kenapa?” tanya Ara. Juan mengangguk. Rambut Ara yang dikuncir memudahkan pria itu membaca nama di nametag. Juan menegakkan tubuhnya kemudian memberikan ponselnya pada Ara. “Aku ingin bicara banyak tentang yang tadi. Apa kamu punya waktu memberikan nomor ponselmu?” Ara mengerjapkan matanya berkali-kali merasa ada yang salah. Juan meminta nomor ponselnya, itu berarti pria itu menaruh perhatian. “Ara!” panggil Julian yang kini berjalan menghampiri. Dalam sekejap dua pria tampan ada di depannya. Ara merasa seperti bekerja di surga dengan malaikat tampan di sekeliling. Kalau ini surga berarti gue udah mati. “Tolong hubungi Mrs.Karina, tanyakan jadwal meeting dengan Mr. Rudy Salimin, nomor ponsel dan kantornya sudah saya kirim,” titah Julian. Ara segera memeriksa email lalu segera menghubungi wanita bernama Karina. Juan tidak bisa mamaksa gadis itu untuk memberikn nomor ponselnya. Ia tahu betul sang adik tidak suka urusan pribadi dicampur dengan pekerjaan. Setelah berbincang sebentar akhirnya Juan pergi, tetapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan pria itu sengaja memberikan secarik kertas pada Ara yang berisi nomor ponsel. Julian luput akan interaksi kecil itu. “Bos,” panggil Ara saat Julian duduk di kursi. “Saya sudah menghubungi―” “Kirimkan report-nya pada saya. Kamu ketik lalu kirim,” potong Julian. Ara mencoba tersenyum meski ia ingin sekali mengatakan kalau meeting akan dilakukan dua hari lagi. Hanya itu informasi yang ingin ia sampaikan, tapi Julian memintanya untuk mengetik. “Haus,” kata Julian ketika Ara ingin kembali ke tempat duduknya. “Sama Bos, saya juga haus,” ucap Ara lemas membuat Julian geram. Itu adalah kode agar gadis itu mengambilkan air, bukan balik mengeluh. Ara belum peka dengan isyarat yang ia berikan. “Bos gak minum?” tanya Ara bermaksud baik, tapi Julian merasa tersindir. “Saya tahu kalau haus itu ya minum. Kamu nggak perlu ngajarin saya lagi, tapi kamu harus peka.” Julian meletakkan gelas kosongnya di depan sehingga Ara bisa melihatnya. “Tapi air galon habis Bos.” Ara menunjuk galon yang kosong. Petugas belum mengisi ulang lagi. “Kamu harus punya inisiatif. Pergi ke dapur dan isi penuh gelas saya.” Julian bersandar pada kursinya sembari menatap Ara yang kini menggenggam gelas kosong itu. “Dapurnya ada di mana, Bos?” Julian menopang dagunya dengan tangan. Ia menatap Ara malas-malas. “Di lantai dua,” jawabnya. “Hah?” “Kenapa … protes? Mau saya pindahkan dapur ke lantai satu?” tanya Julian membuat Ara buru-buru menggeleng. Gadis itu segera pergi mengambilkan air untuk bosnya. Setelah bertanya pada karyawan di lantai dua letak dapur yang ternyata ada di pojok. Ruangan itu cukup bersih dan tertata. Banyak galon air yang berjejer ditambah aroma kopi cukup kental menguar di udara. Ada kulkas dua pintu untuk menyimpan makanan. Ara cukup takjub dengan dapur perusahaan. “Lo sekertaris baru Pak Julian, ya?” Seseorang masuk tanpa Ara sadari. Ia berbalik menatap seorang gadis yang kini sedang membuka kulkas. Gadis itu menuangkan sirup dan es batu ke dalam gelas lalu mengaduknya. “Iya, nama gue Ara.” Ara berjalan ke dispenser menekan tombol biru untuk air dingin. Ia menggunakan gelas Julian untuk minum lalu mencucinya di wastafel. “Oh, nama gue Sinta. Lo ngapain di dapur?” tanya Sinta. Gadis itu duduk sembari menikmatin sirupnya. Kelihatan minuman itu sangat segar, terlintas di pikiran Ara untuk membuatkan Julian sirup. Namun, Ara tidak tahu selera bosnya. Apa dia suka rasa jeruk atau tidak. “Ambil air buat Pak Bos,” jawabnya singkat. “Emang dapur di lantai lima kenapa? Gak ada stok air?” tanya Sinta membuat kening Ara mengernyit. Di lantai lima juga ada dapur? Ara tidak tahu akan hal itu. Julian bilang dapur ada di lantai dua, itu mengapa Ara ada di sini. “Maksudnya di lantai lima juga ada dapur?” Sinta meletakkan gelasnya di atas meja. Masih sisa beberapa es batu di dalam gelas. Gadis itu beranjak sembari berkata, “Setiap lantai ada dapurnya. Memang hanya di lantai dua dapurnya komplit dan besar, tapi di lantai lain ada kok air, sama bahan buat kopi atau teh.” Ara mengepalkan tangannya yang tidak menggenggam gelas. Ia jengkel. Sangat. Ini kerja apa dikerjain? Wajah gadis itu tertekuk suram. Ia yakin di atas sana Julian sedang tertawa puas. Ia berhasil membodohi Ara yang baru pertama kerja. “Terima kasih infonya. Gue ke atas dulu.” Ara buru-buru membawa air ke lantai lima. Ia sangat marah, darahnya seolah mendidih. Selama perjalanan wajahnya terlihat menyeramkan. Tidak ada yang berani menyapa meski mereka ingin tahu lebih lanjut tentang sekertaris baru sang atasan. Ara tidak mengetuk pintu membuat Julian kaget. Ponsel yang ada di genggamannya jatuh ke sofa, beruntung ia duduk menyamping. “Punya tangan?” tanya Julian. Ara menghela napas lalu mengangguk. “Tolong dipakai ketuk pintu kalau mau masuk. Jangan bikin kaget saya,” ucap Julian kemudian menyimpn ponselnya ke saku. Ara mendekati bosnya kemudian meletakkan air itu di atas meja. “Silakan di minum air dari lantai dua, Bos,” kata Ara menekan kata lantai dua pada Julian. Pria itu tidak menampakkan raut rasa bersalah. “Saya sudah minum, tadi petugasnya sudah ganti galon yang kosong,” ucap Julian. Ara yang kesal segera menyambar gelas itu kemudian meneguk sampai habis airnya. “Ahhh … saya yang haus,” kata Ara lalu meletakkan gelas kosong di hadapan Julian. Pria itu mengerjapkan mata berulang kali. Baru pertama kali ada sekertaris minum air pakai gelasnya. Itu adalah gelas pribadi Julian, ada stiker ikan di bawah gelas itu. Julian menatap Ara yang sedang sibuk bekerja sementara ia masih betah duduk di sofa tanpa melakukan apa pun. Dilihat dari wajah dan penampilan Ara, sudah sangat jelas dia bukan tipe wanita ideal bagi Juan. “Hei,” panggil Julian. Ara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali menunduk, menatap tulisan yang ada di buku catatannya. Ara memastikan list yang diberikan Julian tidak satu pun terlewat. “Jangan dekati kakak saya, kamu bukan tipenya. Satu lagi tolong kamu menghindar jika dia mendekat.” Ara menegakkan tubuhnya menatap Julian tajam, tetapi gadis itu hanya menghela napas kemudian kembali bekerja. Cih, bilang saja takut kakak lo pacaran sama gue. Kalau itu beneran terjadi, lo bakalan sulit buat mecat gue dari kantor. Kita lihat saja nanti siapa yang menang sampai akhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD