Bos Pelit

1864 Words
Dengan langkah cepat Ara menyusul Julian ke ruangannya. Gadis itu membuka pintu sepelan mungkin lalu menutupnya kembali. Julian berbalik menatapnya dingin. Ara berdiri menempel di pintu, tidak berani beranjak dari tempatnya terlebih Julian tengah memperhatikan. Setidaknya kalau Julian marah ia bisa keluar lebih cepat. “Mau membela diri?” tanya Julian. Ara langsung menggeleng, ia tahu dirinya salah karena lupa memesankan makanan yang diminta Julian tiga jam yang lalu. Sebelum jam makan siang Julian memberitahunya makan siang yang ia inginkan, tapi sayangnya gadis itu lupa akan pesanan sang pimpinan. “Pak―” “Jangan panggil saya Pak. Khusus untuk kamu panggil saya bos,” potong Julian. Ara mengulum bibirnya takut salah bicara. Julian ternyata lebih parah dari yang ia kira. Sepertinya pria itu mengalami banyak masalah sehingga mudah sekali marah. Hal kecil bisa menjadi besar karena sifat pemarahnya. “Bos, saya minta maaf untuk tadi. Saya belikan makanan sekarang, ya.” Ara mencoba memberi solusi, tapi Julian sepertinya tidak menyukai solusi itu. Ia lebih suka membuat masalah bertambah besar. Tentu hal ini tidak disia-siakan Julian untuk membuat Ara tidak betah di kantor lalu memutuskan untuk mengundurkan diri. “Kamu masih ingat apa yang saya pesan?” tanya Julian memastikan Ara tidak melupakan satu pun yang ia katakan. Gadis itu mengangguk penuh keyakinan. “Masih bos. Sushi yang ada ikan salmonnya sama bos mau makan Tom Yum Gong tanpa daun koliander, terus minumannya air putih dingin ditambah es batu,” kata Ara membuat Julian takjub dengan ingatan gadis itu. “Bagus, sekarang saya minta kamu pesankan semua makanan itu lewat telepon dan saya minta pekerjaan kamu yang saya kasih tadi sudah selesai sebelum jam kantor berakhir,” ujar Julian. Ara merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga. Jujur saja Julian memberikan banyak pekerjaan. Selain membuatkan power point untuk presentasi pria itu juga memintanya menghubungi beberapa rekan bisnis untuk menanyakan jadwal meeting dan lain sebagainya. Ara menepuk pipinya berusaha menyemangati diri. Ia tidak boleh menyerah kalau ingin membuat kedua orang tuanya bahagia. Julian duduk di kursi kerjanya dengan santai. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas meja. “Kenapa masih diam di sana? Kamu mau lembur?” tanya Julian membuat Ara tersadar. “I-iya, Bos, saya kerjakan sekarang.” Ara berlari ke meja kerjanya. Gadis itu mulai sibuk menelepon restaurant di lantai dasar meminta pelayan mengantarkan makanan itu ke atas. Setelah satu tugas selesai ia langsung menghubungi orang-orang yang ada di list. Bahu kirinya menjepit telepon kabel sementara tangan kanannya menulis informasi penting yang di sampaikan orang di seberang sana. Julian menarik turun kakinya. Ia menatap Ara yang sedang sibuk. Sejujurnya ia bisa menghubungi langsung rekan kerjanya itu, tapi ia ingin tahu seberapa hebat sekertarisnya. Tiba-tiba Ara menaikkan tatapan melihat Julian yang sedang memperhatikan dirinya. Dengan cepat pria itu mengambil berkas yang ada di meja lalu pura-pura bekerja. Ara menggeleng pelan melihat bosnya yang cuek. Pintu ruangan diketuk membuat Ara mau tidak mau meninggalkan pekerjaannya sebentar. Ia membuka pintu dan mempersilakan pelayan kantin masuk menghidangkan makanan. Julian beranjak dari duduknya menuju sofa yang ada di deka aquarium ikan. Prety tengah memperhatikan majikannya makan. Ikan biru itu tak beranjak sedikit pun dari sisi aquarium seolah ingin melihat Julian lebih lama lagi. “Terima kasih,” kata Ara pada pelayan itu. Ara menatap Julian yang sedang bersandar di sofa. Layaknya bos menyebalkan pada umumnya pria itu hanya menatap datar makanan di atas meja. “Ini makan siangnya, Bos.” Ara memberikan alat makan pada Julian sebelum kembali ke mejanya. “Tunggu.” Ara berbalik ketika Julian memanggilnya. Pria itu menunjuk jendela dengan sumpit yang dipegangnya. Ara yang kebingungan hanya menatap jendela tanpa beranjak sedikit pun. “Buka gordennya,” kata Julian lalu menyantap makan siang. Ara tidak membantah, ia bergegas membuka gorden ruangan sehingga kegiatan karyawan yang ada di luar terlihat dengan jelas. Semua karyawan kembali bekerja di mejanya masing-masing. Tidak ada yang berani bergosip atau pun berdiri dari kursinya. Semua terlihat disiplin dan tertib. Ara hanya menggeleng pelan melihat kelakuan karyawan yang pura-pura rajin bekerja. Setelah makan Julian tidak beranjak dari tempatnya. Ia diam-diam memperhatikan sekertarisnya yang sibuk dengan laptop. Banyak ide berkeliaran di kepala Julian untuk mengganggu Ara yang sedang bekerja. Bagaimana pun juga misi untuk mendepak gadis itu dari perusahaannya masih belum tuntas. “Ehem.” Suara itu cukup keras membuat Ara mau tidak mau menghampiri bosnya. “Iya, Bos.” Ara berdiri di depan Julian sementara pria itu terlihat santai merenggangkan tangannya seperti orang baru bangun tidur. “Saya mau ngemil,” kata Julian membuat Ara bengong. Apa dia tidak salah dengar? Baru saja Julian bilang mau ngemil? Perut Ara tergelitik mendengar ucapan Julian seperti anak kecil yang jaim minta dibelikan mainan. “Ngemil? Ngemil apa Bos?” tanya Ara. Ia coba mengingat catatan yang diberikan Julian. Ara memeriksa ponselnya untuk membaca sekali lagi tentang kesukaan Julian. Namun, sayangnya tidak ada cemilan yang tercantum di sana. “Sama mau tortilla chips with tomato bruschetta,” kata Julian. Ara mengernyitkan kedua alisnya mendengar nama aneh itu. “Apa Bos?” tanya Ara. “Tortila chips with bruschetta,” kata Julian membuat Ara menggaruk kepala belakangnya. Julian yang mengetahui Ara susah mengingat nama makanan pun meminta gadis itu mendekat. Tanpa diduga Julian menarik tangan Ara hingga gadis itu menunduk. Jarak wajah mereka sangat dekat membuat Ara gugup, terlebih Julian bicara dekat telinganya yang membuat gadis itu geli. “Tertilla chips,” kata Ara mengikuti ucapan Julian. “With bruschetta,” ujar Julian. Ara menegakkan tubuhnya sebelum mengucapkan kata itu. “Busetla,” ucap Ara membuat Julian memejamkan mata seraya menoyor keningnya sendiri dengan telunjuk. “Aish, anggap saja namanya seperti itu. Belikan di restaurant depan. Kamu boleh pergi,” kata Julian. Ara cemberut mendapat pengusiran dari Julian. Ia kembali ke mejanya untuk menyimpan hasil pekerjaan sebelum membelikan cemilan untuk bosnya. “Bos,” panggil Ara. Ia menegadahkan tangannya di depan Julian. Pria itu merogoh saku jasnya lalu meletakkan sebuah permen di telapak tangan gadis itu. Permen yang tadi pagi Ara berikan pada Julian untuk melegakan tenggorokan. “Kok permen Bos?” tanya Ara. “Terus kamu minta apa?” tanya Julian dengan satu alisnya naik. “Uang buat bayar. Saya nggak punya uang,” kata Ara. Julian mendengus lalu mengeluarkan dompetnya. Ara mengintip uang Julian yang cukup banyak di dompet. Seketika mata Ara dimanjakan dengan lembaran kertas merah itu. Julian menarik satu lembar uang lima puluh ribu rupiah dan dua lembar uang sepuluh ribu lalu meletakkannya di atas meja. Tidak hanya itu Julian juga mengeluarkan uang receh, satu keping lima ratus perak dan dua keping dua ratus perak. “Ini uangnya,” kata Julian mendorong uang itu lebih dekat pada Ara. “Kalau kurang bagaimana Bos?” tanya Ara.Ia berharap Julian memberikan satu lembar uang seratus ribu. Restaurant di depan kantor cukup besar, harganya juga pasti mahal. Ara sendiri malu kalau belanja menggunakan uang receh. Biasanya uang receh itu ia gunakan untuk kerokan atau membeli permen di warung. “Sudah bawa saja. Itu masih ada kembaliannya. Gak bakalan habis,” ujarnya. Dengan berat hati Ara menyimpan uang itu di saku lalu pergi meninggalkan Julian yang tengah tertawa puas melihat wajah kesal gadis itu. “Kita lihat seberapa lama kamu bertahan,” gumamnya. *** Ara terus mendumel sepanjang jalan menuju restaurant. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan bingung, yang lebih membuatnya kesal lagi adalah ia takut uang yang diberikan Julian kurang. Betapa malunya ia nanti terlebih uang di dompetnya hanya receh. Ara merogoh tas selempangnya mencari masker untuk menutupi setengah wajah. Dengan cara ini ia berharap bisa mengurangi rasa malunya. Ara berjanji pada dirinya sendiri saat gajian nanti ia akan membeli kaca mata hitam untuk menyamar kalau-kalau Julian memberikannya uang receh seperti tadi. Belum hilang rasa kesal di hatinya kini Ara harus bersabar menunggu antrian panjang di depan kasir. Pekerjaannya sudah meronta minta diselesaikan sebelum jam kantor berakhir, tapi gadis itu malah terjebak di restaurant. “Ara, kamu harus sabar. Hari ini pasti berlalu,” gumamnya. Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di belakangnya. Kacamata hitam dan masker yang menutupi wajah membuat tidak satu pun orang mengenalinya. Hidung Ara kembang kempis mencium bau harum parfum miliknya. Gadis itu tidak berani menoleh ke belakang melihat siapa pria pemilik bau menenangkan itu. Pikirannya memerintahkan untuk menoleh, tapi hatinya menolak. Jangan bertindak kampungan Ara. Ini restaurant mahal dan mewah. Perang batin yang membuat jantungnya berdebar kencang. Konsentrasinya buyar saat merasakan pria itu sangat dekat. Tubuh tingginya membuat Ara membayangkan artis setampan Cha Eun Woo berada di belakangnya. Tanpa sadar hayalan itu membuat Ara hampir berteriak senang. Sampai-sampai pria yang ada di belakangnya menunduk heran dengan tingkah Ara yang seperti orang kasmaran. Tinggal dua orang di depannya, kini mata Ara berpaling ke menu yang di tampilkan pada layar kecil. Seperti slide presentasi, makanan satu per satu muncul pada layar lengkap dengan keterangan harga. “Mau pesan apa, Mbak?” tanya pelayan ramah. Ara mengalihkan perhatian pada wanita cantik dengan seragam merahnya. Ada alat yang terpasang di telinga dan juga microphone kecil dekat mulut. Ara segera mengingat nama makanan yang dipesan Julian. Semakin cepat ia sebutkan maka semakin cepat ia bisa duduk di kursi. “Itu … hm… saya lupa namanya. Eee ….” Ara meminta gadis itu menunduk lalu membisikkan nama makanan. “Chip with brusetlah,” kata Ara membuat kening pegawai itu mengkerut. “Bisa bicara lebih jelas lagi?” jawabnya. Ara sangat malu kalau sampai salah menyebut nama makanan. “Emm… Ini pesanan bos saya namanya chip brusetlah,” ucapnya membuat pria yang ada di belakang tertawa. Ara menoleh menatap pria berkulit putih bersih itu. Ia malu, tapi juga senang bisa melihat sosok tampan di belakangnya yang sempat menjadi misteri. “Maaf,” ucap pria itu saat sadar Ara masih memperhatikan dirinya. “Mungkin maksud kamu bruschetta,” koreksinya membuat Ara mengangguk. Wanita yang mendengar itu seketika mengerti makanan apa yang dimaksud Ara. “Satu tortila chips with bruschetta itu saja, Mbak?” tanya wanita itu mengonfirmasi pesanan Ara. “Iya, itu saja.” “Baik, totalnya tujuh puluh ribu sembilan ratus.” Kali ini Ara kembali terdiam. Uang yang diberikan Julian tidak ada lebihnya. Bahkan satu perak pun tidak. Ara mengelurakan uang itu dari sakunya kemudian bergegas mencari tempat duduk setelah mendapatkan struk. Suasana restaurant cukup ramai sehingga ia memilih tempat duduk yang dikhususkan dua orang. Ara membuka masker lalu menyimpannya di dalam tas. “Lebih apanya? Uangnya pas gak ada kembalian. Emang dasar bos pelit, kikir, medit,” kesalnya. Ara memalingkan wajah ke luar jendela di mana tempat gedung kantornya berada. Ia pernah membayangkan suatu hari bekerja di kantoran lalu makan di restaurant mewah seperti ini dengan setelan rapi. Betapa bahagianya saat ia membayangkan hal itu, tiga tahun silam. Namun, pada kenyataannya hati dan pikiran gadis itu tidak tenang. Pekerjaannya menumpuk ditambah bos galak dan menyebalkan membuat dirinya malas menginjakkan kaki ke gedung kantor. Apa yang selama ini ia bayangkan ternyata tidak seindah kenyataan. “Maaf, apa saya boleh duduk di sini?” Ara mendongkak menatap pria yang berbaris di belakangnya. “Silakan,” kata Ara. Pria itu duduk lalu melepas masker dan kacamatanya. Ara terdiam untuk beberapa saat, memperhatikan pria itu baik-baik. Dia pria yang tampan, sebelas dua belas dengan pria hayalannya, tetapi Ara merasa tidak asing dengan wajahnya. Kenapa dia mirip si bos galak? Apa cuma kebetulan atau jangan-jangan….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD